Opini

Terorisme: Irasionalitas Kekerasan Agama

Sabtu, 27 Oktober 2018 | 10:00 WIB

Oleh Ahmad Zainul Hamdi 

Salah satu pertanyaan penting yang banyak dilontarkan para pengamat isu radikalisme-terorisme adalah apa yang menyebabkan seseorang akhirnya menjadi seorang radikalis-teroris? Banyak yang meyakini bahwa fenomena radikalisme-terorisme keagamaan tidak semata-mata dipicu oleh faktor agama. Fakta di lapangan menunjukkan beragamnya latar belakang orang berubah dari “orang baik-baik” menjadi seorang teroris. 

Agama hanyalah menjadi salah satu faktor. Ada faktor psikologis, sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang mudah sekali ditemukan. Misalnya, ada orang yang masuk ke dalam kelompok teroris karena ketika kecil, dia menyaksikan orang tuanya dizalimi oleh rezim penguasa. Ada juga orang yang menjadi teroris karena kondisi ekonomi yang menyedihkan. 

Sekalipun demikian, penjelasan di atas tetap belum bisa menjawab, mengapa seseorang karena keterjepitan ekonomi, misalnya, memutuskan untuk menjadi seorang radikalis, bahkan teroris. Atau, mengapa ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi kapitalistik yang jahat membuat orang mengambil langkah untuk menjadi pelaku bom bunuh diri?

Dalam sebuah tulisannya, Cooper (2015) melontarkan pertanyaan yang cukup menggelitik, “What do terrorists want?” Tentu saja, setiap tindakan teror bertujuan untuk melukai dan melahirkan ketakutan mendalam kepada publik. Tapi, apa sesungguhnya tujuan utama mereka? Teori rational actor pasti akan menjelaskan bahwa aksi teror adalah sebuah pilihan tindakan yang dikalkulasi secara rasional untung dan ruginya. Rumus yang digunakan kurang lebih adalah sebagai berikut: “Keuntungan politik dikurangi biaya politik menghasilkan keuntungan bersih yang lebih besar jika dibanding dengan cara-cara potes lain”.

Sekalipun demikian, teori ini tetap tidak mampu menjelaskan tentang keuntungan politik apa yang diinginkan oleh sekumpulan teroris yang melancarkan aksinya dari markas pasukan elit kepolisian. Bahkan, keuntungan politik apa yang akan didapatkan ketika mereka justru lebih senang menempatkan dirinya dalam sasaran tembak seluruh kekuatan dunia? 

Para ahli membedakan antara teroris etno-nasionalis seperti IRA di Irlandia Utara atau ETA di Basque Spanyol dengan teroris-jihadis trans-nasional seperti al-Qaedan dan ISIS. Jika yang pertama melakukan tindakan kekerasan untuk menaikkan posisinya dalam proses negosiasi dengan lawannya dalam rangka mencaoai tujuan politiknya, maka yang terakhir memainkan kekerasan dalam kerangka tuntutan politik yang absolut dan non-negotiable. Tujuannya bukan untuk bernegosiasi, tapi mengekspresikan situasi alienasi dan kemarahannya dengan carayang berisiko kematian. Terorisme ini adalah sebentuk irasionalitas. 

Oleh karena itu, kekerasannya tak bisa dijelaskan kecuali dari motif yang menggerakkannya. Menurut Wood (2005), apa yang mendorong para teroris itu adalah keyakinan keagamaannya. Wood menyatakan dengan istilah “apocalyptic reading of the sacred text”, yaitu pemahaman kitab suci dalam semangat perang habis-habisan. Karena pandangan keagamaan inilah, kelompok teroris tidak memiliki kemampuan untuk mengubah cara-cara perjuangannya, bahkan jika perubahan itu membuatnya akan selamat.

Teologi kekerasan

Dalam sebuah tulisannya pasca-Persitiwa 11 September, The Place of Tolerance in Islam, Khaled Abou el-Fadhl (2003) menyatakan bahwa terorisme sesungguhnya adalah masalah kemanusiaan universal. Korban terorisme mengena siapa saja yang dianggap tidak sejalan dengan ideologi kaum teroris, tidak peduli apakah korban itu seagama dengannya atau tidak. Terorisme tidak hanya membahayakan non-Muslim, tapi juga umat Islam sendiri.

