Lakon yang dibuat hanya kelanjutan tema-tema umum sebelumnya, hanya ditambah dengan adegan berbuka puasa dan bertarawih, sambil mengerudungi para aktris dan menyematkan peci pada para aktor, yang sebenarnya karakternya masih binal dan pongah, bentuk pergaulan bebas, masih tetap dijalankan, sama sekali tidak menghayati nilai keagamaan yang diperankan.<>
Mereka itu tidak hanya tidak mengenal agama, tetapi juga tidak mengenal kehidupan social, karena mereka hanya direkrut dari kalangan kelas berada, terutama dari kelompok indo dan gedongan. Dalam setiap lakon menjadi sangat rasial dan diskriminatif, kalangan pribumi hanya diperankan sebagai babu atau jongos.
Dari penulis skenario, produser dan sutradara yang tidak mengenal agama dan kehidupan itu muncul berbagai lakon yang sangat bertolak dengan agama dan kehidupan. Kalau selama ini drama dan film digunakan sebagai sarana hiburan yang memberi pendidikan dalam arti mengajak pada tindakan positif, maka segi-segi ketabahan hidup, kesetiakawanan yang tiada batas, perjuangan yang tidak mengenal lelah. Sebaliknya sinetron yang dibuat oleh para penulis skenario, sutradara dan produser kacangan ini hanya melahirkan karya sinetron picisan.
Ketidakmampuan mengangkat tema yang mendalam diganti dengan berbagai adegan yang penuh marah, tangisan dan kegembiraan dengan setting yang cenderung glamour. Demikian juga sinetron Ramadhan yang diklaim Islami itu juga tetap menyuguhkan intrik, kebencian dan bahkan dendam yang tak kunjung padam.
Dalam film yang baik seperti Nagabonar misalnya selain ditampilkan karakter yang setia seperti Nagabonar pada ibunya, atau si bujang yang sangat setia pada Nagabonar, sehingga walaupun kecewa hanya mendapat pangkat kopral, tetapi membela pasukan Nagabonar sampai mati.
Di situ juga ada tokoh yang garang seperti ibu si Nagabonar, tetapi ia pribadi yang jujur. Atau dalam film tradisional selalu ada perselisihan antara orang yang culas pendendam tetapi sikap culas dan dendam tidak pernah dipertunjukkan sebegitu dominan. Dan vulgar. Sebagaimana dalam kehidupan ada kecurangan, ada iri hati ada dendam, tetapi hal itu biasanya sifatnya temporal. Setelah terjadi konflik lalu rukun kembali, saling memaafkan, lalu saling tolong-menolong seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Konflik antar kelompok dan individu terjadi dalam batas-batas yang wajar, yang dalam istilah Jawa; tega larane ora tega patine (hanya tega menyakiti tetapi tidak tega membunuh).
Sebaliknya dalam Sinetron Islami Ramadhan ini, kalau ada orang culas maka ia akan seculas-culasnya, tidak ada upaya rujuk dan akur, sehingga menjadi dendam yang tak pernah kunjung padam. Kalaupun akur hanya pura-pura, sekedar untuk, mencari peluang untuk menerkam. Di situlah berbagai adegan seperti pembunuhan terencana selalu terjadi. Dalam sinetron semacam itu tema yang digarap tidak pernah serius hanya berputar di sekitar keluarga, karena itu untuk menciptakan suasana dramatis dibuatlah karakter yang cengeng, picik dan mudah tersinggung. Sekali tersinggung langsung konflik, sekali konflik langsung melakukan penyingkiran.
Film sebagai media hiburan sebenarnya membawa muatan pendidikan mengajak pada kebaikan dan kebenaran: dalam hidup memang ada kecemasan, ada keputusasaan, ada iri hati dan dendam. Tetapi justru film bisa memberikan perspektif lain dari hidup nestapa yang penuh kecemasan dendam dan keputusasaan itu dengan menampilkan tokoh penuh kesetiakawanan, tidak mengenal putus asa, walaupun dalam situasi sulit tetapi masih terus optimis dan penuh harapan. Di tengah keputusasaan mampu memberikan jalan terang di tengah kebuntuan bisa menemukan jalan keluar.
Ini tradisi yang berkembang dalam film kita di masa lalu ketika film masih dipegang oleh para ahlinya. Ini juga yang menjadi karakter film Cina dan jelang saat ini, termasuk dalam film kartun yang banyak dikuti anak-anak kita sekarang ini. Siapa bilang anak kita senang melihat sinetron picisan. Mereka melihat karena tidak ada yang lain, tetapi ketika mereka disuguhi sinetron yang bermutu seperti “Si Doel” karya Rano Karno atau karya Dedi Mizwar “Para Pencari Tuhan”, ternyata anak-anak dan remaja sangat terkesan dan tersentuh perasaannya oleh sinetron yang berkualitas ini.
Masyarakat kita ini bak yang anak-anak, remaja sebenarnya telah matang berpikir, mana yang logis, rasional dan substansial, maka ketika disuguhi drama yang asal-asalan yang tidak masuk di logika, sebenarnya mereka juga gundah bahkan muak. Mereka ini sebenarnya butuh pengkayaan intelektual dan butuh pengkayaan ruhani dari setiap sinetron yang ditonton. Karena itu mereka itu akan segera tertarik ketika disuguhi film bermutu apakah itu dari Jepang, dari Cina dari India, Timur tengah atau dari Barat, termasuk dari negeri sendiri.
Akankah kita terus membiarkan masyarakat, terutama anak-anak dan remaja kita merana secara intelektual dan spiritual hanya karena didera oleh sinetron yang menghina akal sehat, mempermainkan agama dan menghina nilai-nilai moral. Para budayawan, dan para ruhaniawan yang peduli pada masalah perkembangan intelegensia dan moralitas anak bangsa ini mesti peduli dengan persoalan ini.
Kesenian merupakan sarana strategis untuk membangun kebudayaan, karena itu sarana ini tidak bisa diabaikan, apalagi ditinggalkan. Selama ini orang hanya sibuk membangun sekolah, tetapi lupa membangun sanggar budaya. Padahal melalui seni budaya itu moralitas agama bisa ditanamkan secara halus dan hasilnya sangat mendalam, sehingga mampu membentuk karakter manusia religius dan bermoral. (Abdul Mun’im DZ)