Dalam kesempatan ini, secara khusus saya ingin menyebut Gus Dur dan Kiai Haji Masdar F Mas’udi. Beliau berdua tidak boleh dilewati jika kita membincangkan pesantren, sekurang-kurangnya dalam kurun waktu 30 tahun terakhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21.
Keduanya punya selisih cukup jauh secara umur, Gus Dur dilahirkan tahun 1940 sementara Pak Masdar, begitu saya panggil beliau, lahir tahun 1953, tetapi beliau “bekerja” pada era yang sama.
Tentu saja, ada banyak nama yang layak sekali disebut selain keduanya, semisal, sekadar menyebutkan contoh, Allah yarham Kiai Sahal Mahfudh atau Kiai Said Aqil. Namun Allah yarham Gus Dur dan Pak Masdar memiliki peran berbeda, sekurang-kurangnya dalam pengamatan saya. Mengapa beliau berdua saya sebut khusus?
Baca Juga
Gus Dur dan Islam Kosmopolitan
Setidaknya ada 3 alasan. Pertama, keduanya punya kesamaan menekuni bidang fiqih, ilmu yang sangat khas dari pesantren. Kedua, keduanya, bagi saya, itu seperti dua tangan yang punya fungsi yang berbeda-beda, namun saling bekerja sama dan saling melengkapi.
Dan ketiga, Gus Dur dan Pak Masdar sama-sama memiliki kegigihan dalam mengeksplorasi dunia pesantren, baik khazanah literatur ataupun tradisi kehidupan pesantren, dengan cara menulis. Uniknya, beliau berdua keluar dari pesantren yang sama atau memiliki guru yang sama, yaitu Allah yarham Kiai Chudori di Pesantren Tegalrejo Magelang dan Allah yarham Kiai Ali Maksum di Pesantren Krapyak Jogjakarta. Izinkan saya mencoba menyampaikan 3 kesamaan beliau berdua dalam catatan pendek ini.
Merumuskan Ulang Hukum Islam di Indonesia
Gus Dur tidak memiliki karya khusus terkait fiqih. Tetapi jejak pemikiran Gus Dur tentang tentang fiqih sangat jelas. Dari mana kita mengetahui pemikiran fiqih Gus Dur?
Pertama, dalam karya Gus Dur ketika menulis kakeknya sendiri yang seorang faqih (ahli fiqih) terkemuka di Indonesia, yaitu Allah yarham Kiai Bisri Syansuri. Di dalam karya yang ditulis awal tahun 1980-an itu, Gus Dur menuliskan hal-ihwal Kiai Bisri mencintai ilmu fiqih. Gus Dur tidak menjelaskan teori-teori ilmu fiqih dan ushul fiqih, namun banyak menyampaikan latar belakang sosial di mana Kiai Bisri hidup. Lebih jelasnya, Gus Dur dengan sangat baik memberikan konteks sikap dan pendapat Kiai Bisri; mengapa Kiai Bisri berpendapat A dalam satu perkara, mengapa Kiai Bisri bersikap B dalam satu urusan, semuanya dijelaskan oleh Gus Dur.
Konteks menjadi hal utama dalam menganalisis pendapat-pendapat fiqhiyah. Ketika dalam ushul fiqih kita mempelajari ‘illat hukum, maka di dalam karya Gus Dur tentang Kiai Bisri, kita akan membaca konteks Kiai Bisri memutuskan sesuatu dan konteks kehidupan beliau.
Kedua, memang betul bahwa Gus Dur tidak pernah menulis karya fiqih yang memuat pandangan-pandangannya secara utuh. Namun, pikiran-pikirannya tentang hukum Islam atau fiqih cukup banyak bertebaran di sejumlah artikelnya. Gus Dur misalnya memberikan uraian tentang prinsip-prinsip universal dalam hukum Islam atau maqashid syariah cukup luas sebagaimana tertuang dalam artikelnya berjudul “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban”.
Ketiga, Gus Dur merupakan salah satu pemikir Islam Indonesia yang memiliki gagasan cukup otentik. Hal ini bisa ditelusuri saat ia mengusulkan adanya konsep pribumisasi Islam sebagai sebuah paradigma dalam membaca persoalan-persoalan Islam dalam konteks keindonesiaan. Gagasannya tentang ini oleh sejumlah sarjana disebut-sebut sebagai landasan munculnya tawaran Islam Nusantara yang digaungkan oleh PBNU pada tahun 2015-an yang menyulut perdebatan.
Tak berbeda dengan gagasan-gagasan otentik yang ditawarkan oleh Gus Dur, Pak Masdar juga memiliki pandangan-pandangan fiqih yang memantik pembicaraan. Misalnya ia mengusulkan tentang konsep haji yang diperluas secara waktu termasuk di dalamnya terkait dengan wukuf di Arafah. Gagasan yang dituangkan Pak Masdar di tahun 1990-an ini hendak menawarkan kepada umat Islam bahwa ibadah haji bisa dilakukan di bulan Syawwal, Dzulqa’dah, atau Dzulhijjah. Mengenai hal ini, Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Tsaquf dalam sebuah diskusi daring sempat memberikan komentar. Menurut Gus Yahya sebagaimana dilansir di laman NU Online, “Gagasan ini perlu diperbincangkan secara akademis agar mendapat pertimbangan yang betul-betul objektif tentang gagasan itu.”
Selain ihwal haji, Pak Masdar juga menggulirkan wacana soal pajak yang cukup kontroversial. Hubungan pajak dan zakat ibarat anggota tubuh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Zakat itu, menurutnya, sebagaimana ruh, sementara pajak adalah badannya. Jadi, menurut amatannya, jika umat Islam sudah mengeluarkan zakat dengan sekaligus berniat membayar zakat kepada negara maka kewajiban menunaikan zakat sudah gugur dengan sendirinya.
Kita bisa setuju dan juga bisa tidak setuju atas pandangan-pandangan Gus Dur maupun Pak Masdar. Akan tetapi, baik setuju maupun ketidaksetujuan kita harus dilandaskan pada argumen-argumen yang kokoh serta tetap menghormati kealiman dua intelektual Muslim Indonesia ini.
Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI