Tokoh

Sifat Manusiawi Sang Tokoh di Mata KH Syaifuddin Zuhri

Selasa, 28 Juli 2009 | 03:09 WIB

KH. Abdul Wahid Hasyim lahir pada tanggal 1 juni 1914 di Tebuireng Jombang. Membidani terbitnya majalah bulanan bernama “Suluh Nahdlatul Ulama” yang diasuh dan dikemudikan dari tengah-tengah Pesantren Tebuireng. Majalah ini menjadi mimbar dan sekaligus menara Nahdlatul Ulama (NU). Melalui penerbitan majalah inilah, KH. Abdul Wahid Hasyim mengakui rasa simpatinya pada karya-karya KH Saifuddin Zuhri yang tersebar di berbagai media NU seperti “Berita NU” di Surabaya, Majalah bulanan “Suara Ansor NU” di Surabaya, Majalah bulanan “Trompet Pemuda” terbitan Ansor NU Cabang Kudus, Majalah bulanan berbahasa Jawa “Panggugah” diterbitkan Konsulat NU Banyumas dan Mingguan “Pesat” yang berisi berita-berita politik populer di Semarang.

Dari sinilah KH A. Wahid Hasyim kemudian meminta KH Syaifuddin Zuhri untuk menulis dalam “Suluh NU” yang  diasuhnya. Selama hampir 3 kemudian KH Syaifuddin Zuhri secara tetap, membantu menulis dalam “Suluh NU” hingga dilarang terbit oleh pemerintahan militer Jepang pada tahun 1942 M.<>
 
Awalnya, KH. Abdul Wahid Hasyim berkiprah sebagai Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama pada tingkat Cabang Jombang, kemudian melompat menjadi Ketua Pengurus Pusat Ma’arif NU dan berkantor di Surabaya. Dalam

Mengenalnya dari Dekat
Semenjak berkenalan, KH Syaifuddin Zuhri sering sekali menyertai KH. A Wahid Hasyim dalam perjalanan perjuangan, menghadiri pertemuan politik, mengunjungi tokoh-tokoh ulama dan pemimpin pemimpin ormas dan lain sebagainya.

Semenjak tahun 1939 KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah, PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A. Wahid Hasyim juga kemudain duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia).

Hampir seluruh kota-kota di pulau Jawa mereka singgahi salama zaman  pendudukan militer Jepang dan zaman  Revolusi fisik (1945-1949), baik untuk urusan politik maupun pertahanan TAir selama perang kemerdekaan.

Selama kurang lebih 14 tahun KH Syaifuddin Zuhri memperoleh kesempatan untuk mengenal lebih dekat KH A. Wahid Hasyim. Sehingga KH A. Wahid Hasyim telah memberi bekas mendalam bagi pertumbuhan karakternya sebagai seorang pemuda yang berusia sekitar 25 tahun.

Perkenalan ini terus berjalan hingga 5 hari sebelum KH A. Wahid Hasyim wafat pada tanggal 19 April 1953 dalam usia 39 tahun. Wafat ketika sedang malakukan tugas selaku Ketua Umum Pengurus Besar NU (partai politik yang berusia 2 tahun setelah memisahkan diri dari partai Masyumi).

Musibah itu terjadi tatkala KH A. Wahid Hasyim mengalami kecelakan mobil di desa Cimindi dekat Cimahi Bandung dalam perjalanan menuju ke Sumedang. Pada hari wafatnya KH A. Wahid Hasyim telah lebih dari 7 tahun menjalani puasa sepanjang tahun, kecuali pada hari-hari yang dilarang oleh Islam untuk menjalani puasa (Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Tasriq)

Makanan dan Pakaian
KH A. Wahid Hasyim termasuk orang besar yang tidak pernah menyusahkan diri maupun orang lain dalam masalah makanan. Tentang makanan Nabi Besar Muhammad SAW bersabda, ”Kami adalah golongan orang-orang yang makan bila merasa lapar dan jika makan pun tidak sampai kenyang.”