Menurut Abou el-Fadhl, potensi bahaya tersebut sudah tertancap dalam psiko-teologi mereka. Para teroris ini meyakini dirinya sebagai kelompok orang beriman yang memiliki kebajikan tertentu yang membedakan mereka dengan penganut keyakinan lain. Sifat supremasi teologi mereka ini sangat membahayakan karena memiliki muatan dominasi kultural dan politik yang sangat kuat.Kelompok ini tidak hanya puas dengan keleluasaan untuk hidup menurut nilai-nilai keyakinannya sendiri, tapi mereka juga memiliki ketidakpuasan aktif terhadap cara hidup yang dimiliki orang lain. Akibatnya, mereka tidak hanya berupaya untuk mengembangkan dirinya sendiri, tapi secara agresif berupaya untuk melemahkan, mendominasi, dan menghancurkan kelompok lain. Siapa saja yang hidup di luar nilai-nilai yang diyakininya dianggap sebagai melawan Tuhan dan oleh karena itu, harus dilawan dan diperangi. Dari rahim teologi supremasis inilah lahir berbagai aksi teror.

Gerakan kelompok ini didorong oleh sebuah keyakinan bahwa umat Islam selama ini telah diperlakukan tidak adil oleh Barat-Kristen. Keyakinan ini dibangun di atas narasi Perang Salib hingga dominasi Barat-Kristen atas negara-negara mayoritas Muslim pasca-kolonial. Kelompok ini juga meyakini bahwa Barat telah melakukan perampasan atas tanah dan sumber kekayaan alam umat Islam, melemahkan kekuatan ekonomi, militer dan politiknya. Tidak hanya itu, Barat juga dianggap melakukan upaya-upaya untuk menghambat pertumbuhan Islam dengan memberi bantuan kepada aktivitas-aktivitas anti-Islam (Saeed 2007).

Karena itu, tidak mengherankan jika konsep penting yang memotivasi kelompok ini adalah ‘jihad’. Mereka memahami konsep jihad sebagai tindakan teror dan kekerasan dalam perang global antara kebaikan (Islam) dan keburukan (Barat/non-Islam). Juergensmeyer (2000) menjelaskan motif terdalam dari aksi-aksi teror keagamaan dengan istilah cosmic war, di mana pelaku teror selalu meyakini bahwa mereka berada dalam sebuah perang semesta antara kebaikan melawan kejahatan. 

Para pelakunya bisamelakukan tindakan teror di dalam maupun di luar negaranya. Mereka tidak peduli bahwa tindakannya mungkin saja akan menghancurkan negaranya sendiri.Kelompok ini memiliki konsep politik dan kenegaraan sendiri.Sayyid Qutb, salah seorang ideolog yang banyak menjadi rujukan kaum teroris, mengembangkan teori politik dengan memperlawankan antara tatanan politik Islami dan jahili. Yang pertama merujuk pada negara yang meletakkan Allah sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Negara Islam adalah negara yang mengikuti hukum Allah, bukan negara yang membuat hukum sendiri. Hukum Allah adalah ketetapan yang tidak bisa diubah oleh persetujuan manusia. Jika sebuah negara tidak mengikuti hukum Allah dan tidak meletakkan Allah sebagai kedaulatan tertinggi, maka ia adalah negara jahili yang layak untuk dihancurkan.

Dalam kerangka pemikiran teologis ini, kaum teroris meyakini bahwa tatanan Islam  dan tatanan jahili adalah dua entitas yang  saling bertentangan dan bermusuhan.Pilihannya adalah menang secara total atau hancur tak berbekas. Mereka meyakini bahwa masyarakat jahili harus dihancurkan. Dakwah dengan lisan saja tidak cukup, tapi juga jihad dengan kekerasan (Bubalo & Fealy2005).

Jika saat ini sekelompok teroris melancarkan berbagai aksi teror di berbagai penjuru negaranya sendiri, masihkah itu mengundang tanya? Kekerasannya tak bisa dijelaskan kecuali ia menunjukkan sisi irasionalitas tindakan manusia yang didorong oleh paham keagamaan apokaliptik.


Penulis adalah Dosen pada Departemen Studi Agama-agama UIN Sunan Ampel Surabaya





Terkait