Pesantren

Darussalam, Awalnya Mengaji Duduk

Jumat, 24 Agustus 2012 | 08:15 WIB

Pondok Pesantren Darussalam adalah pesantren tertua dan terkemuka di Kalimantan Selatan, dan wilayah Kalimantan khususnya.

<>Pesantren ini telah melahirkan banyak ulama terkemuka dan menjadi tempat penting pendidikan dan regenerasi ulama di Kalimantan. Hampir seluruh silsilah murid-guru di wilayah ini bermuara di pesantren ini.

Pesantren ini didirikan pada tahun 14 Juli 1914 oleh KH Jamaluddin. Sebelumnya penting diingat bahwa di kota Martapura ini telah berkembang banyak pendidikan keagamaan yang bersifat sederhana dan tradisional, yakni sistem ‘mengaji duduk.’ 

Maraknya kehidupan keagamaan dan pengetahuan di kota ini membuatnya dijuluki sebagai ‘Serambi Mekkah’-nya Kalimantan. Tak jauh dari Martapura ini juga dulu, Tuan Guru H. Muhammad Arsyad mendirikan pesantren dan mengembangkan Islam lebih luas lagi, yakni di kampung Dalam Pagar. 

Pendirian Pesantren Darussalam oleh Kiai Jamaluddin ini bisa dikatakan sebagai pengembangan lebih lanjut tradisi pendidikan yang telah ada, dengan lebih terlembaga. Awalnya sistemnya masih bersifat halaqah di mana para santri mengelilingi guru untuk mendengarkan pembacaan kitab. Ikhtiar ini kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh KH Hasan Ahmad.

Sistem klasikal kemudian dikenalkan oleh KH Kasyful Anwar yang menggantikan Kiai Hasan Ahmad. Ia memperkenalkan penjenjangan mulai dari Tahdiriyah selama 3 tahun, Ibtidaiyah 3 tahun, dan Tsanawiyah 3 tahun. 

Ia juga melakukan pembaharuan dari aspek kurikulum dengan memasukkan aspek pelajaran umum dalam kurikulum pesantren. Kiai Kaysful Anwar mejadi pimpinan pesantren sejak tahun 1922 hingga tahun 1940.

Pada tahap selanjutnya, pesantren juga membuka sekolah-sekolah umum seperti SMP, SPP (Sekolah Pertanian) yang menggunakan kurikulum dari departemen pertanian, dan STM yang mengacu pada Depdiknas. 

Selain itu, pesantren juga mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam yang dikombinasikan  dengan sistem pesantren. Seluruh perkembangan ini dimaksudkan untuk menampung dan memenuhi tuntutan masyarakat, yang tidak semata menuntut ilmu agama, tetapi juga menginkan pendidikan umum. 

Meski demikian, bukan berari pendidikan yang memasukkan aspek umum ini mengabaikan pendidikan agama. Karena pada dasarnya pendidikan pesantren tetap mengacu pada kitab kuning, sedangkan sekolah menggunakan sistem klasikal.

Dalam hal yang terakhir ini penting diingat karena di Martapura hingga kini masih banyak para tuan guru yang membagikan pengetahuan di rumah-rumah mereka dengan pola ‘mengaji duduk.’ Para santri Darussalam ini umumnya mengisi waktu mereka dengan mengikuti pengajian dengan pola tradisional ini. Pelajaran agama yang masih mengacu kitab kuning ditambah dengan elajaran informal kitab kuning ini membuat Pesantren Darussalam dalam hal pengajaran kitab kuningnya.

Keunggulan lainnya adalah hubungan pesantren dengan masyarakat yang dekat sekali. Selain di asrama, para santri juga banyak yang kos di rumah-rumah penduduk, dan dengan demikian  pesantren Darussalam menjalankan fungsi sosial-keagamaannya di tengah masyarakat itu sendiri. 

Selain itu, pesantren berdiri di tengah-tengah masyarakat dan tidak terisolasi dari masyarakat. Tidak ada dinding atau pagar yang memisahkan antara pesantren dan masyarakat, dan antara keduanya terjadi pargaulan yang intensif. 

Bukan kebetulan bahwa dalam sehari-hari, masyarakat Martapura sendiri terkenal relijius dan pakaian yang mereka kenakan juga umum digunakan oleh kalangan pesantren seperti sarung, baju koko, dan peci putih untuk kalangan laki-laki. 

Martapura menjadi kota santri par exxelence di antaranya karena kehadiran Pesantren Darussalam ini.

Sekarang jika dikalkulasi dari tingkat ibtidaiyah hingga perguruan tinggi, dari sekolah umum hingga pesantrennya, berjumlah sekitar 10.500an santri dengan pengajar sekitar 200an. Pesantren ini sekarang dipimpin oleh Kiai Abdul Syakur. (Hairus Salim HS)





Terkait