Jika kebetulan dalam perjalanan KH A. Wahid Hasyim harus makan dalam sebuah restoran dan memesan berbagai jenis makanan ”kelas berat” aneka ragam, maka tujuannya hanyalah untuk menyenangkan teman dalam perjalanan. Termasuk bila di rumah, hanyalah untuk menghormati tamu saja.

Pada suatu hari KH Syaifuddin Zuhri menyertai KH A. Wahid Hasyim dalam suatu perjalanan perjuangan ke daerah Jawa Barat. Seharian penuh keduanya disibukkan dengan acara-acara yang sangat padat, sekalipun demikian, KH A. Wahid Hasyim tetap berpuasa (sunnat). Ketika tiba di hotel, waktu sahur telah datang, sementara KH Syaifuddin Zuhri baru menyadari kelengahannya. KH Syaifuddin Zuhri lupa menyediakan santapan sahur bagi KH A. Wahid Hasyim.

Di atas meja ada sebutir telur rebus dari sisa santapan sahur kemarin dan segelas teh bagian KH Syaifuddin Zuhri ketika sore. Dengan sebutir telur dan segelas teh itulah KH A. Wahid Hasyim bersahur. Padahal bila KH A. Wahid Hasyim mau lebih dari itu, KH Syaifuddin Zuhri masih bisa membelikannya di sebuah warung dekat hotel yang masih melayani para pembeli. Di sana masih bisa dipesan nasi goreng, sate ayam, gado-gado dan sebagainya.

Namun KH A. Wahid Hasyim tidak memperdulikan tawaran KH Syaifuddin Zuhri. Jawaban KH A. Wahid Hasyim hanya, ”Ah besok toh lapar juga sepanjang hari.” Sebutir telur itu bahkan hendak dibagi dengan KH Syaifuddin Zuhri, demi ”keadilan Sosial” katanya. Tetapi tentu saja KH Syaifuddin Zuhri tolak, toh KH Syaifuddin Zuhri tidak selalu puasa sunnat serutin KH A. Wahid Hasyim. Sambil menyelesaikan sebutir telur yang satu-satunya untuk sahur itu KH A. Wahid Hasyim berucap, ”Kita berlapar-lapar supaya tidak melupakan nasib kaum lapar,” yang dimaksud adalah pada hari kiamat kelak.

Sementara dalam hal berpakaian, KH A. Wahid Hasyim berpendirian, tidak asal berpakaian! Itu sebabnya KH A. Wahid Hasyim selalu berpenampilan necis dan harmonis. Di kalangan yang mengerti seni berpakaian ,K.H.A Wahid Hasyim termasuk bergolongan well dressed selalu rapih dalam berpakaian. Kualitas maupun warna baju, kemeja, dasi, celana, hingga sepatu dan kaos kaki selalu serasi, sedap dipandang. Begitu pula jika mengenakan kain sarung, kombinasi antara baju kemeja dan sarungnya mempunyai daya pikat dan mendatangkan rasa hormat. Warna-warna pakaian yang menjadi kegemarannya selamanya kalem, meskipun sesekali ada variast, namun tidak menimbulkan ‘kejutan’.
Pernah KH Syaifuddin Zuhri menanyakan tentang ”falsafat” berpakaiannya, maka jawabannya adalah, ”Tugas kita menjalankan misi perjuangan ini adalah untuk menarik simpati orang banyak. Jika mereka belum tertarik pada ide atau gagasan kita, biarlah sekurang-kurangnya mereka tertarik pada kepribadian kita. Nah, berpakaian yang menyenangkan dalam pandangan orang, akan menimbulkan kesan mengenai kepribadian kita,” terang KH A. Wahid Hasyim.

KH A. Wahid Hasyim berpakaian dengan disertai cita rasa dan daya insting yang begitu kuat. KH A. Wahid Hasyim tahu benar mengenai kecocokan antara situasi dan keserasianpakaiannya. Mengerti tentang menggunakan setelan celana, dan setelan sarung dalam waktu yang tepat.
    
