Puisi

Puisi Faisal Kamandobat

Sabtu, 10 November 2012 | 22:46 WIB

KITAB KEBUTAAN

Negeriku adalah firdaus yang dilindungi
Dinding baja dan kawat berduri.

Mayat para pahlawan yang terbuat dari boneka
Dibangkitkan sebagai monumen-monumen
Dengan seribu wajah bayangan.

<>Lagu cinta yang kunyanyikan musnah
Di atas pulau, di bawah bintang, di atas makam
Para moyang yang telah menjadi batu.
Arwah para petani dan pelaut 
Yang digaibkan kitab kebutaan
Sesekali bangkit dengan menyamar sebagai burung.
Mereka bertengger di pohon mimpi,
Mengenakan bulu gagak,
Menyanyikan tembang-tembang keemasan—
Kisah-kisah liris dari alam pengasingan
Di kerajaan jiwa yang lain—
Mengunjungi bekas ladang dan laut yang terjarah  
Tangan dan kaki yang tak mengenal batas.

Kitab kebutaan bangsaku
Berkisah dalam bahasa kebingungan.
Huruf-hurufnya jadi biji-bijian
Makanan burung-burung jelmaan arwah terusir
Di ladang dan laut yang melahirkannya,
Di ladang dan laut yang melenyapkannya;
Bernyanyi tanpa kata, melihat tanpa mata,
Bergerak tanpa tempat, bernafas tanpa udara,
Menjadi hantu yang hidup tanpa tempat berpijak.

2012



PINTU

Puisi adalah pintu.
Ia akan membuka kunci rahasianya
Di saat kita sejenak terdiam.
Jantung puisi akan terdengar detaknya
Pada dentuman sunyi
Di ujung kalimat terakhirnya.

Sebuah jalan terbuka.
Masuklah ke dalam dunia kata-kata,
Dan cecaplah
Buah dari pohon-pohon perlambang
Dan engkau akan tenggelam
Ke dalam penderitaan umat manusia:
Mereka yang memandang sambil membisu,
Ketika kata-kata tak lagi menemukan
Kesunyian untuk berlabuh.

Puisi membuka ruang agar kata-kata
Menjadi tindakan di tengah dunia.
Di saat waktu berjalan, dan sejarah terhenti.

Oktober, 2012


Terkait