Nama Pondok Pesantren Zainul Hasan, di Desa Karangbong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, cukup populer. Pesantren yang juga dikenal dengan nama Pesantren Genggong ini, sering dikait-kaitkan dengan penggalan sejarah perjalanan NU.<>
Maklum, pesantren yang didirikan oleh Kiai Zainul Abidin ini kerap menjadi tuan rumah berbagai hajatan NU tingkat regional maupun nasional. Semua itu tak lepas dari kiprah dan kharisma Kiai Hasan Saifourridzal yang menjadi sabab musabab bendera Genggong terkerek tinggi-tinggi.
Kiai Hasan –sapaan akrabnya— lahir ketika bangsa Indonesia merajut kekuatan para pemuda dalam bingkai “Sumpah Pemuda”, yaitu tanggal 28 Oktober 1928, dari pasangan Kiai Muhammad Hasan dan Nyai Hj. Siti Aminah. Adalah Desa Karangbong, Kec. Pajarakan, Kab. Probolinggo yang menjadi tempat kelahiran pria yang bernama kecil Ahsan itu. Ayahnya, Kiai Muhammad Hasan adalah seorang ulama besar dan salah satu pendiri pesantren Zainul Hasan.
Masa kecil Non Ahsan –panggilannya sewaktu kecil-- tidak hidup di lingkungan pesantren karena tinggal bersama ibunya di kota Probolinggo, lalu pindah ke Bondowoso. Ini terjadi karena biduk rumah tangga orang tuanya pecah, firoq. Kendati hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, namun Non Ahsan tetap tegar. Untuk membantu mencukupi kebutuhan hidup ibunya, ia rela berjualan makanan ringan di terminal dan kadang di stadion saat ada event keramaian.
Menjelang umur 16 tahun, Non Ahsan diminta pulang, tinggal bersama ayahnya di Genggong. Di situlah ia diajari kitab kuning. Tidak hanya di situ, Non Ahsan juga dimondokkan ke beberapa pesantren di Madura, Paterongan, Tebuireng (asuhan KH. Hasyim Asy’ari) dan Lirboyo, Kediri.
Waktu terus berputar, masapun berlalu. Ketika usianya semakin matang, Non Ahsan menyunting seorang gadis asal Desa Sukodadi, Kec. Paiton, Probolinggo. Namanya Himami Hafsyawati. Sejak saat itu, ia diberi amanah oleh ayahnya untuk mengurus pesantren. Nama Kiai Hasan tercatat sebagai generasi ketiga yang memimpin pesantren Zainul Hasan.
Mengasuh pesantren dan menjadi muballigh, itulah dua tugas yang selalu melekat dalam perjalanan hidup Kiai Hasan. Karena kehebatannya berorasi, Kiai Hasan dijuluki singa podium. Dengan gayanya yang khas, Kiai Hasan mampu membuat auiden hanyut dalam pidatonya. Popularitasnya sebagi da’i yang handal juga sampai ke manca negara. Diantaranya beliau pernah diundang ke Malaysia, Singapura, Brunai, Tahiland dan Iraq.
Di sisi lain, sejarah mencatat, pesantren Zainul Hasan tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama tapi juga menjadi bagian dari penggemblengan para pejuang. Bahkan Kiai Hasan sendiri terjun langsung di garda terdepan untuk mengusir penjajah. Ketika perang berkecemuk di Tulangan, Sidoarjo, Kiai Hasan bersama 20 pasukannya yang tergabung dalam Ansorudinillah, ikut bergabung dalam bentrok fisik versus serdadu Belanda itu. Alhamdulillah beliau selamat.
Kiai Hasan juga dikenal sebagai tokoh NU. Beliau pernah dua periode menjabat Rais Syuriah PCNU Kabupaten Probolinggo. Kendati secara politik, Kiai Hasan waktu itu “dekat” dengan kekuasaan, namun beliau menolak mentah-mentah ajakan Bupati Probolinggo, Suprapto untuk mengamini praktek vasektomi. “Terus terang kalau masalah politik, saya ikut bupati. Tapi kalau masalah hukum, saya ikut NU. Karena NU mengharamkan vasektomi, maka sampai sekarang saya tetap mengatakan haram,” ujar Kiai Hasan di hadapan Bupati Suprapto dan para hadirin saat itu.
NU adalah segalanya bagi Kiai Hasan. Ketika NU menjadi partai politik, beliau tampil sebagai jurkam andalan. Tapi saat NU kembali menjadi ormas, Kiai Hasan juga cabut dari aktifitas politik. Belakangan Kiai Hasan memilih jalan berbeda. Beliau bergabung dengan Golkar. Sebuah pilihan yang sebenarnya terasa pahit, namun karena beliau ingin menghindari kian tajamnya tekanan penguasa terhadap wara nahdliyyin, maka itupun menjadi solusi. Seperti diketahui, selama sekian tahun Golkar begitu dominan dan menjadi raja diraja di jagat politik nusantara. Jangankan melawan penguasa, bersuara kritis saja, harus siap-siap diculik, atau dijebak masuk penjara.
Kenyataannya, banyak ulama NU yang ditahan lantaran berseberangan dengan penguasa. Contohnya KH. Badri Masduki (pengasuh pesantren Badrid Duja, Kraksaan), yang sempat ditangkap aparat keamanan di Jember karena dianggap menentang penerapan azas tunggal. Atas campur tangan Kiai Hasan, beliau bebas. Kiai Marfu’ (anggota DPRD Probolinggo dari PPP) yang mau dibabat habis karir politiknya (dengan alasan tidak lulus litsus), namun Kiai Hasan bisa membantunya.
Dengan perannya itu, Kiai Hasan benar-benar tampil sebagai sosok ulama yang komplit. Ya, sebagai pendidik, orator ulung, pejuang dan politikus. Semua itu bermuara kepada satu tujuan; menggapai ridlo Allah.
Betapapun sebuah perjuangan ditakar, bagaimanapun sebuah kegigihan dan cita-cita ditebar, semuanya masih dibelenggu oleh dimensi waktu. Umurlah yang akan menyudahi segala aktifitas manusia. Kiai Hasan yang begitu agung, toh akhirnya harus tunduk kepada sunnatulah, ajal. Hari Jum’at 13 Juni 1991, Kiai Hasan meninggalkan alam fana.
Jasad Kiai Hasan boleh tiada, tapi perjuangan, pengabdian dan cita-citanya harus tetap lestari. Dan anak-anak beliau yang berjumlah 24 orang, siap melanjutkan perjuangan sang ayah sesuai profesinya masing-masing. (Aryudi A. Razak /Red:Anam)