Pada suatu hari KH A. Wahid Hayim diundang Bung Karno ke Istana Presiden di Yogyakarta. Di sana telah berkumpul Dr. Muhammad Hatta, Haji Agus salim, Mr. Muhammad Yamin, dan tokoh nasional lainnya. Perundingan politik sedang berlangsung berhubung atau situasi tanah air. Tiba di Istana Presiden, KH A. Wahid Hasyim langsung bercengkrama dengan yang tengah menantikan kedatangannya. Sedangkan KH Syaifuddin Zuhri yang mendampinginya duduk bersama para ajudan dan pengawal dalam jarak 20 meter. Tiap kali KH A. Wahid Hasyim mengemukakan pendapatnya dalam diskusi, maka para pejabat tinggi negara itu tergelak tertawa sebagai tanda persetujuan dalam suasana gembira.
    
Setelah kira-kira satu jam, pertemuan para pemimpin itu pun usai. KH A. Wahid Hasyim cepat-cepat meninggalkan mereka, meskipun tampaknya para koleganya ini masih hendak menahan agar bisa bercengkerama lebih lama lagi. Terasa adanya suasana kangen antara satu dengan lainnya. Tetapi KH A. Wahid Hasyim cepat-cepat menuju mobilnya. Dalam mobil KH Syaifuddin Zuhri menanyakan, mengapa menghadiri pertemuan tingkat tinggi itu, KH A. Wahid Hasyim cuma mengenakan sarung saja? Maka KH A. Wahid Hasyim menjawab, ”Kedatangn saya bukan karena atas keinginan saya, melainkan atas permintaan mereka. Buat mereka tidak menjadi persoalan pakaian yang saya kenakan. Kecuali itu saya sengaja memakai sarung untuk mengangkat harkat kaum bersarung!” Kemudian  KH A. Wahid Hasyim menyambung pernyataannya, ”Para kyai kadang-kadang tidak dihargai oleh mereka yang sok intilektual hanya karena sarungnya. Padahal lihatlah, Ki Sarmidi Mangunsarkoro selalu mengenakan sarung, padahal beliau menteri P dan K!” tandas KH A. Wahid Hasyim.

Membaca Buku
KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato. Terutama sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk mencari referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.

Meskipun tidak pernah sekolah formal di bangku sekolah pemerintah Belanda, sejak dari tingkat dasar sekalipun, namun KH A. Wahid Hasyim telah mulai belajar menulis dan membaca huruf latin sejak dini secara self studie. Dari cara belajar non formal inilah KH A. Wahid Hasyim mampu mempelajari berbagai buku dalam bahasa Belanda dan Inggris.

Menurut cerita yang dituturkan kepada KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid Hasyim merupakan pelanggan tetap sebuah perpustakaan di kota Surabaya. Tidak seperti orang kebanyakan yang datang keperpustakaan dengan memilih judul yang telah disiapkan dari rumahnya, KH A. Wahid Hasyim membaca buku apa saja tanpa memilih judul. Mengambil secara berurutan, buku-buku yang tersusun di rak hingga seluruh buku habis dibacanya. Karenanya, tidaklah mengherankan jika KH A. Wahid Hasyim mengetahui pengetahuan umum di bidang sejarah, pengetahuan alam, filsafat, politik, ekonomi, seni budaya, dan lain-lainnya.

KH A. Wahid Hasyim mengkritik orang-orang terpelajar yang tidak peka terhadap masalah-masalah kemasyarakatan. Menurut KH A. Wahid Hasyim, mereka hanya bisa membaca buku-buku kecil dalam huruf-huruf kecil a-b-c-d atau alif-ba-ta-tsa, tetapi tidak bisa membaca buku-buku besar dengan huruf-huruf besar. Yang dimaksudkan di sini adalah kebanyakan orang pandai tidak mampu membaca tanda-tanda (fenomena) yang sedang bergejolak dalam masyarakat.

Dalam memori KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid Hasyim menganggap bahwa membaca sejarah amatlah penting, tetapi jauh lebih penting lagi adalah membuat sejarah itu sendiri, atau setidak-tidaknya ikut membuat sejarah.

