Penulis: Prof Dr Nurcholis Madjid
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, April 2008
Tebal: 397 Halaman
Peresensi: Muhibin A.M.
Di tengah-tengah kemelut bangsa yang sedang dihadapkan pada persoalan yang sangat komplek ini, terutama bagi umat Islam yang akhir-akhir ini mengalami kerentanan sosial dengan budaya anarkisme, semakin menghilangkan identitas ke-Islam-an Indonesia yang selama ini dikenal dengan Islam moderat, mencintai perdamaian dan kebersamaan. Apalagi dengan ditopang lemahnya penegakan hukum, seakan-akan memberikan jalan lebar bagi gerakan fundamentalisme. Tak pelak aksi-aksi mereka selalu meresahkan masyarakat dan mengancam stabilitas umat beragama, dan bahkan dapat mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.<>
Kelompok-kelompok fundamentalisme Islam ini sudah begitu kentalnya memengaruhi sebagian masyarakat Indonesia, terutama umat Islam perkotaan. Mereka lahir dengan berbagai rupa dan bentuk warnanya, contoh, di antaranya, Front Pembela Islam (FPI) pimpinan Razieq Shihab yang saat ini menuai kritikan dari seluruh elemen masyarakat menyusul penyerangan kelompoknya pada 1 Juni lalu di Monas, Jakarta, terhadap para aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Di samping itu juga ada kelompok Jamaah Islamiyah pimpinan Abu Bakar Ba’asyir. Gerakan-gerakan mereka lebih mencerminkan sikap keras dan tanpa akomodatif serta tidak mengenal jalan damai. Semangat gerakan mereka lebih banyak yang membahayakan dan mengancam kemanusiaan.
Di atas kekhawatiran tersebut, buku berjudul Islam Kemodernan dan Ke-Indonesia-an karya (alm) Nurcholish Madjid ini hadir ke tengah-tengah kita untuk memberikan pemahaman Islam Ke-Indonesia-an yang saat ini menjadi ikon ke-Islam-an negara kita yang seharusnya tetap dipertahankan, dari pada mengadopsi pemahaman ke-Islam-an lain yang sudah tercampur berbagai kepentingan yang sebenarnya merugikan Islam. Agar nantinya kita lebih tahu, mengerti serta memahami mengenai ajaran-ajaran Islam yang lebih relevan dengan situasi dan kondisi zaman yang sedang kita hadapi.
Islam dikenal sebagai agama yang rahmatan lilalamin (rahmat bagi sekalian alam). Agama ini datang ke dunia memiliki visi-misi untuk menyebarkan kedamaian, kelembutan serta keadilan, agar di dunia ini tercipta kesejahteraan dan rasa persaudaraan di antara sesama makhluk Tuhan di bumi ini. Atas visi-misi perdamaian dan keadilan inilah yang menyebabkan ajaran-ajaran Islam dapat diterima semua bangsa di dunia ini, tanpa ada perbedaan-perbedaan.
Metode penyebaran dengan jalan damai merupakan salah satu cara yang menjadi jembatan penyebaran Islam para wali ini di Nusantara. Sehingga, dalam waktu cukup singkat, ajaran-ajaran Islam telah tersebar di berbagai penjuru di negeri ini. Mereka, para wali penyebar Islam, menggunakan metode penetrasi kebudayaan-kebudayaan dengan damai (penetration pacifique), yang banyak disesuaikan dengan kondisi geografis bangsa Indonesia serta adat-istiadat yang memiliki ciri menyukai dan mencintai jalan kedamaian. Maka, terciptalah Islam Nusantara yang memiliki ciri tersendiri yang menjadi ikon dari ke-Islam-an Indonesia, yakni Islam moderat (Islamic moderation) dan akomodatif (accomodation) yang selalu menyatu dengan kondisi sosial-kultural masyarakat. (halaman: 54).
Islam ke-Indonesia-an, menurut Nurcolis, adalah ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural dan majemuk serta menghargai pebedaan. Watak Islam yang melakukan penetrasi kebudayaan secara damai serta tetap memelihara dan menyesuaikan diri dengan tradisi kehidupan masyarakat Indonesia yang tidak bertentangan dengan Islam. Serta tidak menolak adanya kehidupan modern sebagai bagian dari kehidupan manusia yang tidak bisa ditinggalkan. Prisnsip yang dipakai: “memelihara pemahaman lama yang masih relevan serta mengambil hal-hal yang baru yang lebih relevan”. Tetap menjaga stabilitas moderatisme dan berwatak suka menolong.
Sikap dan watak moderat inilah yang selama ini menjadi pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam menjaga stabilitas beragama serta mengedepankan musyawarah-mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Namun, sayangnya, nilai-nilai ke-Islam-an itu, saat ini sudah mulai terkikis oleh masuknya kebudayaan-kebudayaan luar yang mengatasnamankan Islam, dengan seluruh gerakannya lebih mengedepankan anarkisme dari pada jalan perdamaian. Jika dibiarkan, akan semakin merusak tatanan kedamaian masyarakat yang telah terjalin sejak lama.
Buku setebal 397 halaman ini setidaknya dapat memberikan kesadaran dan pemahaman kepada kita semua terutama bagi masyarakat yang telah tergelincir ke dalam garis-garis fundamentalisme Islam, terutama masyarakat awam yang mudah terpengaruh kebudayaan luar. Apalagi, saat ini, semakin berkembang kelompok-kelompok Islam fundamental yang tidak mengedepankan perdamaian dan humanisme. Mereka lebih condong pada sikap keras dan berwatak vandal dan barbar. Semuan merupakan fakta bahwa mereka sebenarnya jauh dari ajaran Islam yang dan tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat kita yang lebih suka musyawarah-mufakat.
Peresensi adalah Mahasiswa Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta