Tetapi dalam kenyataan sehari-hari krisis dan bencana yang terjadi lebih banyak dikarenakan ulah manusia sendiri, yang tidak bertanggung jawab bukan hanya pada orang lain tetapi juga pada diri sendiri. Bisa disaksikan kecelakaan yang terjadi pada angkutan darat laut dan udara, yang hampir semuanya adalah akibat kesemberonoan manusia. Sehari-hari bisa disaksikan bagaimana bus yang bermuatan penuh bahkan overload melaju di jalan tol, tanpa memperhatikan keselamatan penumpang. Demikian juga kereta api yang dipadati penumpang hingga di atap telah menjadi pemandangan sehari-hari. Banyak kita saksikan kecelakaan angkutan laut karena terlalu banyak mengangkut penumpang sehingga melebihi kapasitas. Pemandangan yang sama juga terjadi pada transportasi udara di mana banyak kecelakaan udara terjadi karena kecerobohan yang tak dikontrol.<>
Ketika lembaga kontrol tidak efektif, pemerintah kehilangan kewibawaan, penumpang sebagai konsumen juga tidak berdaya. Akibatnya, semua penyimpangan bisa mudah terjadi sehingga mengakibatkan berbagai krisis dan bahkan bencana. Baru ketika bencana terjadi, pemerintah turun tangan dan itu pun harus dengan mengeluarkan dana yang mencapai puluhan miliar untuk melakukan pencarian dan pertolongan kepada para korban. Sementara perusahaan angkutan hanya mau bersih dan tidak ada di antaranya yang dicabut izin operasinya. Akhirnya yang dirugikan dari kelalalaian pemerintah, dan kelalaian pengendara itu adalah pemerintah dan Negara yang memegang uang rakyat.
Demikian juga apa yang terjadi di Situ Gintung, jebolnya tanggul yang berada di kawasan permukiman padat itu sepenuhnya akibat kecerobohan dan kelalaian manusianya. Pemerintah tidak peduli dengan berbagai keluhan yang disampaikan warga sehingga warga menjadi korban bencana. Demikian halnya dengan penjaga situ dan aparat setempat yang mestinya secara swadaya bisa membantu mengatasi perawatan situ itu, karena manfaatnya bisa dirasakan bersama. Semua sama saja, baik kalanagan pejabat, kalangan pengelola dan masyarakat sendiri telah mengabaikan semua ini, sehingga mengorbankan ratusan manusia.
Manusia modern telah menjadi manusia individualis, yang hanya mengurus dirinya sendiri. Ketidakmampuan pemerintah mengontrol perilaku rakyat adalah karena mereka tidak peduli dengan tanggung jawabnya, mereka hanya sibuk mengumpulkan kekayaan. Bahkan tidak sedikit dana rehabilitasi dikorup sehingga hasil pembangunan tidak maksimal. Demikain juga manusia yang cenderung tidak peduli dengan lingkungannya. Bermasyarakat pun mulai enggan. Mereka hanya menjadi homo faber (binatang pekerja) untuk mewujudkan diri sebagai homo economicus (binatang ekonomi). Wataknya zoon politicon (makhluk social) semakin menipis.
Sebagaai contoh, seandainya jiwa sosial di antara warga Gintung itu memiliki solidaritas sosial tinggi dan aparatnya cepat tanggap, maka korban bisa dikurangi. Apalagi menurut informasi keretakan tanggul sudah mulai jam sebelas malam, lalu jam satu malam telah mulai jebol sehingga menghancurkan beberapa bangunan dan jembatan. Baru jam empat pagi mengalami jebol total yang melibas warga secara keseluruhan dalam waktu sekejab. Ini sebenarnya terjadi dalam proses yang cukup panjang. Di setiap wilayah selalu ada siskamling, dan hampir semua warga memiliki handphone, tetapi kenapa teknologi informasi tidak digunakan dalam sisa waktu yang ada itu. Ini tidak lain karena yang telah rusak adalah mental manusianya, sehinggaa dibekali teknologi secanggih apapun tidak ada gunanya ketika empati dan rasa tanggung jawab sesama manusia telah tiada.
Semua lembaga baik pemerintahan, sosial dan pendidikan termasuk agama sebenarnya mendapat tantangan untuk kembali menghidupkan rasa tanggung jawab sosial manusia yang sudah padam, karena meredusir dirinya sebagai makhluk pemangsa yang hanya peduli pada diri sendiri. Maka bisa kita saksikan sekarang ini di mana tidak banyak bisa disaksikan adanya kerja bakti, gerakan tolong menolong yang dilakukan secara suka rela sebagai tangggung jawab sosial. Rusaknya jembatan atau jalan warga tidak lagi spontan memperbaikinya seperti dulu, tetapi membiarkan kerusakan kecil yang terjadi sampai pemerintah memperbaikinya. Padahal pemerintah lambat sekali melaksanakan tugasnya. Karena itu jalan menjadi rusak parah sehingga biaya perbaikannya menjadi sangat mahal.
Semua lembaga yang ada mesti merenungkan kembali tugasnya ini dan mencari langkah bagaimana tugas tersebut bisa dijalankan untuk mengemban misi sosial kemanusiaan. (Abdul Mun’im DZ)