Bagi KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid Hasyim telah membuktikan anggapannya ini. KH A. Wahid Hasyim telah terlibat dalam serangkaian tokoh-tokoh yang menjadi ujung sejarah kelahiran Indonesia bersama-sama dengan Ir. Soekarno, Dr. Muhammad Hatta, Haji Agus Salim, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. AA Maramis, Mr. Muhammad Yamin, Abikousno Cokrosuyoso dan KH. Abdulkahar Muzakkir dalam menyusun Jakarta Charter tertanggal 22 juni 1945 yang akhirnya manjelma menjadi pembukaan UUD 1945.

Pendidikan Agama

Pendidikan agama KH A. Wahid Hasyim diperoleh secara langsung dari asuhan ayahandanya, KH Hasyim Asy’ari, ulama terbesar Jawa pada zamannya. Lingkungan Pesantren Tebuireng dengan sendirinya merupakan faktor yang sangat penting di dalam menempa jiwa dan semangat KH A. Wahid Hasyim. Kecerdasan otaknya sangat menolongnya dalam mengembangkan jiwa kritis yang mendambakan kemajuan.

Sekedar contoh, konon sewaktu masih kanak-kanak, KH A. Wahid Hasyim gemar bermain main di halaman Masjid, dekat serambi tempat ayahandanya mengajar para santri. Meskipun tampaknya perhatian KH A. Wahid Hasyim kala itu hanya terpusat pada permainannya bersama teman-temannya, namun uraian kata sang ayah yang tengah mengajar itu dapat ditirukan serta merta sambil asik bermain-main.

KH A. Wahid Hasyim kecil mulai belajar bahasa Belanda sambil asyik bermain main dengan teman-temannya. Daya tangkap serta kecerdasan menjadikannya mudah mempelajari bahasa Belanda. Bukan saja”berguru” kepada Imam Sukarlan (guru prifatnya), namun KH A. Wahid Hasyim juga berguru kepada santri-santri lain yang mahir berbahasa Bseperti Abdul Aziz Diyar yang merangkap guru juga sebagai di Pesantren Tebuireng.

Menginjak usia sekitar 20-an tahun, KH A. Wahid Hasyim telah mulai sering membantu KH Hasyim Asy’ari menyiapkan kurikulum dalam pesantren dan menjawab surat-surat ayahandanya dalam bahasa Arab. Surat-surat ini banyak diterima dari para ulama di berbagai pelosok tanah air yang menanyakan beberapa masalah hukum Islam aktual yang sedang menjadi topik hanyag di masyarakat. Namanya mulai dikenal masyarakat seiring seringnya KH A. Wahid Hasyim mewakili ayahandanya menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah maupun ceramah-ceramah atas undangan pesantren-pesantren di daerah lain.

Kegemarannya KH A. Wahid Hasyim adalah menelaah kitab-kitab agama di bidang fikih, akidah, tafsir, tasawuf, serta buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris. Di tengah kesibukannya sebagai seorang pemimpin tingkat nasional, yang hari-harinya dipenuh dengan acara-acara  politik dan perjuangan, namun bila tiba waktunya menghafal Al-Qur’an maka disisipkanlah waktu beberapa menit untuk menghafal Al-Qur’an. Bahkan saat sedang menghadiri sidang kabinet atau sedang menyetir mobil sekalipun.

Watak Mulia dan Sederhana
KH A. Wahid Hasyim telah memiliki sifat mulia sejak kecilnya. Sikap mulia dan sederhana ini tetap disandangnya hingga dirinya telah menjadi menteri negara. KH A. Wahid Hasyim tetap menulis surat-surat yang diketik sendiri kepada teman-temannya, baik yang masih sering berjumpa, apalagi yang sudah jarang bersua. Surat-suratnya biasanya berisi anjuran mempererat tali persaudaraan, paparan perkembangan masyarakat dan menasehatkan cara-cara menghadapi situasi terkini.

