Saat ini, derita petani bertambah lagi. Pupuk yang perusahaannya disubsidi oleh Negara ditimbun oleh para cukong meski waktu musim tanam sudah mulai. Sementara keterlambatan memberikan pupuk berakibat besar pada hasil panen. Pejabat pemerintah yang hanya sibuk mengurusi diri sendiri dan politisi yang sibuk kampanye akhirnya tidak punya perhatian pada nasib petani dan tidak berdaya menghadapi cukong yang hanya segelintir orang. Padahal aparat kepolisisan, kejaksaan bahkan TNI tidak terbatas jumlahnya.<>
Dalam situasi seperti ini, pemerintah, dalam hal ini, dirjen Pajak, malah mengeluarkan peraturan baru yakni mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi produk pertanian. Ini sebuah pukulan telak bagi petani. Padahal selama ini mereka tindak pernah untung mengingat biaya produksi semahal harga jual hasil. Sementara pada saat yang sama petani juga dikenai pajak tanah, belum lagi dengan kewajiban mereka mengeluarkan zakat dua setengah persen. Tidak cukup berhenti di situ, mereka saat ini pun masih diperas lagi dengan keharusan mengeluarkan pajak setelah panenen dengan kisaran sepuluh hingga lima belas persen.
Langkah membabi buta dilakukan pemerintah memang sesuai dengan prinsip liberal yang diwajibkan olen kapitalis IMF. Ini juga sekaligus kompensasi aparat pajak atas kegagalan mereka menarik pajak dari perusahaan besar, terutama dari perusahaan asing yang pada umumnya selalu mengemplang pajak. Kalaupun ada perusahaan yang mengeluarkan pajak, itu diluar yang seharusnya dikeluarkan, terlebih dengan diperkenalkannya teknik pembukuan ganda. Neraca rugi itulah yang diperiksa aparat pajak sehingga pajaknya mengecil. Dalam situasi sulit seperti ini, aparat pajak mencari mangsa lain yang tidak berdaya yaitu petani.
Pajak bagi produk pertanian adalah bentuk pemalakan, sebab petani besar hanya bisa dihitung jari, terutama perusahaan asing. Sebagian besar mereka adalah petani kecil, sementara petani besar atau perusahaan agrobisnis mudah meoloskan diri dari kewajiban pajak. Dengan demikian rakyat tidak akan bisa berkutik berhadapan dengan dinas pajak. Mereka itulah yang akan kena palak tanpa bisa mengelakkan diri. Dengan beban pajak tanah, zakat dan pajak penghasilan, sementara pada saat yang sama, harga pupuk dan obat- obatan melambung tinggi. Maka petani tidak memiliki sisa hasil usaha, malah bisa merugi. Pemerintah yang hanya bisa mentarget tidak bisa memahami nasib petani, cenderung memikirkan nasibnya sendiri. Karena ternyata tidak sedikit pembayaran pajak bersifat negosiasi. Dari sinilah, aparat pajak mendapatkan perolehan pribadi bukan untuk Negara.
Sungguh ironi negeri yang mayoritas petaninya subsisten dikenakan pajak sehingga membebani hidup mereka yang sudah takberdaya itu. Semntara subsidi tidak pernah lagi diberikan, terutama sejak dilarang oleh IMF yang katanya menggaggu pasar bebas. Ini sejalan dengan ironi yang sudah berjalan sebelumnya. Bagaiamana negeri yang masih terbelakang dan tingkat pendidikan dan bacanya rendah ini penulisan buku dikenakan pajak yang tinggi. Padahal menulis buku memerlukan biaya riset yang tinggi, sementara buku tidak bisa dijual secara untung. Dengan modal yang tinggi, sementara royalti atau honor penulisan hanya 10 persen, sementara pajaknya hingga 15 persen. Dengan cara seperti itu, tidak mungkin orang bisa menulis buku kecuali ada donator yang membiayai. Akhirnya penulisan buku di Indonesia sangat jarang. Menurut data dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), produksi buku untuk setiap tahunnya terus merosot.
Memang sejak dijatuhkannya rezim Soekarno yang nasionalis digantikan oleh rezim Soeharto yang merupakan komprador negara-negara kapitalis, seluruh arah pembangunan telah ditentukan oleh Bank Dunia, bukan demi kemajuan bangsa Indonesia, melainkan demi kesejahteraan mereka sendiri. Terbukti, setelah 40 tahun membangun, Indonesai tidak memiliki kemajuan apapun, baik di bidang pertanian, industri, pendidikan apalagi kebudayaan. Satu hal yang tidak dimiliki pemerintah komprador adalah ia tidak memiliki strategi kebudayaan.
Pendidikan yang selama pascakemerdekaan dijadikan sebagai sarana pembudayaan dan ideologisasi, setelah rezim komprador orde baru, pendidikan dijadikan sebagai balai latihan kerja. Pendidikan tidak lagi digunakan untuk mengkader pemimpin-pemimpin bangsa tetapi untuk mencetak para buruh baik di pabrik maupun para juru tulis di kantor.
Ketika sebuah bangsa tidak memiliki mental pemimpin karena telah didik menjadi buruh dan karyawan, maka pihak pemilik modallah yang dengan mudah mengendalikan mereka, sehingga seluruh undang-undang mulai undang-undang dasar lalu berbagai undang-undang turunannya dan segenap peraturan akan dengan mudah ditentukan oleh negara pemilik modal. Ketika pemilik modal menyuruh meliberalisasi seluruh sumber daya alam, baik gas ataupun air maka dibuatlah undang undang itu. Ketika pemodal berkeinginan membunuh petani, maka dicabutlah subsidi. Ketika pencabutan itu belum mematikan mereka, maka petani harus dimusnahkan dengan cara menjeratnya dengan pajak.
Dalam kenyataannya petani memang lemah, tetapi mereka memiliki daya tahan tersendiri. Orang lemah memiliki kekuatan misterius dengan istilah weapon of the weeks yang mampu memberi perlawanan terhadap kebijakaan yang merugikan mereka. Pemerintah komprador ini mestinya memahami kekuatan petani itu. Tentu saja, banyak kalangan masyarakat yang masih memiliki keberpihakan terhadap nasip petani baik dari akademisi, aktivis sosial dan agamawan. (Abdul Mun'im DZ)