Kontroversi Kasus Ahmadiyah Bagian Politik Adu-Domba Barat
Jumat, 19 September 2008 | 22:06 WIB
Dalam beberapa periode, umat Islam dunia dihebohkan kontroversi kasus Ahmadiyah. Di Indonesia, kasus itu mencapai puncaknya setelah dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang penghentian segala aktivitas Ahmadiyah pada Juni 2008.
Namun demikian, keberadaan organisasi dan aliran yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Muhammad itu sejatinya merupakan bagian dari politik adu-domba (devide et impera) negara-negara Barat.<>
Demikian diungkapkan Wawan H. Purwanto, Penulis buku ”Menusuk Ahmadiyah”, dalam bedah buku karyanya di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jalan Kramat Raya, Jakarta, Jumat (19/9) kemarin.
”Karena sifatnya yang lebih cenderung politis, maka kita mesti menyikapinya dengan hati-hati. Kegegabahan hanya akan merugikan kita sebagai bangsa,” ungkap Wawan.
Wawan menambahkan, sebenarnya sebagian besar pengikut Ahmadiyah tidak mengerti tentang kondisi dan ideologi Ahmadiyah yang sebenarnya. Kebanyakan mereka mengira Ahmadiyah hanyalah ormas Islam seperti halnya NU dan Muhammadiyah.
”Banyak sekali warga sekitar masjid-masjid Ahmadiyah yang datang dengan maksud mengikuti majelis taklim biasa. Mereka tidak pernah tahu kitab-kitab apa saja yang digunakan Ahmadiyah, karena mereka adalah orang awam,” tandas Wawan.
Ahmad Baso, Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang hadir sebagai panelis pada kesempatan itu, mengungkapkan, selama ini Ahmadiyah tampak kurang menghargai
koridor-koridor kebangsaan. Para pemuka Ahmadiyah selalu berkelit untuk mematuhi konstitusi negara-bangsa Indonesia.
”Ketika kita meminta mereka untuk mengambil kebijakan yang lebih bernuansa nasional, mereka senantiasa berlindung di balik kebijakan London (Inggris), dengan alasan Ahmadiyah Indonesia berada di bawah otoritas Markas Besarnya di London. Padahal, tidak semestinya demikian,” tandasnya. (min)