Surat-surat yang datang dari teman-teman maupun orang yang tak dikenalnya, selalu diperhatikan dan dijawab seperlunya. Diceritakan dalam suatu surat, si pengirim menyatakan dirinya adalah seorang petani miskin yang diperlakukan tidak adil oleh pamong desanya. KH A. Wahid Hasyim sangat antusias menerima surat dari orang yang tak dikenal itu, diambulnya mesin ketik dan seketika itu pula ditulis jawabannya dengan pendek.

”Surat Saudara sangat mengharukan saya. Harap dimaafkan, bahwa pada saat inii saya belum sempat membalas surat Saudara. Insya Allah saya akan perhatikan benar-benar. Bahkan saya berpikir akan datang kepada Saudara untuk turut memecahkan persoalan Saudara. Wassalam”

Benar juga, di hari lain KH A. Wahid Hasyim datang ke daerah Kediri untuk menjumpai si pengirim surat dan lalu datang kepada camat di daerahnya untuk mencari jalan penyelesaiannnya. Akhirnya masalah si pengirim surat dapat dipecahkan.

Sudah menjadi kebiasaan KH A. Wahid Hasyim, bila berkunjung kepada seorang teman, selalu membawa oleh-oleh, baik berupa buah-buahan maupun sebungkus kue dan rokok bila seorang yang dikunjungi adalah seorang perokok, meskipun KH A. Wahid Hasyim sendiri tidak merokok. Di dalam sakunya selau ada korek api untuk memberi api teman bicaranya yang hendak merokok.
    
Pada suatu hari, KH A. Wahid Hasyim bertandang ke rumah KH Syaifuddin Zuhri. Seperti biasa jika KH A. Wahid Hasyim datang, maka kawan-kawan dan keluarga KH Syaifuddin Zuhri pun ikut mengerumuninya. Setelah orang-orang bubar untuk memberi kesempatan KH A. Wahid Hasyim beristirahat. KH Syaifuddin Zuhri pun menyiapkan kamar tidurnya untuk bermalam.

Sementara KH Syaifuddin Zuhri dan istrinya menyiapkan kamar tidur untuk tamunya ini, rupanya KH A. Wahid Hasyim justru asyik membersihkan meja yang terserak-serak, gelas-gelas bekas minuman dan puntung-puntung rokok yang ditinggalkan oleh para pengerumun sebentar tadi. KH A. Wahid Hasyim merapikan meja dan kursi dari asbak tempat menaruh bekas punting rokok.
Sudah tentu KH Syaifuddin Zuhri amat terperanjat dan mencoba mencegah agar KH A. Wahid Hasyim tidak usah mengerjakan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh tuan rumah. Namun pada saat itu justru KH A. Wahid Hasyim menjawab dalam bahasa Arab, ”Khalash,” (sudah selesai).

Menurut KH A. Wahid Hasyim, ”Orang-orang tua tidak usah dilihat dari ilmu maupun kedudukannya, dari segi usia saja, orang yang lebih muda wajib memuliakannya.

Dalam kamus KH A. Wahid Hasyim, cara menghadapi kesombongan bukanlah dengan bersikap rendah hati. Menurut KH A. Wahid Hasyim orang-orang sombong dan angkuh hanya mengenal satu bahasa, yakni kesombongan. Mereka tidak mengenal rendah hati dan mengalah. ”Kita tidak usah menyombong, karena terkena najis tidak boleh dibersihkan air najis! kepada mereka harus kita perlihatkan bahwa diri kita adalah kuat dan sanggup mengalahkannya. Orang sombong maupun zalim harus ditolong.” Cara menolong orang sombong yang baiasa dipilih oleh KH A. Wahid Hasyim adalah dengan menyetop atau mencegah agar seseorang tidak sombong atau dzalim lagi.

