Opini

Santri sebagai Mubtada sekaligus Khabar

Selasa, 22 Oktober 2024 | 08:00 WIB

Santri sebagai Mubtada sekaligus Khabar

Para santri putri Cipulus, Purwakarta sedang mengaji (Foto: Suwitno/NU Online)

Al-rijalu sunadiqu mughlaqatun mafatihuha al-kalam. Manusia adalah kotak tertutup, kuncinya adalah kata-kata. Begitu kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ungkapan yang cukup misterius, tapi maknanya sedikit galib. 


Bahasa, sejatinya makhluk yang terus tumbuh. Ia mencerminkan jiwa. Bahasa terus memperbarui diri dan mengembangkan pikiran. Sebagai jembatan sosial, bahasa memiliki kodrat memperluas pengalaman dan kemampuan individu. Pada dasarnya, bahasa adalah esensi manusia—merangkum pikiran, pengetahuan, budaya, identitas, dan mantra untuk memahami alam semesta. 


Penjelasan lanjutan itu ditulis Omar Ubaid Hasna dalam pengantar Al-Lughah wa Bina’ al-Dhat. Bahasa dan Pembentukan Diri (2004). Menurutnya, bahasa mesti dipahami sebagai sarana vital dalam seluruh aspek dan sendi kehidupan. Maka, tidak heran, jika bahasa menjadi alat utama dalam ilmu pengetahuan, politik, budaya, sosial, media, dan pendidikan. 


Bahasa, masih menurut Hasna, ialah simbol dari budaya, peradaban, ilmu pengetahuan, pembangunan, dan ekspresi diri. Puncaknya, bahasa adalah potret gamblang dari karakter seseorang. Sampai di sini, petuah Sayyidina Ali pun menjadi lebih terang. 


Pesantren dan Kurikulum Bahasa
Di Indonesia, lembaga yang paling akrab dengan pembelajaran bahasa—bahkan, mungkin lebih familiar ketimbang ruang-ruang akademik di bidangnya— adalah pondok pesantren. Pasalnya, sejak dini, para santri dikenalkan ihwal bagaimana bahasa dan sastra dapat memengaruhi banyak hal; dari keafsahan ibadah, penentu kualitas keimanan, hingga sarana tamasya bersama syair-syair puja-puji keindahan anugerah Tuhan.


Nahwu-saraf, seperti itu para santri secara standar mengenalnya. Meskipun ketika sudah memulai petualangan ilmu tata bahasa dan morfologi Arab tersebut, lambat laun mereka pun biasanya terpesona dengan level-level selanjutnya. Sebut saja, keilmuan balaghah (retorika), mantiq (logika), arudh (prosodi), serta mata pelajaran serumpun lainnya.  


Namun, apapun fan yang sedang diselami, bahasa dan sastra Arab akan melewati penyebutan pembentuk kalimat yang paling membayangi dan mengakrabi para santri, yakni istilah mubtada dan khabar. Ternyata, kedua sebutan ini pun tidak cuma menjadi materi pembelajaran dasar, tetapi bisa dimaknai secara filosofis tentang penggambaran urgensi keselarasan identitas dan tindakan seseorang. 


Sebelum kejauhan, kutipan Al-Ajurumiyah ini barangkali bisa menjadi titik mula pembahasan. Dalam 'kitab sejuta umat' itu disebutkan, Al-Mubtada'u: huwa al-ismu al-marfu'u al-'aariyu 'ani al-'awamil al-lafziyyah. Wa al-Khabaru: huwa al-ismu al-marfu'u al-musnadu ilayh, nahwu qawlik: Zaydun qa'imun, wa al-Zaydan qa'imani, wa al-Zaydun qa'imun. Mubtada alias subjek merupakan kata benda yang berada dalam bentuk marfu' (nominatif) tanpa dipengaruhi amalan lafziyah (faktor-faktor gramatikal) dari luar. Sedangkan khabar (predikat) adalah kata benda yang juga dalam bentuk nominatif tetapi menjadi bagian yang disandarkan kepada mubtada. 


