Warta

Lutfi Zuhdi: al-Qur’an Bukan Hanya Ayat Perang

Jumat, 26 September 2008 | 08:30 WIB

Jakarta, NU Online
Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum nomer satu di dalam al-Qur’an bukan hanya berisi kecaman dan kebencian kepada agama lain, kelompok lain dan orang-orang yang tidak sepaham dengan pemerintah. Sehingga perintah penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan pertikaian bukanlah satu-satunya solusi yang ditawarkan oleh al-Qur’an.

Al-Qur’an juga memerintahkan kepada umat Islam untuk berdiplomasi, memaafkan, melindungi dan menyayangi, baik kepada sesama umat Islam, umat beragama lain maupun kelompok-kelompok yang tidak sepaham dengan penguasa (ulil amri). Bahkan perintah-perintah jenis ini lebih banyak terdapat dalam al-Qur’an dibandingkan dengan perintah penggunaan senjata untuk menyelesaikan persengketaan.<>

Demikian dinyatakan oleh Muhammad Luthfi Zuhdi, Ketua Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (PKTTI-UI) dalam seminar Ramadhan di Pesantren Ciganjur, Jl. Warung Silah, Ciganjur, Jakarta Selatan, baru-baru ini.

Menurut Mas Luthfi, panggilan akrabnya, Pemahaman bahwa al-Qur’an memprioritaskan perintah penggunaan kekerasan dalam menyerukan dakwahnya dan menyelesaikan persengketaan menjadikan sebagian umat Islam sering mengambil tindakan main hakim sendiri. Meski demikian, sebenarnya mereka mengakui kedaulatan negara yang diatur oleh undang-undang.

”Terjadinya banyak sekali kekerasan dengan motif pembelaan terhadap agama oleh kelompok-kelompok Islam tertentu, memang dipicu oleh pemahaman yang kaku terhadap ayatus syaif (ayat-ayat perang) yang terdapat dalam al-Qur’an,” terangnya.

Namun Mas Luthfi juga menambahkan, dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, pemerintah Indonesia, dalam hal ini pihak kepolisian, juga turut bertanggung jawab atas terjadinya insiden-insiden main hakim sendiri oleh kelompok-kelompok tertentu.

”Maraknya kekerasan atas nama agama, memang sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya ketidakpuasan terhadap penegakan hukum oleh aparat keamanan yang berwenang,” ungkapnya.

Lebih lanjut Mas Luthfi menuturkan, Pemerintah mestinya tidak hanya menginginkan adanya pelunakan pemahaman keislaman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tanpa membenahi pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia.

”Saya rasa tidak adil jika pemerintah menginginkan orang bersikap manis namun tidak memberikan jaminan kesepakatan yang dapat menjadikan mereka bersikap manis,” kata Lutfi menyindir situasi panasnya persidangan kasus Monas. (min)


Terkait