Para politisi NU saat ini dinilai belum memiliki karakter, dan tidak bisa dibedakan dengan politisi lain yang tidak berlatar belakang NU. Bahkan hampir sulit dibedakan antara politisi yang memiliki background pesantren dengan yang tidak.
Mereka juga sama-sama menyetujui kebijakan negara yang tidak pro rakyat. Bahkan diantaranya sudah tidak risih lagi dengan budaya korupsi. "Ini kan sangat memprihatinkan!" ungkap Asep Zam-zam Nur, penyair yang juga putra (Alm) KH. Ilyas Ruhiat saat menghadiri kegiatan parade puisi dan musik etnik yang diselenggarakan oleh Koran NU Tegal, FORUM WARGA, Jum'at (11/1) kemarin di Aula Hanoman Centre Tegal<>.
Menurut Asep, hingga saat ini belum ada prestasi NU dalam berpolitik. Meskipun banyak orang NU yang menjadi pejabat strategis, tetap saja tidak bisa memberdayakan warga NU. Mestinya, politiknya NU itu harus bisa memberikan warna dan karakter yang senyawa dengan faham NU seperti sikap bersahaja, khusuk, moderat, amar ma'ruf nahi munkar dan lain-lain.
Lebih jauh, masih kata Asep, saat ini banyak sekali anak muda NU yang terjangkiti budaya provokasi, broker politik, dukung-mendukung, dan lain sebagainya. "Karena itu kita harus tegaskan kembali komitmen khittah sebagaimana yang dulu ditetapkan pada Muktamar NU di Situbondo, terutama berupaya mengarahkan kembali komitmen sosial-kemasyarakatan dalam gerakan-gerakan NU," kata dia.
Dijelaskan, gerakan-gerakan tersebut mencakup gerakan budaya yang berupaya
mengembalikan tradisi NU kepada karakter dasarnya. Apalagi, saat ini banyak tradisi NU yang dijadikan alat kepentingan politik, semisal istighosah."
Sekarang hampir tidak ada bedanya antara istighosah dengan pertunjukan musik dangdut. Yakni sama-sama dipakai untuk mengumpulkan massa dan dukung-mendukung," ujar Asep. (fei)