Pembaruan agama sering kali ditempatkan dalam paradigma ini, sehingga agama dianggap sebagai warisan mitos masa lalu yang perlu diobyektivikasi menjadi fakta-fakta sosial dan kebudayaan yang terlepas dari nilai Ilahiyat. Dengan pemahaman semacam itu maka berbagai ritus atau ritual peribadatan mulai diragukan kegunaannya sebagai sebuah gerak spiritual dan hanya dipahami sebatas sarana integrasi sosial. Ketika sarana integrasi lain telah ditemukan maka berbagai ritus telah ditinggalkan.<>
Berbagai dalih dikemukakan, yang seolah baik seperti penekanan pada kesalehan individual yang ditandai dengan ketaatan beribadah, diangap sebagai penyebab terjadinya ketidak salehan sosial (kepedulian sosial) karena dinilai hidupnya hanya berorientasi keakhiratan. Sebagai kebalikannya didorong tumbuhnya kesalehan sosial dengan meningalkan kesalehan individual. Tetapi apa yang terjadi kesalehan individual telah ditinggalkan, tetapi kesalehan sosial juga tidak pernah berhasil diterapkan, sebab seluruh upaya yang mereka lakukan dengan alasan sosial dan kemanusiaan itu terbukti hanya strategi bisnis para aktivis sosial. Akhirnya masyarakat tetap idak terlayani, akhirnya hanya para ustaz para kiai desa yang dengan tanpa pubikasi terus setia mendampingi masyarakat siang dan malam dengan segala derita dan harapannya.
Islam memang bukan filsafat sosial sebagaimana dipikrkan oleh Aguste Comte atau pemikir yang lain. Islam adalah sebuah agama. Jaran agama bersifat benar secara mutlaka dan abadi, kalaupun ada upaya kontekstualaisasi dan ini selalu terjadi pastilah dilakukan oleh para ulama yang sholih yang tidak untuk kepentingan popularitas, tetapi untuk menempatkan agama di tengah masyarakat dan budaya nyang ada agar bisa diterapkan lebih sempurna.
Agama tidak bisa ditempatkan sebagai produk kebudayaan biasa, karena posisinya sebagai kebenaran Ilahi. Karena itu idea of progress itu tidak hanya bertentangan dengan agama karena harus meningalkan warisan masa lalu yang benar dan abadi, tetapi juga salah secara kebudayaan. Sebab kebudayaan tidak berkembang secara linear secara garis lurus, tetapi berkembang sesuai dengan lingkungan sosial pendukungnya sendiri. Sebuah kebudayaan tidak bisa diukur dengan yang lain, karena setiap masyarakat bebas menentukan bentuk kebudayaannya sendiri sesuai degan basisi spiritual dan basis material yang mereka miliki.
Dengan demikian tidak benar kalau masyarakat masih berpegang pada agama secara apa adanya, dan berpegang warisan tradisi dan budaya lalau dianggap sebagai terbelakang. Bagi sebuah agama ortodoksi merupakan pegangan tertinggi, karena itu harus selalu dikukuhkan. Modernisasi dan liberalisasi agama tentu tidak sesuai dengan prinsip ini akan selalu menggugat ortodoksi, karena mereka ini bertujuan melepaskan masyarakat dari agama. Karena itu ganjalan uama kaum liberal adalah kukuhnya nilai Al-Qur’an, maka kitab suci ini perlu ditinjau kembali secara kritis, setelah mempereteli habis warisan intelektual para ulama dan termasuk mendelegitimasi hadits Nabi SAW.
Kapitalisme berkembang di dunia setelah agama diliberalisasi, maka untuk menumbuhkan kapitalisme di Indonesia liberalisiasi agama dilakukan dalam segala alevel. Karena kuatnya keterikatan umat Islam dengan ajaran agamanya maka harus direnggangkan melalui gerakan liberalisasi, yang merelatifkan nilai-nilai agama. Hanya sayang gerakan sistematis ini kurang disadari oleh para aktivis pemipin Islam, sehingga mereka menjalankan dengan penuh kenaifan. Susahnya kalangan elite NU sendiri masih banyak yang buta terhadap kenyataan ini, karena asik dengan akrobatik pemikirannya sendiri.
Gagalnya modernisasi dengan spirit liberalisiasinya mensejahteraakan dan mendamaikan umat manusia, maka secara sedar masyarakat kembali pada pangkuan agama. Sebuah gerakan mendekat pada kebenaran tertinggi yang membawa kedamaian di dunia, dan memberikan kedamaian eskatologis. Dalam situasi seperti ini maka alangan muda yang dulu liar dan liberal mulai menyadari kenaifannya, sehingga dengan ketulusan hati kembali kepada ortoodoksi. Sebagai umat beragama ini merupakan jalan yang semestinya dan sebuah sikap yang konsisten dengan sikap keberagamaanya sendiri.
Peneguhan ortodoksi adalah sebuah kemajuan besar bagi kaum beragama, dan ini merupakan sebuah masa depan peradaban. Dalam perspektif NU sebagaimana disebutkan KH Ahmad Shiddiq bahwa ijtihad disamping memiliki arti al-ibanah (pemurnian) juga berarti i’adah (kembali pada ortodoksi) merupakan salah satu bentuk pembaruan Islam yang otentik. Tentu saja gerakan ini merupakan ancaman besar bagi gerakan liberalisasi, yang gigih melakukan sekularisasi untuk menumbuhkan masyarakat kapitalis.
Sudah semestinya gerakan kembali ke ortodoksi ini berjalan ketika kapitalisme dan liberalisme mengalami kegagalan, dan terbukti menyengsarakan umat manusai dunia dan akhirat. Rupanya masyarakat sigap terhadap gejala ini, hanya saja kalangan pimpinan agama belum mampu menangkap gejala ini. Mereka masih bergelut dengan pragmatisme dan lengah dengan liberalisasi agama. (Abdul Mun’im DZ)