Risalah Redaksi

Gebrakan Sang Paus

Selasa, 22 April 2008 | 04:59 WIB

Pada mulanya orang masih meragukan kapasitas Paus Benediktus XVI dibanding Paus Yohannes yang lembut dan sejuk. Tetapi justru kehadiran Paus yang bersemangat muda dan heroik ini dianggap tepat untuk situasi dunia yang sedang galau seperti sekarang ini. Dunia tidak hanya membutuhkan khutbah yang sejuk dan khusuk menyentuh kalbu, tetapi juga butuh khutbah yang menggugah kesadaran manusia yang lelap dalam ketidakadilan dan penindasan.

Langkah itulah yang rupanya dilakukan Sang Paus di manapun melihat ketidakadilan terjadi dan akan diucapkan dengan segala risiko walaupun kebenaran yang disampaikan  itu pahit bagi orang lain. Khutbah yang disampaikan Paus di Markas PBB di New York dengan tegas mengkritik dominasi Amerika Serikat terhadap lembaga tertinggi dunia ini, sehingga seluruh kebijakan lembaga ini ditentukan negara adikuasa itu, sementara yang lain hanya mengamini.<>

Bahkan dengan tegas Paus mengkritik kebijakan Amerika yang dengan gegabah menyerang Irak hanya untuk mendapatkan minyak. Padahal tindakan itu tidak disetujui sendiri. Tetapi Amerika memaksakan diri dengan membentuk pasukan gabungan, sehingga negeri yang makmur dan damai itu menjadi Negara yang porak-poranda dan miskin. Tragedi kemanusiaan terus terjadi karena setiap hari terjadi pengeboman. Maka pantas kalau Paus menanyakan demokrasi dan hak asasi manusia yang dijanjikan Amerika dalam penyerangan paling brutal di dunia modern itu.

Bahkan jauh sebelumnya Paus ini juga mengkritik pemerintah Australia yang melakukan diskriminasi terhadap kaum aborijin dengan mengumpankan pada mereka dengan narkotika dan berbagai minuman keras. Walhasil, mereka mengalami disorientasi sehingga tidak bisa lagi berpikir normal dan bekerja keras, hidupnya hanya bermalasan dan setengah sadar. Nampaknya kritik itu cukup mempan sehingga Perdana Menteri Rudd segera meminta maaf atas pembasmian rasial dan kultural kelompok Aborijin itu.

Seluruh yang disampaikan Paus adalah upaya mempertahankan dogma Kristiani yang merupakan dogma penyelamatan bagi umat manusia. Karena itu dengan gigih dan militan mempertahankan iman dalam praktik kehidupan dan mengkritik siapa saja yang melanggar, termasuk di kalanagan para uskup sendiri. Dengan penataan moral gereja itu, maka gereja memiliki hak moral untuk bicara soal moral di tengah kehidupan yang dengan tegas menolak penerapan etika dan moral dalam kehidupan. Padahal moral adalah jalan keselamatan bagi manusai di mana saja, baik bagi Kristen, Hindu, Budah  maupun Islam. Dengan demikian tertib moral itu bukan untuk kepentingan agama sendiri, tetapi untuk menjamin terlaksananya ketertiban dunia.

Kehadiran sang Paus dengan sikapnya yang tegas lugas itu sangat tepat di saat politik dunia kian timpang, di mana Amerika kini menjadi satu-satunya negara super power. Rusia dan Cina belum sepenuhnya mampu mengimbangi AS. Sementara Non Blok sudah kehilangan orientasi. Demikian juga Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga tidak memiliki kekuatan yang menentukan. Maka kehadiran Sang Paus bisa mewakili keadaaan ini, mengingat Katolisisme masih merupakan kekuatan besar di dunia ini baik secara politik dan secara ekonomi, sehingga suaranya didengar.

Selama ini organisasi tersebut telah banyak menyuarakan protes dan himbauan terhadap Negara super power itu, tetapi tidak memperoleh perhatian. Mestinya dengan kepeloporan Vatikan dengan sang Paus ini, baik Non Blok maupun OKI termasuk ICIS yang dipimpin Hasyim Muzadi ini secara serentak bisa menindaklanjuti langkah Paus dalam mewujudkan tata dunia yang tidak lagi hegemonik, manipulatif bahkan eksploitatif, serta tata dunia yang  lebih adil. Tata dunia ini diharapkan mampu memberikan kesejahteraan bagi negara miskin dan terbelakang baik di Asia maupun Afrika.

Ketidakadilan  dan eksploitasi yang terjadi didunia modern saat ini baik atas nama globalisasi, perdagangan bebas, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) perlu dicegah. Mengingat besarnya kekuatan eksploitasi dari neo-imperialis itu, maka perlu adanya kerjasama kekuatan dunia untuk membendung laju gerakan eksploitasi itu. Sebab, hampir semua negara dan kelompok akan menjadi korban eksploitasi imperialisme ini, sehingga semuanya harus turun tangan untuk menanggulanginya sebelum terlindas semua. Kerjasama antarnegara, agama, dan bangsa menjadi sangat penting dalam menjalankan agenda ini. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait