Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dipastikan akan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1428 H secara berbeda. Kepastian tersebut didapat karena hingga saat ini belum ada kesepakatan antara kedua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam besar di Indonesia itu dan juga ormas lainnya.
Demikian ditegaskan Peneliti Utama Astronomi dan Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), T Jamaludin, di Bandung, Jawa Barat, Rabu (26/9). "Titik pangkal masalahnya ada pada kriteria. Sesama ahli hisab di Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam), misalnya, keputusannya bisa beda karena kriterianya beda. Walaupun hitungannya sama, ketinggian dan umur bulan sekian derajat itu sama," jelas Jamaludin.<>
Ia menjelaskan, Muhammadiyah dengan kriteria wujudul hilal dan prinsip wilayatul hukmi menetapkan 1 Syawal 1428 H pada 12 Oktober 2007. Persis dengan wujudul hilal di seluruh Indonesia menetapkan pada 13 Oktober 2007.
Sementara, NU dalam hisab(perhitungan astronomi)-nya menentukan kriteria posisi hilal (bulan) 2 derajat akan menunggu keputusan rukyatul hilal (melihat bulan), kemungkinan besar akan menentukan tanggal 13 Oktober 2007. Karena, kalau pun hilal terlihat pada 11 Oktober itu masih di bawah kriteria kurang dari 1 derajat sehingga tidak mungkin untuk di-rukyat (terlihat).
"Memang, nanti akan terjadi perbedaan, karena beberapa kalangan di NU ada yang menggunakan perhitungan yang berdasarkan pada pendekatan atau taqribi silamunairih yang menyatakan hilal tinggi sebesar 3 derajat," papar astronom alumnus Institut Teknologi Bandung itu.
Kemungkinan beberapa pengamat rukyat di daerah Cakung dan Jawa Timur akan melaporkan rukyatul hilal tanggal 11 Oktober. Sehingga, bagi sebagian kalangan mungkin akan menetapkan Hari Raya pada 12 Oktober. Karena itu, sesama ahli rukyat di kalangan NU juga dimungkinkan akan beda seperti tahun 2006, 1999 dan 1998 lalu.
"Karena satu sisi ada yang menerima kesaksian hilal, tapi ada juga yang menolaknya karena masih di bawah kriteria," ungkap Jamaluddin.
Di tempat terpisah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan, juga mengatakan hal yang sama. Menurutnya, NU dan Muhammadiyah sulit untuk merayakan Lebaran secara bersamaan, seperti halnya pada tahun sebelumnya. "Secara teori, Muhammadiyah dan NU sulit bertemu," ujarnya di Jakarta, Selasa (25/9) kemarin.
Dalam pertemuan antara Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan pimpinan ormas Islam; NU dan Muhammadiyah di Jakarta, Senin (24/9) lalu, dibahas mengenai kemungkinan pelaksanaan Lebaran secara bersama. Wapres Kalla optimistis hal tersebut dapat terlaksana.
Amidhan menjelaskan, Muhammadiyah menentukan hari Lebaran menggunakan metode hisab. "Patokannya wujudul hilal itu asal ada bulan, waulupun hanya setengah, sudah bisa ditetapkan sebagai hari raya," terangnya.
Meski secara teori sulit dipertemukan, Amidhan tetap berharap kedua ormas Islam itu dapat melaksanakan Hari Raya Idul Fitri secara bersamaan. "Tapi, kalau ternyata tidak bisa, ya jangan dipertentangkan," pungkasnya. (okz/rif)