Risalah Redaksi

Nabi Membawa Pembebasan

Kamis, 5 Maret 2009 | 08:25 WIB

Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia untuk membebaskan umat manusia dari kejahiliahan. Kejahiiahan bukan berarti ketidakterpelajaran secara intelektual, tetapi kejahiliahan sebagai suatu bentuk amoralitas. Itulah sebabnya mengapa Nabi diturunkan untuk membebaskan manusia dari alam jahiliah, yang menindas secara politik, memeras secara ekonomi, dan melakukan diskriminasi secara sosial.

Secara intelektuakl masyarakat Arab pada masa Nabi adalah masyarakat yang relatif terpelajar, bahkan mampu melahirkan syair-syair bermutu yang disebut muallaqat. Tetapi perilaku mereka itu yang penuh dengan kejahatan. Karena itu Nabi tidak diutus untuk mencerdaskan umat, tetapi diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia (Liutamimma makarimal akhlaq). Misi pembebasan Nabi untuk menegakkan moralitas itulah yang diwariskannya kepada para ulama, sehingga ulama menjadi pewaris para Nabi dan yang diwarisi dari Nabi adalah moralitasnya.<>

Gerakan yang dilakaukan Nabi adalah pembebasan dari kebodohan, keterbelakangan, penindasan, yang kemudian diikat secara moral dan hukum, agar manusia hidup menghormati satu sama lain. Bukan gerakan kebebasan sebagaimana yang dipraktikkan orang modern yang cenderung melakukan kebebasan untuk melanggar etika, sehingga muncul kebebebasan pergaulan, kebebasan berekspresi untuk menjajakan diri, kebebasan seks, kebebasan berbicara untuk memfitnah yang tanpa tanggung jawab dan tanpa ada landasan moral, sehingga menjadi kebebasan jahiliyah.

Status keulamaan seseorang bukan semata ditentukan oleh keilmuannya, tetapi yang utama adalah akhlaknya. Maka adalah sebuah kesalahan yang fatal ketika muncul kalangan tertentu yang mencoba melakukan redefinisi ulama dengan tidak hanya terbatas pada ahli fikih, tauhid atau tasawuf, tetapi memasukkan ahli politik, biologi, fisika dan sebagainya sebagai ulama.

Memang secara lughawi (bahasa) semua orang yanag berilmu adalah ulama, tetapi secara istilahi (istilah) atau secara substansi seorang ulama adalah seorang yang memiliki budi luhur dan berani menyampaikan budi tersebut kepada manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan mengabdikan seluruh pikiran, sikap dan tindakannya kepada Allah SWT, bukan untuk mencari keuntungan duniawi, sebagaimana selalu diwasiatkan para Nabi, wama as-alukum min ajrin in ajriya illa alallah (saya tidak meminta upah-upah darimu, karena sesungguhnya pahala akan datang dari Allah).

Dengan melihat prinsip semacam itu, maka bisa dpahami ketika definisi ulama sudah diubah, di mana moralitas tidak menjadi ukuran utamanya, melainkan intelektualitas yang ditonjolkan. Maka diangkatlah para cendekiawan untuk menduduki posisi sosial atau politik tertinggi di negeri ini. Hasilnya bisa dilihat. Mereka melakukan penyimpangan yang sama dengan orang-orang yang tidak memiliki predikat intelektual, seperti professor, doctor. Bahkan, perilaku mereka lebih buruk.

Penggeseran nilai keulamaan sebagai kekuatan moral menjadi kekuatan intelektual adalah merupakan bagian dari politik pendidikan nasional kita, yang lebih mengutamakan kecerdasan dari pada budi pekerti. Orang dinilai memiliki prestasi puncak ketika mampu menjawab soal ujian, tetapi bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melakukan relasi sosial dengan penuh empati, tidak dianggap sebagai prestasi dalam pendidikan.

Sejak mulai proses pendidikan, anak tidak diajarkan untuk meningkatkan akhlak mereka dengan kebiasaan saling menolong, tetapi diajarkan untuk bersaing menduduki posisi paling tinggi. Maka sekarang tidak ada istilah belajar bersama, semuanya berlomba masuk ke bimbingan tes yang paling bergengsi atau memanggil guru privat yang profesional. Dengan demikian, mereka diharapkan mampu bersaing dengan teman-temannya di sekolah.

Melalui peringatan kelahiran Nabi, kita berharap bisa mengevaluasi seluruh kebiasaan dan tradisi yang sudah menyimpang. Sebab kita dihadapkan pada persoalan yang sama yaitu kekacauan sosial dan  politik termasuk kekacauan Negara, bukan karena kita tidak tahu, tetapi karena menuruti dorongan nafsu, manusia cenderung melannggar seluruh aturan. Bukan mereka tidak terpelajar secara sekolah atau intelektual, tetapi memang mereka kurang ajar secara moral. Seluruh kekacauan di negeri ini justru dilakuan oleh orang yang sangat pintar dan profesional tetapi tidak mempedulikan tatanan moral.

Kehadiran para Nabi adalah untuk menegakkan nilai moral, dan perjuangannya tersebut diwariskan pada para ulama dan para pejuang  agama lainnya. Misi para Nabi yang membebaskan manusia dari penindasan, keterbelakangan, kehidupan yang penuh intrik dan manipulai itulah yang perlu ditegakkan. Dengan kekuatan kepribadiannya, Nabi mampu melakukan revolusi sosial dari masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islamiyah yang damai, maju dan bermartabat, sehingga disegani oleh seluruh kekuatan dunia seperti Romawi, Persia, India dan Abesinia. Misi profetik itulah yang semestinya dikembangkan oleh umat Islam dewasa ini. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait