Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa mengatakan, belum adanya kejelasan tentang kapan penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait pembubaran Ahmadiyah, karena pemerintah masih membutuhkan masukan dari masyarakat.
"Saya kira, persoalannya itu tidak sederhana. Memerlukan masukan dari sejumlah masyarakat, saya hanya ingin menyampaikan bahwa pemerintah bekerja untuk itu, menteri itu bekerja," terang Hatta sebelum Rapat Kerja Panitia Khusus tentang Rancangan Undang-undang Pemilihan Presiden di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (4/6).<>
Ia meminta kepada masyarakat agar bersabar menunggu hingga SKB itu benar-benar siap diterbitkan. "Tunggu saja saat ini sedang dibahas, tidak terlalu lama jadi tunggu saja," ujar Hatta.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menilai, selama ini pemerintah terlalu banyak berwacana. Akibatnya, gejolak di di masyarakat tak dapat dihindarkan, termasuk insiden penyerangan Front Pembela Islam (FPI) terhadap aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Jakarta, Ahad (1/6) lalu.
“Pemerintah sendiri, sampai hari ini lebih banyak berwacana dari pada melakukan tindakan prevensi dan represi,” Hasyim kepada wartawan di kantornya, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Selasa (3/5) kemarin.
Hasyim menjelaskan, pemerintah tampak tidak mampu berbuat banyak saat terjadi gejolak di masyarakat, terutama terkait masalah Ahmadiyah itu. Seharusnya, pemerintah, melalui aparatnya, dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap kemungkinan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan.
Hal senada diungkapkan Ketua DPR RI Agung Laksono. Ia mendesak pemerintah segera menerbitkan SKB tiga menteri itu. Dengan demikian, diharapkan dapat meredam anarkisme di masyarakat.
"SKB Ahmadiyah menjadi pemicu semua ini. Diharapkan pemerintah mempercepat keputusannya sehingga tidak ada peluang untuk main hakim sendiri di masyarakat," kata Agung di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (4/6).
Sementara itu, mengenai desakan pembubaran FPI, pemerintah diminta tidak emosional. Perlu dikaji sejauh mana keterlibatan individual atau institusional FPI. "Pemerintah tidak bisa semena-mena. Harus ada dasar hukum dan argumentasi yang sah dan konstitusional," tukasnya. (rif)