Profil Seorang Pendidik, Ulama, dan Negarawan

Sebagai seorang pendidik KH A. Wahid Hasyim termasuk seorang pembaharu dalam lingkungan madrasah dan pesantren. Bagi KH A. Wahid Hasyim, metode sekolah dapat diterapkan dalam pembaharuan madrasah dan pesantren tanpa menghilangkan kepribadian yang menjadi ciri khas madrasah dan pesantren. Pembaharuannya dilakukan secara bijaksana dengan menanamkan pengertian serta kesadaran tentang arti penting pengoganiasaian (manajemen) yang baik. Pesanten sebagai dunia santri berbeda dengan perguruan tinggi atau sekolahan.Pesantren juga bukan sekedar asrama pelajar.

Pesantren adalah sebuah sistem pendidikan serta kader vorming  yang telah mempunayi tradisi tersendiri. Pesantren inilah yang menimbulkan salah satu inspirasi bagi Ki Hajar Dewantara tatkala mencetuskan idenya membangun Perguruan Taman Siswa.

KH A. Wahid Hasyim senantiasa mengembangkan ide-ide pembaharuan pesantren dan madradsah melalui pendekatan kepada sahabat-sahabatnya dekatnya seperti KH.Hamid pemimpin Pesantern Termas Pacitan, KH Zarkasyi pemimpin Pesantren Gontor Ponorogo, KH. Ali Maskum pemimpin Pesantren Krapyak, Yogyakarta, KH Ajengan Ruhiyat pemimpin Pesantren Cipasung Tasikmalaya, KH Ali Mansur pemimpin Pesantren Lirboyo Kediri, KH R. As’ad pemimpin Pesantren Asembagus ,Situbonbo, dan lain-lain.

KH A. Wahid Hasyim sendiri tidak sependapat dengan adanya bantuan keuangan dari pemerintah. Menurut KH A. Wahid Hasyim bantuan pemerintah justru akan menempatkan pesantren ke arah ketergantungan maupun merasa berhutang budi kepada pemerintah, baik secara terang-terangan maupun terselubung. KH A. Wahid Hasyim mengharapkan, pesantren dapat tumbuh dengan tetap berdikari, seperti tradisinya semenjak berabad-abad. Karena itulah, pada zaman kolonial Belanda, Tebuireng tidak pernah bersedia menerima subsidi dari pemerintah, meskipum sekolah-sekolah Muhammadiyah justru menerimanya dengan antusias. Pada zamannya, sikap Tebuireng ini merupakan pola panutan bagi seluruh pesantren yang berafiliasi kepada NU.

Perjuangan di zaman  Kolonial Belanda dan Jepang

Sebagai seorang tokoh Nahdlatul Ulama maka KH A. Wahid Hasyim bersikap anti-kolonialisme dan anti-kapitalisme. Karenanya, tidak mengherankan, KH A. Wahid Hasyim bersama tokoh-tokoh lain dalam NU, mempoerjuangkan hapusnya subsidi pemerintah kolonial kepada sekolah-sekolah Islam, memperjuangkaan keringanan beban-beban pembiayayan bagi para jamaah calon Haji di pulau Onrust dan sebagainya. Penghapusan biaya korban penyembelihan korban pada Hari Raya Idul Adha, menuntut kepada pemerintah agar para pejabat yang diangkat dalam kedudukan-kedudukan pada kantor-kantor Kepenghuluan/Qadhi dipilih dari orang-orang yang memiliki standar pengetahuan hukum Islam dan akhlak Islam dan lain-lain.

Atas dorongan K.H. Mahfudz Shiddiq Ketua Umum PBNU yang dipilih selama 4 kali kongres (Orang kuat dalam NU), maka pada tahun 1939 KH A.Wahid Hasyim dipilih menjadi Ketua Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Para anggota MIAI adalah tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr. Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini dengan sendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan.

Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma menjadi ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” (Masyumi). Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan penerbitan Majalah ”Suara Muslimin” yang mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin Zuhri dan kemudian beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.

