Surabaya, NU Online
Ketua Umum PBNU KHA Hasyim Muzadi membantah bahwa dirinya telah membela kelompok Islam Syiah dengan beberapa kali mengunjungi Irak dan Iran.
"Saya ke Irak dan Iran bukan untuk membela Syiah. Saya tidak membela Syiah sebagai ajaran, tapi saya membela Syiah sebagai masyarakat (yang terjajah)," ujarnya di kantor PWNU Jatim, Surabaya, Minggu.<<>/p>
Ia mengemukakan hal itu saat berpidato dalam peringatan 100 hari wafatnya almarhum KHM Yusuf Hasyim (almarhum pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang yang akrab disapa Pak Ud).
Menurut Hasyim yang juga mantan Ketua PWNU Jatim itu, dirinya menemui kelompok Syiah dan Sunni di Irak dan Iran justru untuk mendamaikan mereka. "Mereka selama ini hanya menjadi ’jangkrik’ (hewan aduan) yang diadu domba intelijen asing, agar ’penjajah’ dapat menang secara gratis," ungkapnya.
Oleh karena itu, kata pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang, Jatim itu, dirinya mengajak kelompok Syiah-Sunni untuk berdialog di Indonesia sebagai upaya penyelamatan mereka dari penjajahan.
"Tapi, upaya itu gagal juga, karena dirusak dengan adanya penandatanganan Resolusi 1747 DK-PBB. Akhirnya, saya datang lagi ke Iran untuk menyelamatkan semuanya," ungkapnya.
Di sela-sela peringatan 100 hari wafatnya Pak Ud yang dimarakkan dengan peluncuran buku "Pejuang Sejati KHM Yusuf Hasyim" itu, ia mengaku dirinya tidak membela siapa-siapa.
"Saya merupakan pemimpin Islam yang pertama kali datang ke ’ground zerro’ (lokasi pengeboman WTC pada 9-11-2000), karena Islam memang menolak terorisme atau kekerasan," ungkapnya.
Namun, katanya, dirinya membela masyarakat Irak dan Iran, karena Islam melarang penjajahan yang juga merupakan kekerasan dari suatu negara kepada negara lain.
"Israel pasti tak suka ada persatuan kelompok Hamas dan Fatah. Amerika juga sama, mereka juga pasti tak suka ada persatuan Syiah-Sunni di Irak, Iran, dan Palestina," paparnya.
Ia menegaskan bahwa dirinya juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama, bukan ideologi, karena apa yang terjadi di Timur Tengah selama ini merupakan ideologi Islam.
"Ideologi Islam di Timur Tengah antara lain Ikhwanul Muslimin, Majelis Mujahidin, Al-Qaeda, dan sebagainya, tapi ideologi Islam itu bukan Islam, karena Islam sebagai agama bukan bersifat gerakan kepentingan, apalagi politis," ucapnya.
Dalam kesempatan itu, Hasyim Muzadi menceritakan wasiat Pak Ud kepada dirinya. "Pak Ud meminta saya untuk memotong ideologi transnasional masuk Indonesia, baik liberalisme maupun ideologis, karena semuanya akan merusak NU dan Indonesia," kilahnya.
Peringatan 100 hari wafatnya Pak Ud di kantor PWNU Jatim itu antara lain dihadiri KH Tholchah Hasan (mantan Menag), Slamet Effendy Yusuf (politisi Golkar/mantan Ketua Umum PP Ansor), Imam Nahrawi (PKB Jatim), Farid Al-Fauzy (PPP Jatim), dan KHM Masduqi Mahfudz (NU).
Acara yang diawali dengan bacaan tahlil itu juga dimarakkan dengan pembacaan puisi tentang kenangan terhadap Pak Ud yang dilakukan Fairuz Febiyanda (cucu pertama Pak Ud) dan Taufik Ismail (budayawan nasional). (ant/eko)