Gagasan liberalisme Islam yang belakangan tumbuh subur di kalangan anak-anak muda Nahdlatul Ulama (NU), jika tidak direspons hati-hati akan berdampak negatif. Pasalnya, selain menawarkan gagasan baru, liberalisme juga berbenturan dengan tradisi dan nilai lama yang sudah dianggap mapan, bahkan mutlak.
Aktivis Keluarga Mahasiswa NU IPB, Nailul Abrar, mengatakan, liberalisme Islam yang dipelopori anak-anak muda NU perlu mendapatkan perhatian serius. Jika tidak, secara perlahan-lahan hal itu akan ‘menggerogoti’ dan ‘menghabisi’ NU dari basis sosialnya.<>
“Saya piker, gagasan tawasut (moderat) dan tawazun (seimbang) NU sudah tepat. NU jangan terjebak ke ‘kanan’ maupun ke ‘kiri’, namun harus tegak berdiri di tengah dengan ideologi Aswaja yang dimiliki,” papar mahasiswa Fakulas Teknologi Pertanian IPB itu.
Menurutnya, sebagai sebuah ormas Islam yang tumbuh di Indonesia, kekuatan NU terletak di kekayaan modal sosial. Sebagian besar umat Islam negeri ini adalah pengikut paham dan ajaran yang sejak awal dikembangkan NU. Inilah yang menempatkan NU pada posisi sebagai ormas dengan pengikut mayoritas umat Islam negeri ini.
“Gagasan liberalisme, sekilas sangat progresif dan menjanjikan. Namun, kalau dicermati itu sebagai perangkap yang akan membuat NU menjadi kecil dan kehilangan basis sosial yang dimiliki,” jelas Nailul.
Dosen Manajemen Bisnis Pascasarjana IPB, Aji Hermawan menjelaskan, bermula dari pertarungan gagasan, liberalisme akan bermuara pada persoalan ideologi. Awalnya, berkutat di transfomasi pemikiran keagamaan, namun gerakan ini akan bermuara pada fundamentalisme ekonomi atau liberalisme pasar.
“Sebagai contoh adalah iklan dukungan kenaikan BBM yang pernah dilakukan Ulil (Abshar Abdala-aktivis Jaringan Islam Liberal) melalui Freedom Institute beberapa tahun lalu. Ini merupakan kecenderungan yang akan terjadi pada penggiat liberalisme agama,” ujar mantan Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Inggris itu.
Menurut Aji, kecenderngan itu perlu diwaspadai. Pasalnya, hal itu akan semakin membuat NU kehilangan basis ideologi. “Liberalisme pasar sangat bertentangan dengan NU yang sejak awal tumbuh menempatkan diri sebagai komunitas besar yang antiimprealisme dan monopoli,” tuturnya.
Ia menambahkan, “Liberalisme pasar menguntungkan pemilik modal. Sedangkan mayoritas warga NU adalah masyarakat berekonomi lemah. Jadi, gejala ini sangat merugikan NU baik sebagai jamiyah maupun jamaah.” (hir)