Warta

Rabu Pungkasan ala Mejagong

Selasa, 24 Januari 2012 | 14:38 WIB

Pemalang, NU Online
Hari Rabu, 18/1, merupakan hari Rabu terakhir pada bulan Safar atau lebih dikenal khususnya masyarakat Jawa sebagai Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan. Pada hari tersebut sebagian masyarakat melakukan semacam “tradisi ritual” untuk menolak bala (bencana/musibah). Ritual yang dilakukan masyarakat menyambut Rebo Pungkasan berbeda-beda, sesuai tradisi yang berlaku di daerah masing-masing.

Seperti di Desa Mejagong, Kec. Randudongkal, Kab. Pemalang yang menjadi salah satu tujuan masyarakat Kab. Pemalang pada saat Rebo Wekasan. Ritual yang dilaksanakan biasanya mandi di sungai Mejagong. Sebagian masyarakat percaya dengan mandi di sungai Mejagong pada hari Rebo Wekasan, akan menghindarkan diri dari bala’.

<>Menurut salah satu warga Desa Mejagong, Kasan (40), tradisi Rebo Wekasan di desanya sudah berlangsung lama. Ketika ditanya kapan tepatnya tradisi mandi untuk menolak bala’ di sungai Mejagong berlangsung, Kasan hanya menggelengkan kepala.

"Tahun berapanya saya tidak tahu Menurut orang-orang tua di sini, sebelum saya lahir tradisi mandi tolak bala’ sudah ada,” ujarnya.
Sementara menurut Kyai Tafsir, Imam Besar Masjid Desa Mejagong, masyarakat setempat biasanya mengadakan selamatan, shalat Lidaf’il Balaa (memohon ampun dari bala) dan pembagian air Wifiq (rajah khusus yang diriwayatkan oleh Ulama Ahlul Hikmah digunakan untuk meminta berkah dan keselamatan dari Allah SWT).

“Selamatan biasanya dilakukan di Manggis Daleman. Tempat yang diyakini sebagai bekas rumah pendiri Desa Mejagong, Mbah Sigit atau Mbah Nur Shidiq”, terang kakek berumur 90 tahun.

Senada dengan Kyai Tafsir, Abdul Hakim (33), menerangkan bahwa tradisi merayakan Rebo Wekasan tidak ditemukan teks-nya dalam Al Qur’an maupun Hadits.

Salah satu “penguat” tradisi Rebo Pungkasan adalah kitab Al-Jawahir al-Khoms, Syeikh Kamil Fariduddin as-Syukarjanji. “Menurut beliau, setiap tahun pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, Allah akan menurukan 320.000 musibah dan bencana ke muka bumi. Pada hari tersebut, disunahkan untuk mendirikan Shalat Sunnah,” paparnya.

Selamatan yang lazim dilakukan masyarakat Mejagong yaitu membauat takir (nasi dan lauk pauk yang dibungkus dengan daun pisang) selanjutnya dibacakan do’a oleh Kyai setempat dan dimakan bersama di Manggis Dalem. “Bahkan sebagian ada yang dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga” lanjut bapak dengan kumis tebal tersebut.

Pergeseran Makna Rebo Wekasan
Tradisi Rebo Wekasan di Desa Mejagong yang dilakukan sejak dulu dan masih dilanggengkan hingga saat ini oleh masyarakat, ternyata disayangkan oleh beberapa pihak. Hal tersebut terkait cara merayakan dan memaknai Rebo Wekasan, terutama oleh anak muda desa.

Menurut Zaenal (43), yang juga Ketua Ranting NU Desa Mejagong, masyarakat yang datang ke Desa Mejagong pada saat Rebo Wekasan tujuannya berbeda. Sebagian merayakannya dengan sajian orkes dangdut. “Padahal para Kyai sudah melarang membuat pertunjukkan musik, namun tahun ini masih diadakan (Orkes dangdut, red.),” terangnya.

Bagi Zaenal dan sejumlah Kyai Desa, Rebo Wekasan mestinya mengajarkan nilai positif pada masyarakat terutama keutamaan bersedekah, terutama sebagai alat untuk menghindarkan kita dari bala. Sesuai dengan Hadits Nabi; Ash-shodaqaatu tadfa’ul balaa (sedekah itu menghindarkan dari bala). “Rebo Wekasan bukan tempat berhura-hura yang tentu saja membuat orang lupa diri dan malah mendatangkan bala,” tegas salah satu pengajar SD ini.

Zaenal menambahkan, Para Kyai Desa Mejagong khawatir jika perayaan masih menggunakan cara-cara yang tidak sesuai dengan semangat awalnya, tradisi Rebo Wekasan kehilangan makna di masyarakat. “Belum lagi serangan dari pihak-pihak yang suka menyesatkan amalan warga Nahdliyin akan semakin gencar dan menemukan sasaran empuk,” ucapnya sambil menghela nafas panjang.

Meski demikian, Abdul Hakim, masih menaruh harapan acara Rebo Wekasan bisa lebih baik dan bermanfaat. Namun semua tergantung kepada masyarakat Desa Mejagong dan pemerintah, baik di tingkat Desa hingga Kabupaten. “Tradisi harus tetap dilestarikan, kemasannya yang harus diperbaharui, tanpa meninggalkan esensi awal, tradisi di Mejagong bisa dijadikan cagar budaya” terang bapak satu anak ini.

Redaktur     : Hamzah Sahal
Kontributor : Chairul Umam


Terkait