Acara International Conference of Islamic Scholars (ICIS) III yang diselenggarakan baru-baru ini menegaskan pentingnya peran ulama sebagai bagian penting sebagai mediator konflik, terutama di negara-negara muslim.
Berdasarkan pengalaman, sebuah konflik tak cukup diselesaikan dengan penandatanganan perjanjian bersama. Penggunaan tradisi dan budaya masyarakat lebih mampu membangun kohesi sosial dibandingkan dengan pendekatan politik. Dalam komunitas dengan tradisi Islam yang kuat, peran ulama bisa menjadi aktor penting untuk menyelesaikan konflik.<>
Pengurus Lakpesdam NU Hamami Zada menjelaskan berdasarkan pengalamannya membantu proses damai dalam konflik Ambon yang melibatkan komunitas Muslim dan Kristen, yang dilakukan oleh Lakpesdam NU Ambon, pendekatan budaya ternyata sangat efektif. Pengalaman inilah yang diharapkan dapat dibagi kepada negara-negara lain melalui forum ICIS.
”Ini merupakan sebuah langkah alternatif, bagaimana ulama lintas negara betul-betul berkontribusi di negara-negara konflik. Kita tidak ingin menihilkan peran pemerintah, tetapi memperkuat basis kultural karena yang memiliki legitimasi adalah pemimpin kultural,” katanya.
Keterlibatan jaringan ulama internasional ini menurutnya sangat penting karena konflik yang dihadapi umat Islam juga sangat besar sehingga harus diselesaikan bersama. Ia mencontohkan persoalan Palestina yang bukan hanya menyangkut masalah kekuasaan dan ekonomi tetapi juga tafsir agama dan pewahyuan tentang siapa yang paling berhak atas tanah Palestina ini.
Demikian pula, konflik di Thailand Selatan yang melibatkan komunitas muslim dengan pemerintah. KH Hasyim Muzadi turut berupaya menjadi mediator agar konflik tersebut cepat berakhir.
”Jangan sampai di negara muslim juru rundingnya orang lain, para ulama yang harus menjadi peran penting. Tahapnya kan ada yang bottop up dan top down, harus beriringan,” terangnya.
Dijelaskannya, seorang mediator harus memiliki pengalaman dan keahlian serta dipercaya oleh kedua belah fihak yang bertikai. Pemahaman mereka atas budaya, hukum dan aspek lainnya sangat penting agar jangan sampai malah memperparah konflik.
”Peran ulama didorong lebih kuat karena mereka memiliki otoritas dan pemahaman agama yang lebih toleran. Kalau ulamanya tidak bisa menyelesaikan persoalan masyarakat, ini menjadi tanda-tanya,” tambahnya.
Mengenai perbedaan diantara para ulama sendiri, Hamami menjelaskan, dalam forum ICIS ini mereka disatukan dalam visi Islam sebagai Rahmatan lil Alamiin yang menegaskan Islam sebagai agama yang membawa perdamaian bagi seluruh alam dengan sentuhan riil bagi masyarakat.
”Yang paling penting menumbuhkan kesadaran kultural, konflik tak menguntungkan mereka sendiri bahwa konflik merugikan, yang untung orang luar. Mereka harus sadar dimainkan pelaku kepentingan. Jangan sampai mereka terbius oleh alasan agama dalam berkonflik,” terangnya.
Dalam acara ICIS tersebut, para ulama yang berasal dari daerah konflik mempresentasikan kondisi negaranya masing-masing. Selanjutnya forum memikirkan alternatif apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan konflik ini.
Meskipun ICIS diselenggarakan di Indonesia, tetapi pendekatan yang digunakan bukan Indonesian mainstream. Ulama di daerah asal memiliki kontribusi yang paling besar karena mereka yang tahu persoalannya secara mendetail.
”Ini tantangan besar, baik secara konseptual maupun implementasinya, di tingkat intelektual maupun di lapangan. Jangan sampai memperburuk konflik, aspek budaya, hukum dan lainnya harus difikirkan dan dipertajam,” jelasnya.
Dari perbincangannya dengan para peserta konferensi, Hamami menjelaskan mereka sangat senang karena ada perhatian dari umat Islam di dunia atas konflik yang mereka alami. Ini sekaligus meningkatkan semangat mereka menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Sementara itu, ulama-ulama yang berasal dari daerah non konflik, mereka diharapkan mampu memainkan peran untuk mencegah terjadinya konflik. Biaya untuk mencegah terjadinya konflik jauh lebih murah daripada menyelesaikan konflik.
Aspek lain yang tak boleh dilupakan dalam sebuah pendekatan yang komprehensif adalah masalah kesejahteraan dan ketidakadilan. Negara miskin memiliki potensi lebih tinggi mengalami konflik.
”Kita dorong ulama mengerti negaranya, politik, ekonomi, termasuk kekuatan globalnya. Ulama sudah punya basic pendidikan dan ummat, tinggal mengefekfitkan dan memaksimalkan agar menjadi bagian perdamaian,” katanya. (mkf)