Umumnya, orang berebut untuk jadi anggota DPR RI. Segala upaya ditempuh, bahkan terkadang sampai menghalalkan segala cara agar bisa meraih posisi yang dianggap prestisiustersebut.
<>
Namun ada yang menolak jabatan tersebut, bahkan mundur sebelum dilantik. Dialah Kiai Ali Yasin.
Kiai Ali Yasin adalah sosok ulama NU yang komprehensif. Ya politisi, ya birokrat dan ya pejuang. Hebatnya, ketiga amanah itu dijalankan beriringan dengan penuh tanggung jawab oleh sang kiai.
Nama langkapnya Moh. Ali Yasin, lahir di Boyolali, Jawa Tengah dari pasangan KH. Yasin dan Nyai Hj. Masruroh tahun 1917 M.
Sebagaimana anak seorang ulama pada waktu itu, tempaan pendidikan Ali Yasin muda pun lengket dengan ilmu-ilmu pesantren. Mula-mula, ia dikirim mondok ke Solo. Lalu pindah ke pesantren Tebuireng, Jombang asuhan KH Hasyim Asy’ari. Cukup lama di Tebuireng, namun tak membuat Ali Yasin hilang rasa dahaganya akan ilmu. Maka, atas restu gurunya, KH Hasyim Asy’ari, ia pindah ke pesantren Termas, Pacitan. Di situlah Ali Yasin muda bertemu dengan Saifuddin Zuhri, Mukti Ali dan Idham Kholid, yang juga sama-sama nyantri.
Ketika sudah dirasa cukup, Ali Yasin pulang kampung, dan tak lama kemudian menyunting seorang gadis di Ngawi, Jawa Timur. Namanya Siti Asiyah. Di situlah Kiai Ali Yasin diangkat menjadi Kepala KUA. Karena kepemimpinannya yang menonjol, ia kemudian terpilih sebagai Ketua PCNU Ngawi (1942-1952).
Dalam rentang waktu tersebut, Kiai Ali Yasin merangkap sebagai Kepala Staf Barisan Sabilillah. Lima tahun ia bergerilya di lereng gunung Lawu untuk mengusir penjajah.
Tahun 1954 ia pindah tugas ke Jember, karena panggilan tugas. Ia tetap berkhidmat di birokrasi, hingga diangkat menjadi Kepala Depag Kabupaten Jember. Baginya, birokrasi adalah lahan pengabdian sekaligus medan untuk memperjuangkan kepentingan umat melalui jalur struktural.
Kesibukan Kiai Ali Yasin pun tambah padat. Ia harus bolak-balik Jember-Surabaya karena terpilih sebagai anggota DPR GR Jawa Timur (1966-1971). Posisi tersebut diraihnya lantaran ia menjadi Ketua Partai NU Jember. Politik lancar, birokrasi pun juga jalan, bahkan akhirnya ia menempati kursi Kepala Kanwil Depag Jawa Timur (1971-1975).
“Almarhum juga pernah menjadi anggota DPRGR Jawa Timur dan Ketua Partai NU sekaligus Kepala Depag Jember,” tukas salah satu putranya, Ir. H. Muhammad Thamrin, M.Si.
Yang menarik, Kiai Ali Yasin pernah menolak dilantik jadi anggota DPR RI, karena ada sinyal kurang baik dari Kiai Hamid Pasuruan. Ceritanya, dalam Pemilu 1971, Kiai Ali Yasin terpilih sebagai anggota DPR RI. Sebelum dilantik, ia pamitan kepada Kiai Hamid.
Dan kiai kharismatik itupun berpesan, “Mugi-mugi Njenengan kiyat dienciki tiyang NU sak Indonesia, nggih (mudah-mudahan sampeyan kuat dinaiki orang NU se-Indonesia, ya)," ujar Kiai Hamid sambil memijit-mijit pundak Kiai Ali Yasin.
Kalimat pendek yang meluncur dari lisan Kiai Hamid itu membuat Kiai Ali Yasin berpikir seribu kali untuk menjadi anggota DPR. Ia menangkap isyarah kurang baik dari dawuh sang kiai.
Sebelum dilantik Kiai Ali Yasin akhirnya memutuskan mundur dari anggota DPR, karena terngiang-ngiang ledekan Mbah Hamid. Ia merasa tak sanggup menanggung beban yang akan dipikulnya kelak di Senayan. Posisi Kiai Ali Yasin lalu diganti oleh H. Soewardi (tokoh NU Jember juga).
Kendati asyik dengan politik dan birokrasi, namun Kiai Ali Yasin tak pernah lalai dengan tugasnya di NU. Ketika menjadi Ketua PCNU Jember (1964-1969), Kiai Ali Yasin merintis pengadaan tanah untuk kantor NU.
Bersama para kiai yang lain, ia memelopori pengumpulan uang dengan cara menarik zakat maal dari warga NU. Setelah uang cukup, maka dibelilah sebidang tanah yang berlokasi di sebelah barat Pendopo Jember. Tanah tersebut dibeli atas nama Kiai Ali Yasin (selaku Ketua NU), namun atas permintaannya, tanah tersebut lalu dibalik namakan bagi NU Jember. Dan berdirilah kantor NU ala kadarnya di lokasi tersebut.
Sekian tahun kemudian, pengurus NU Jember menjual tanah tersebut berikut bangunannya kepada Bank Bumi Daya (sekarag milik Bank Mandiri), yang hasil penjualannya digunakan untuk membeli tanah yang lebih luas di Kaliwates dan sebidang tanah lain yang sekarang ditempati Universitas Islam Jember. Tanah di Kaliwates itu sekarang ditempati Kantor NU, tepatnya Jalan Imam Bonjol Nomor 45.
Di suatu pagi yang cerah, tepatnya 3 Juli 1985, Allah akhirnya berkenan memanggil hamba yang dicintai-Nya itu. Tidak sakit, tidak ada keluhan apapun, tiba-tiba ia ambruk menjelang shalat Dhuha.
“Paginya masih sarapan bersama saya, lalu beliau wuduk. Belum lagi shalat Dhuha, wafat,” kenang Ir. H. Thamrin.
Sebuah makam di Jember Lor, menjadi tempat peristirahatan terakhir Kiai Ali Yasin. Ia meninggalkan 12 anak yang tersebar di berbagai daerah, dengan profesinya masing-masing. (Aryudi A. Razaq)