Warta

PBNU: Kinerja KPK Pakai “Mikroskop”

Selasa, 19 Juni 2007 | 07:25 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menyindir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kinerjanya menggunakan “mikroskop”. Karena, menurutnya, hanya kasus-kasus korupsi bersifat kecil yang hanya ditangani lembaga tersebut, sementara kasus korupsi besar hampir tak tersentuh hukum.

“Jadi, ibaratnya, kalau pakai mikroskop, gajah yang besar itu nggak kelihatan. Nah, yang kelihatan itu hanya kutu-kutu yang ada di tubuh gajah itu,” kata Hasyim di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Selasa (19/6). Ia mengatakan hal itu kepada wartawan usai diperiksa KPK terkait pengakuannya yang juga turut menerima dana non-budgetter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).

<>

Sebelumnya, Hasyim yang juga mantan calon wakil presiden pada Pilpres 2004 lalu, mengaku mendapat amplop yang berisi uang sebesar Rp 10 juta dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri.

Menurut Hasyim, pemeriksaan oleh KPK terhadap dirinya terkait dana yang dinilai hasil korupsi tersebut merupakan bukti bahwa upaya pemberantasan korupsi di negeri ini hanya berlaku bagi kasus-kasus yang kecil. Sedangkan, kasus-kasus korupsi berikut para koruptornya yang telah merugikan negara triliunan rupiah masih bebas berkeliaran.

Kepada wartawan, ia mengaku heran atas pemeriksaan dirinya oleh KPK. Padahal, katanya, uang yang diterimanya merupakan uang halal dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan dana non-budgetter DKP yang dipermasalahkan tersebut.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timar, itu, menyebut keberadaan KPK sebagai “bagian dari kekuasaan, bukan bagian dari penegakan hukum dan keadilan.”. Deretan para koruptor yang telah ditangkap dan koruptor yang masih bebas berkeliaran, menunjukkan bahwa KPK tak bersungguh-sungguh memberantas penyakit bangsa tersebut.

Jika hal itu terus dilakukan, tambahnya, bukan tidak mungkin upaya pemberantasan korupsi akan berjalan di tempat dan tak ada perubahan berarti bagi cita-cita mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Selain itu, pemberantasan korupsi yang masih terkesan tebang pilih, pasti akan akan menimbulkan dendam di kemudian hari saat berganti rejim.

Karena itu, katanya, jika pemerintah memiliki niat yang sungguh-sungguh, maka harus ada perumusan kembali secara utuh dan menyeluruh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Ia menilai, pemberantasan korupsi yang dilakukan saat ini telah melenceng dari gagasan idealnya, sebagaimana pernah dicanangkan NU dan Muhammadiyah.

Pemberantasan korupsi, jelas mantan Ketua Pengurus Wilayah NU Jatim itu, harus melalui syarat dan tahap-tahap tertentu, tidak seperti sekarang yang terkesan sporadis atau tidak sistematis.

“Tahapannya, peningkatan gaji pegawai negeri, penataan dan pendisipilan birokrasi, pembenahan perangkat hukum, konsensus nasional, dan harus dipimpin langsung oleh Presiden. Nah, setelah semua itu terpenuhi, barulah dilakukan pemberantasan kuropsi secara menyeluruh dan represif,” terang Hasyim. (rif)


Terkait