Contohnya, Zaydun qa'imun (Zaid berdiri), wa al-Zaydan qa'imani (dua Zaid berdiri), wa al-Zaydun qa'imuun (para Zaid berdiri). Zaid dan pengembangannya berposisi sebagai mubtada. Sementara qaimun dan turunannya sebagai khabar. 


Bukan Sekadar Lingusitik
Dalam kajian bahasa, baik Arab maupun Indonesia, posisi subjek dan predikat menjadi elemen krusial pembentuk struktur kalimat. Subjek dalam sebuah kalimat berfungsi sebagai titik pusat yang menyampaikan informasi utama, sedangkan predikat memberikan penjelasan atau informasi tambahan tentang subjek tersebut.


Bahasa Arab yang memosisikan mubtada sebagai subjek menunjukkan bahwa kalimat (setara “kata” dalam Bahasa Indonesia) tersebut memiliki posisi yang penting sebagai identitas yang jelas dan mandiri. Sementara itu, khabar berfungsi sebagai pelengkap yang memberikan makna lebih lanjut tentang keadaan, menjelaskan sifat, tindakan, atau keadaan yang dimiliki subjek.


Teori ini sejalan dengan pemahaman dalam Bahasa Indonesia yang memiliki subjek berupa pelaku atau topik yang dibicarakan. Sedangkan predikat bertugas memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan atau dialami subjek. Misalnya, dalam kalimat "Nisa belajar dengan giat." Maka “Nisa” adalah subjek yang menjadi pusat perhatian, sedangkan "belajar dengan giat" adalah predikat yang menjelaskan tindakan Nisa.


Menariknya, tata Bahasa Arab memberikan peluang yang luas agar setiap temuan di dalamnya bisa dimaknai secara filosofis. Maka, jangan heran jika banyak santri yang gemar mengarahkan makna baru pada nazam-nazam Alfiyah Ibnu Malik, misalnya, untuk keluar dari zona pembahasan linguistik. 


Contoh, Wa fi ikhtiyar la yajiu al-munfasil. Idza ta'atta an yajiu al-muttasil, oleh para santri, bait ke-63 ini kerap dijadikan makna genit-genitan, "Jika tidak dalam keadaan terpaksa, carilah pasangan yang selingkungan, setradisi, dan serupa dalam kebiasaan." Padahal, baris tersebut sedang membahas tentang kelayakan penggunaan dhamir muttashil (kata ganti yang disambung dengan kata yang lain) dan dhamir munfashil (kata ganti yang tidak disambung dengan kata yang lain).


Ilmu bahasa, dalam proses pengajarannya saja, memang sangat berpotensi untuk dilarikan menjadi pembacaan terhadap tradisi, tindakan, juga karakter manusia. Dalam fokus pembahasan kali ini, mubtada sebagai sebuah inti kalimat sangat merepresentasikan identitas seseorang. Sedangkan khabar berfungsi sebagai penjelasan mengenai perilaku dan kontribusi individu tersebut dalam masyarakat. 


Abu Hayyan, yang disadur dari beragam penjelasannya dalam Al-Bahru Al-Muhit menggambarkan, setiap kata dalam kalimat yang memiliki peran penyampai makna menunjukkan bahwa identitas dan tindakan seseorang harus selaras demi membentuk karakter yang kuat. Kasarnya, karakter manusia, khususnya seorang santri, tidak hanya akan terbentuk dari identitas yang jelas, tetapi juga dari ekspresi nilai-nilai tersebut dalam sebuah tindakan nyata di kehidupan sehari-hari.


Urgensi Kesesuaian Identitas dan Tindakan Santri
Keselarasan antara mubtada dan khabar—identitas dan tindakan— pada akhirnya menjadi aspek fundamental yang harus dipahami oleh setiap santri. Identitas santri, yang sudah semestinya mencerminkan nilai-nilai luhur Islam, harus benar-benar sejalan dengan perilaku nyata dalam keseharian. Jika identitas yang dibawa tidak terwujud dalam tindakan yang positif, maka akan muncul ketidakcocokan, yang tidak hanya merugikan individu, tetapi juga merusak reputasi santri atau pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan mencetak generasi berkualitas. 


