Opini

Pesantren dan ‘Lubang Hitam’ Pendidikan Nasional

Selasa, 4 April 2017 | 01:34 WIB

Oleh Ulfatur Rahmah
Ketika menulis untuk pertama kalinya tentang pesantren, sekitar 50 tahun lalu, antropolog kondang Clifford Geertz mengutarakan rasa pesimismenya terhadap daya tahan pesantren dalam menghadapi gempuran modernitas. Bagi Geertz, pesantren akan mengalami crash dengan modernitas.

Sekarang, kita dapat melihat, prediksi Geertz terbukti salah. Lukens-Bull dalam Teaching Morality: Javanese Islamic Education in a Globalizing Era (2000) menunjukkan secara jujur kepada kita bagaimana daya tahan pesantren dalam menghadapi modernitas. Menurutnya, pesantren mampu bertahan bahkan beriringan dengan modernitas tanpa harus menggadaikan prinsip-prinsip fundamental yang selama ini tertanam kuat di dalamnya.

Pesantren, tulis Lukens-Bull, kini mampu menjelma sebagai kontrol tak terduga terhadap sisi negatif modernitas dengan tetap mengarusutamakan pendidikan moral kepada setiap santri yang belajar di sana. Di pesantren, globalisasi hanya berpengaruh pada tataran sistem dan struktur, tidak sampai pada nilai dan kultur.
Lubang Hitam

Di lain pihak, lembaga pendidikan nonpesantren seperti keteteran membendung arus modernitas yang eksesnya terlalu cepat memengaruhi moralitas anak didik mereka. Salah satu bukti konkretnya adalah di pesantren tidak pernah terjadi tawuran antarsiswa atau antarsantri. Tawuran hanya terjadi di lembaga-lembaga pendidikan nonpesantren.

Dalam hemat penulis, pendidikan nasional hari ini sedang mengarah ke “lubang hitam” amoralitas. Terlampau banyak kejadian-kejadian di dunia pendidikan yang sama sekali tidak mencerminkan tindakan kaum terdidik. Pembunuhan yang dilakukan oleh mahasiswa UMSU terhadap dosennya beberapa waktu lalu, misalnya, adalah tamsil kecil betapa nilai-nilai moral telah merosot jauh ke tangga terendahnya. 

Belum lagi soal pemerkosaan, pemerasan, perundungan (bullying), pelecehan seksual, dan kekerasan yang semakin sulit dikendalikan di dunia pendidikan. Pemandangan itu sering kita saksikan di layar kaca televisi, dan banyak praktisi pendidikan kebingungan untuk mendatangkan solusi.

Tindakan-tindakah amoral yang terjadi di lingkungan pendidikan memberi indikasi kuat bahwa di satu sisi modernitas memiliki dampak yang besar terhadap pendidikan, dan di sisi lain pendidikan nasional belum sepenuhnya sanggup memberikan kesadaran etis terhadap anak-anak didik mereka.   
Di luar sana, sopan santun dan perilaku jujur sudah nyaris menjadi makhluk langka. Hilangnya kejujuran dan sopan santun dalam dunia pendidikan adalah pukulan keras terhadap nilai-nilai fundamental pendidikan sebagaimana diamanatkan UUD 1945. 

Kembali ke Pesantren

Pada 2 November 1928, Ki Hadjar Dewantara menulis dalam Wasita. Tulisan yang berjudul Faedahnya Sistem Pondok itu menegaskan bahwa “sistim pondok dan asrama itulah sistim nasional”. Ia melanjutkan, “Sudah teranglah di sini anak akan terdidik dengan sempurna, tidak menurut buku-buku pedagogik, tetapi menurut pedagogik yang hidup, yaitu menurut cara hidup yang nyata dan baik. Anak-anak sehari-harinya terus merasa anak rakyat, terus insyaf akan kemanusiaan, karena senantiasa hidup dalam dunia kemanusiaan…”

Ki Hajar Dewantara sendiri menyadari peran vital pondok dalam menumbuhkembangkan pribadi-pribadi terdidik. Dan memang benar, sepanjang sejarahnya, pesantren mempunyai peran penting dalam menginternalisasi nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. 

Namun, tantangan pesantren hari ini bukan semata soal ekses modernitas yang datang “dari luar”, melainkan juga pertumbuhan ideologi-ideologi radikal yang tumbuh “dari dalam”. Angela Rabasa dalam Islamic Education in Southeast Asia (2007), mencacat bahwa kelompok-kelompok radikal yang muncul di Indonesia banyak yang berasal dari pesantren.

Tetapi Rabasa memberi cacatan tambahan bahwa pesantren yang melahirkan teroris dapat dibedakan secara mencolok dari pesantren tradisional yang biasanya tumbuh subur di lingkungan orang-orang NU. Pesantren yang menjadi basis kelompok radikal biasanya sangat tertutup, antibid’ah dan antipemerintah. Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo, merupakan contoh yang disebut Rabasa dalam penelitiannya.

Mengingat tantangan pesantren hari ini datang dari dua arah (dari luar dan dari dalam), maka pesantren dituntut untuk lebih peka lagi, tidak saja terhadap aspek kemerosotan moral di kalangan anak-anak muda, tetapi juga harus lebih cerdik dalam melakukan perlawanan terhadap pembelokan pesantren menjadi basis kelompok radikal. 

Sampai hari ini, pesantren memiliki kedudukan esensial dalam menginternalisasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan dalam kehidupan sehari-hari. Maka, warisan kultural yang dibangun pesantren sangat cocok sebagai pemecah masalah terhadap dekadensi moral yang santer menggerogoti anak-anak muda.

Terlepas dari itu, menurut hemat penulis, perlu inovasi strategi pembelajaran di pesantren agar anak-anak muda yang hidup di lingkungan kota juga tertarik untuk menimba ilmu di pesantren, karena selama ini pesantren kebanyakan diisi oleh anak-anak yang tinggal di pedesaan.

Gerakan Nasional Ayo Mondok yang dikampanyekan Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU), dalam hemat penulis, sudah berada di jalur yang benar. Gerakan ini perlu diapresiasi dan didukung. Gerakan Ayo Mondok sesungguhnya adalah upaya mengajak anak-anak bangsa “kembali ke pesantren”. 

Sebab pesantren—sebagaimana disebut Ki Hajar Dewantara—sangat efektif untuk menjadikan anak-anak didik “insyaf akan kemanusiaan”, sehingga ini menjadi alasan kuat mengapa di pesantren tidak pernah terjadi tawuran.

Walhasil, pesantren perlu terus berbenah dan berinovasi dalam meng-upgrade sistem pembelajaran agar ia tidak terseok-seok menghadapi perubahan zaman serta mampu menghindari “lubang hitam” pendidikan yang mengancam aspek moral dan kemanusiaan. 

Penulis adalah alumnus Pascasarjana Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Surabaya; Dosen UINSA dan STAIN Pamekasan


Terkait