Selama zaman  kependudukan Jepang KH A. Wahid Hasyim merupakan tokoh sentral di kalangan Umat Islam. KH A. Wahid Hasyim juga menjabat sebagai anggota Chuuo Sangi In yakni semacam DPR ala Jepang. Dengan jabatan tersebut KH A. Wahid Hasyim dapat menyakinkan tentara Jepang untuk mendirikan sebuah badan yang menghimpun kalangan ulama. Maka terbentuklah Badan yang bernama Shumubu, yaitu Badan Urusan Agama Islam yang susunannya terdiri dari: KH. Hasyim Asy’ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua. Oleh karena KH Hasyim Asy’ari tidak dapat aktif karena memangku Pesantren Tebuireng, maka jabatan ketua sehari-hari dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim. Badan inilah yang menjelma menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17 Agustus 1945)

Taktik politik yang dijalani KH A Wahid Hasyim di zaman  Jepang ialah, mengambil unsur kekuasaan Jepang yang Positif bagi perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. ”Kerja sama” dengan Jepang (pada tingkatan pertama) dipandang perlu sebab bangsa Indonesia yang tidak mempunyai kekuatan politik (kekuasaan ) di zaman  Belanda tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer Jepang yang tengah berada di puncak kemenangan. Kezaliman-kezaliman pemerintahan Jepang kepada bangsa Indonesia, oleh KH A. Wahid Hasyim, dijadikan pupuk keyakinan bagi rakyat, bahwa sesuai dengan Al-Qur’an segala yang batil pasti akan sirna, kezaliman tak pernah mengalami kemenangan yang panjang.

Perjuangan di Zaman  Revolusi Indonesia

Meskipun KH A. Wahid Hasyim sudah menjadi menteri sejak dalam kabinet pertama dan menjadi menteri pula di kabinet-kabinet sesudahnya, namun Beliau tidak melepaskan kedudukannya sebagai pemimpin masyarakat. Adalah menjadi pendirianya yang tak tergoyahkan: tanpa seorang masyarakat seorang menteri tidak ada artinya dalam arti perjuangan dan pengabdian masyarakat.

Republik Indonesia yang mendapat pukulan-pukulan dari Nica yang hendak menegakkan kembali penjajahan Belanda atas bekas jajahannya, menyebabkan perlunya penggalangan Umat Islam Indonesia dalam satu kekuatan. Maka lahirlah Partai Politik Islam ”Masyumi” dalam suatu Kongres yang diselengarakan di Ibu Kota Republik Indonesia, Yogyakarta, pada November 1945. Nama Masyumi dipergunakan hanya sekedar nama, bukan dalam arti ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” seperti ketika masih di zaman  Jepang.

Partai Masyumi dipimpin oleh dr. Sukiman, sedang pimpinan Majelis Syuro-nya dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah selaku Wakilnya. Adapun KH A.Wahid Hasyim memegang jabatan Ketua Dewan Pertahanan Partai yang langsung memimpin Markas Tertinggi ”Hizbullah”, yang diketuai oleh Zainul Arifin dan Markas Tertinggi ”Barisan Sabillah” yang diketuai oleh KH. Masykur. Berhubung tugasnya di dalam partai ”Masyumi” yang membidani politik pertahanan (kemiliteran), maka KH A.Wahid Hasyim diangkat oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman menjadi penasehat pribadinya.

Masa perang kemerdekaan antara tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid Hasyim menyibukakan diri dalam gejolak revolusi. Meskipun sebagian besar waktunya dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan, seperti dua kali menghadapi agresi Belanda atas Republik Indonesia dan kemelut politik yang penuh pertentangan di masyarakat, namun KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin hubungan erat dengan para ulama dan dunia pesantren.

Ketika NU merasa sering dirugikan akibat mekanisme demokrasi yang timpang dalam Partai Masyumi, maka NU menginginkan berpisah dari Masyumi. Sebagian golongan yang mempunyai andil besar sering diabaikan aspirasinya disebabkan pimpinan politik lebih condong pada permainan otoriter berdasarkan klik sistem atau”konco-isme”. Kaum politisi sering mengabaikan pertimbangan Ulama padahal masalahnya menyangkut nilai Agama. NU berusaha memperbaiki ketimbangan yang terjadi di dalam Partai Masyumi, terutama ketika partai tersebut berada di bawah pimpinan Muhammad Natsir dengan grup elit politisi golongannya. Selama 4-5 tahun usaha NU mengadakan usaha-usaha dari dalam, tetapi tidak berhasil. Karena tidak ada jalan lain maka koreksi NU ditingkatkan.