Ambil contoh, konteks ini akan terasa pas seiring isu kekerasan yang kian marak terjadi di sejumlah lembaga yang mengatasnamakan diri sebagai pesantren—mulai dari kekerasan verbal, psikologis, hingga kekerasan seksual—menjadi tantangan serius yang harus dihadapi. 


Sekadar kilas balik, pada 2022, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah melaporkan bahwa sebanyak 16 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama, termasuk di lembaga-lembaga yang mengklaim dirinya sebagai pesantren. Data yang tidak jauh berbeda juga dikeluarkan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Mereka menyebut bahwa sejak Januari hingga Agustus 2024 telah terjadi delapan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan dengan menyasar sebanyak 101 korban anak. Secara rinci, mereka menyebut bahwa sebanyak 62,5% kasus itu justru ditemukan di jenjang pendidikan SMP/MTs/pondok pesantren. 


Sementara itu, Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) per Senin, 14 Oktober 2024 tercatat, sebanyak 19.813 kasus kekerasan telah menyasar anak-anak di sepanjang 2024. Mirisnya, sebanyak 1.117 kasus dengan 1.447 korban anak itu justru terjadi di lembaga pendidikan, termasuk unit-unit yang mengategorikan diri sebagai pondok pesantren.


Singkatnya, pesantren kini menghadapi tantangan yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh para pendahulunya. Dengan kian banyaknya kasus-kasus kekerasan anak di lembaga-lembaga yang mengatasnamakan sebagai pondok pesantren, mau tidak mau turut mengguncang fondasi moralitas lembaga ini secara keseluruhan. 


Di sinilah pentingnya Hari Santri Nasional (HSN) dimaknai bukan lagi sekadar perayaan, tetapi momentum menjaga kesadaran agar memiliki kesesuaian identitas dan tindakan sehingga para santri maupun pesantren tetap berada pada jalur, martabat, dan kemuliaan seperti yang sudah diwariskan para pendahulu. Terlebih lagi, selain sebuah penghargaan dan rekognisi, HSN juga merupakan “panggung” yang diberikan negara untuk menunjukkan keterbukaan pesantren demi menjaga kepercayaan dari masyarakat luas.


Sudah waktunya, santri sebagai identitas (mencakup pengurus dan pengajar), tidak hanya dituntut untuk memahami nilai-nilai luhur para pendahulu, tetapi juga penting untuk terus saling wa tawaa shau bil-haqq(i), wa tawaa shau bish-shabr(i) tentang bahaya tindak kekerasan, sebagai tirakat agar terhindar dari segala bentuk kualat. 


Menjaga keselarasan antara identitas santri maupun pesantren dan tindakan sarat moral ini semakin menjadi tanggung jawab yang harus diemban oleh setiap individu dan lembaga. Melalui pendidikan yang mendalam dan komprehensif, serta penguatan karakter dan kesadaran terhadap isu-isu kekerasan, semuanya diharapkan mampu menginternalisasi nilai-nilai luhur dan menerapkannya dalam tingkah laku hingga menjadi kebiasaan. 


Dan, memang, semuanya harus berjalan seperti nasihat para pengkaji linguistik lampau, Wa'lam an i'tiyaadu al-lughah yu'athiru fi al-'aql, wal-khulq, wal-din ta'thiran qawiyan bayina. Dan ketahuilah, membiasakan suatu bahasa akan mempengaruhi batin, akhlak, dan agama secara kuat dan jernih." Ya, terus membiasakan, pelan-pelan, dengan syarat penuh kesadaran. Wallahu a’lam.


Sobih Adnan, Ketua Tim Inisiasi Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA) dan Pengasuh Muda Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, Jawa Barat