Kegamangan Agamawan dan Ilmuwan Menghadapi Ponari
Jumat, 27 Februari 2009 | 04:50 WIB
Kelompok agamawan puritan semacam itulah belum apa-apa sudah menuduh bahwa Ponari dan segenap orang yang berobat kepadanya sebagai musyrik, menyekutukan Tuhan. Bahkan di antara mereka mengkritik masyarakat yang masih percaya pada hal-hal yang bersifat gaib dan ini menjurus pada kemusyrikan. Tentu ini logika yang salah, bukankah rukun iman itu termasuk iman pada hal-hal yang ghoib, bahkan tanda orang bertaqwa adalah orang yang percaya pada hal-hal yang ghoib (hudan lil muttaqin alladzina yukminuna bilghoibi). Allah pun bersifat ghoib, malaiakat ghoib dan hari akhir juga bersifat ghoib, termasuk makhluk Allah yang lain seperti jin, syaithan juga ghoib, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran.<>
Ketidakdewasaan kaum beragama dalam memahami ajaran Islam membuat mereka gegabah dalam merespon perkembangan masyarakat. Hal itu menjangkiti pula kalangan ilmuwan, dengan berlandaskan pada asumsi atau kepercayaan apriori bahwa keilmuannya bersifat objektif dan hanya mengakui hal-hal yang bersifat materi yang bisa diuji secara akal dan materi. Ilmu pengetahuan modern memang dirumuskan berdasarkan kepercayaan bahwa kehidupan hanya bersifat natural-fisik yang bisa diindera. Tidak ada dunia supranatural atau metafisik, karena itu ketika melihat fenomena yang bersifat metafisik mereka angkat tangan dan menolaknya sebab dianggap tidak ada. Itulah sebabnya tanpa melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang pengobatan yang dilakukan Ponari, maka Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan nada berang menolak seluruh proses pengobatan yang dilakukan Ponari, malah menuduh masyarakat sudah tidak waras, putus harapan.
Walaupun dokter secara pribadi mungkin beriman, tetapi ketika menjalankan prinsip keilmuannya banyak sekali mereka yang ateis, karena menolak seluruh realitas yang bersifat metafisik. Menolak kemungkinan adanya anugerah Tuhan pada seseorang, sehingga mampu melakukan sesuatu di luar perkiraan manusia. Seorang ilmuwan baik dokter, sosiolog dan antropolog yang selama ini banyak berkomentar di media. Mestinya mereka tidak boleh apriori, apalagi dengan menghina masyarakat yang berobat yang dianggap bodoh, tidak waras. Para ilmuwan cenderung berkepala batu, hanya percaya pada dogma akademisnya sendiri yang dianggap benar, sementara secara apriori menganggap argumen yang lain salah.
Dengan pemahaman keagamaan yang mendalam para ulama NU sejak dari tingkat Cabang Jombang, hingga Pengurus Besar sangat hati-hati menyikapi hal itu. Sebab bisa jadi pengobatan Ponari itu benar karena Ponari mendapatkan ma’unah dari Allah SWT. Karena NU belum menyelidikan maka tidak mau secara apriori menganjurkan atau melarang pengobatan itu. NU hanya menyarankan ketertiban. Dan setiap pengobatan ada sarana, ada tabib, ada ramuan dan sebagainya, Ponari dan batunya hanya sarana, sebagaimana pil atau kapsul yang banyak dijadikan sarana penyembuhan. Apakah orang yang pergi ke dokter juga bisa dianggap musyrik karena masyarakat percaya dokter dan obat bisa menyembuhkan penyakitnya?
Sebagaimana dokter juga tidak bisa menyembuhkan seluruh pasiennya yang berobat. Barangkali Ponari juga tidak bisa menyembuhkan pasiennya yang berobat. Dengan alasan itu tidak bisa dianggap dokter gagal atau pengobatan ala Ponari gagal, karena semuanya bersifat sarana. Karena pada dasarnya ada pasien yang pada tahap sudah tidak bisa diselamatkan dan ada pasien yang masih bisa diselamatkan dan ini bukan kesalahan dokter atau tabib semacam Ponari.
Mestinya para ilmuwan dan agamawan kita belajar untuk arif. Para ilmuwan Cina termasuk pemerintahnya yang komunis itu walaupun telah menguasai ilmu pengetahuan modern termasuk ilmu kedokteran paling modern, tetapi mereka tidak meninggalkan sistem pengobatan Cina tradisional. Warisan leluhur itu terus dikembangkan dan diakui secara resmi sebagai sistem pengobatan yang sah, tidak sekadar alternatif. Para ilmuwan yang sebagian ateis itu tidak merasa tercederai reputasi keilmuannya ketika mengapresiasi tradisi leluhurnya yang dalam beberapa hal terbukti kemujarabannya.
Lemahnya tradisi mubahatsah di kalangan agamawan, karena mereka hanya mengurusi wilayah permukaan sehingga kehilangan kemendalaman dalam beragama, bahkan tidak sedikit yang miskin spiritualitas. Demikian juga lemahnya tradisi penelitian di kalangan ilmuwan termasuk bidang kedokteran, sehingga gagap menghadapi perkembangan masyarakat yang lebih dinamis. Kegagapaan itu ditunjukkan dengan kemarahan mereka dalam merespon Ponari, tanpa melakukan pengujian. Dan tidak sedikit kalangan agamawan yang mendorong untuk dikeluarkan fatwa haram buat pengobatan Ponari. Para ulama yang beneran tentu tidak melakukan tindakan mensikapi sebuah naba’ (berita) yang beredar sebelum melakukan tabayyun atau pembuktian.
Seluruh anggapan, asumsi, prasangka hingga tuduhan, apakah Ponari mendapatkan karomah, apakah tukang sihir, apakah ini permainan inteleijen, semua perlu ditabayun diselidiki, baru masing-masing bisa ambil kesimpulan, baik para dokter sendiri, kalangan pejabat pemerintah, kalangan agamawan dan kalangan ilmuwan pada umumnya, sehingga segala sikap yang diambil, mendukung atau melarang tidak berdasarkan apriori, tetapi berdasarkan kearifan. (Abdul Mun’im DZ)