Atas prakarsa KH A.Wahid Hasyim, Nahdlatul Ulama mendirikan Biro Pilitik yang bertugas melakukan perundingan dengan pihak Partai Masyumi untuk mencari jalan islah menuju mekanisme demokrasi secara sehat. Usaha ini pun mengalami kegagalan. Maka pada tahun 1950 dalan Kongres NU di Jakarta, Kongres memutuskan NU keluar dari Partai Masyumi. Namun pelaksanaannya ditangguhkan untuk sementara waktu agar memberi kesempatan kepada Partai Masyumi meninjau pendiriannya atas koreksi NU.

Bagi NU, Partai Masyumi terlalu mengandalkan kekuatan grup elita politisinya, mengira bahwa Masyumi telah begitu kuat hingga memandang kecil terhadap kekuatan dan pengaruh NU. Tahun 1952 NU melangsungkan Kongres di Palembang, dr. Sukiman selaku ketua Partai Masyumi hadir dalam kongres itu atas undangan NU. Acara terpenting dalam kongres ialah: apakah NU tetap di dalam Masyumi atau keluar. Akhirnya kongres memutuskan NU menjelma menjadi partai politik sendiri lepas dari Partai Masyumi. Kongres juga memilih KH A.Wahid Hasyim menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Partai NU.

Sifat-sifat yang Menonjol
Sebagai pejuang KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang gigih mempertahankan prinsip, tetapi toleran, pantang menyerah dan tidak mengenal putus asa. Di kalangan para pemimpin, KH A. Wahid Hasyim terpuji keberaniannya atas perhitungan matang menimbulkan rasa hormat di kalangan lawan sekalipun. Menjadi kawan baik dari Bung Karno, Bung Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Sukiman, Pak Dirman, Bung tomo, Sungkono, Sukarno. Khoirul saleh, BM Diah, Jamaludin Malik, Anwar Cokroaminoto, Sidik Joyosukarto, dan segudang orang-orang terkemuka lainnya. Meskipun demikian, KH A. Wahid Hasyim sanggup berjam-jam mengobrol denga para supir, kondektur kereta api, dan montir di bengkel.

Tergolong orang berada (kekayaannya jangan dibandingkan dengan orang-orang kaya zaman kini), KH A. Wahid Hasyim seorang dermawan dan memiliki jiwa sosial tinggi, terutama orang-orang yang sedang dirundung kesusahan.
Kewafatannya dalam syahid meninggal dalam usia belum 40 tahun menyebabkan dunia Ulama dan Pesantren menjerit dan meratap. Kaum politik dan masyarakat baik tua maupun muda merasa kehilangan yang besar. Yang patah akan tumbuh akan tetapi bukan lagi A. Wahid Hasyim. Abdul Wahid hasyim hanya ada satu dalam sejarah ummat manuasia. Namun sekalipun sudah wafat, namanya harum tidak pernah akan mati.

KH A. Wahid Hasyim sering menyatakan kepada orang-orang yang di dekatnya, ”Berusahalah mempunyai keuangan yang stabil, maka saudara akan hidup tanpa menyandarkan bantuan orang lain yang akan manjadikan saudara bisa dibeli dan akhirnya saudara haya menjadi seorang boneka dan alat orang lain saja.”

Demikian sekelumit saduran mengenai KH A. Wahid Hasyim yang dicatat oleh KH Syaifuddin Zuhri. Catatan-catatan ini banyak dirilis oleh KH Syaifuddin Zuhri dalam beragam edisi, seperti Guruku Orang-orang dari Pesantren dan Kaleidoskop Politik di Indonesia. (Di sadur kembali oleh Syaifullah Amin)


Terkait