Wawancara

Dialog Syaikh Mustafa dengan Jamaahnya

Senin, 30 Juli 2012 | 10:08 WIB

Boleh dikatakan Syaikh Mustafa adalah di antara guru sufi yang paling mobile di Indonesia. Ia tidak sungkan untuk berkeliling, mengajarkan suluk dan bercerita dengan murid-muridnya yang tersebar di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. 

<>Awal Juli 2012, ia ke Semarang, menjenguk orang sakit, yakni Dr. Darsono, seorang dokter yang sangat senior dan sangat cerdas dari Semarang. Syaikh Mustafa menjenguk Darsono karena Dr. Cicik, anak Darsono minta agar mengunjungi ayahnya. Saya, Moh Yasir Alimi, mengikutinya.

Dialog yang terjadi antara Syaikh Mus dan Darsono menyampaikan banyak hal dalam kehidupan: esensi Islam, getar rasa dan ikhtiar manusia ketika manusia dalam keadaan sakit dan merasa di penghujung hidupnya. Walaupun sudah tua dan pernah terserang stroke dan dalam kondisi sakit, kecerdasan dan ketajaman masih terpancar dari Darsono. 

Berikut adalah empat pertanyaan Darsono yang sangat mendasar dan pentingnya menghidupkan rasa dalam menghadapi Ramadhan. 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Syaikh, nanti waktu Ramadhan saya akan coba puasa sekuat-kuatnya. 

Njenengan Ramadhan ini kalau kuasa maka puasa, kalau tidak kuasa ya ada rukhsoh. Puasa Ramadhan ini bulan ampunan. Gerahnya Njenengan saja mengampuni dosa Njenengan, apalagi kalau malam ditambah ibadah, insya Allah pahalanya akan berlipat-lipat. 

Bulan Ramadan adalah bulan Allah menghias surga. Ini momentum yang luar biasa agar kita tidak miss. Ketiga, Allah kerso peparing, sembarang peparing. Apa yang menjadi permintaan kita, apalagi kalau permintaan kita adalah kebaikan. Segala bentuk kebejikan dielaborasi.

Karena saya merasa umur saya tinggal sedikit, umur saya sudah 74, saya berusaha jangan sampai kita itu membuat kecewa orang. Kedua, jangan sampai menyakiti hati orang lain. Itu bagaimana, Syaikh? 

Kucing suka nggelibet kalau ada orang. Kalau kita baru saja melakukan kebaikan maka kucing nggelibet. Kucing saja bisa membaca aura kebaikan orang. Kalau kucing saja bisa, apalagi orang, apalagi Allah SWT. Islam mengharuskan kita selalu ada hasrat untuk selalu ngapiki wong

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Kalau kita menyakiti orang, amal baik kita berkurang. Yaitu ketika semua kebaikan akan diaudit.  

Kowe biyen misuhi wong.

“I am sorry, God” kata hamba.

“Ora ono sori-soriyan” jawab Allah. Diambil pahalanya dan diberikan pada orang lain.

Kowe ngepot hak orang. Ini sampai container pahala habis. Sementara list masih panjang. Hati yang jelek membuat kita bangkrut.

Biasanya, bagusnya orang hanya di depan sesamanya. Tapi tidak di depan Tuhan. 
Itu memang persoalan. Tapi bukan persoalan kita. Itu persoalan Allah. Dulu ada seorang anak muda yang sangat mencintai nabi. Anak muda ini mendengarkan Nabi setelah shalat Subuh sampai tidak bersandar. Muadz bin Jabal adalah orang yang terakhir di majelis itu. 

“Kalau Panjenengan berkenan, ya Rasulallah, saya tidak pulang dulu.”

Belum lama, karena bronto hatinya pada Rasulullah, seperti perangko, sangat lengket, Muadz sudah muncul lagi. Tapi Rasulullah sudah diatas onta.

“Mau kemana kau Muadz?” Tanya Rasulullah. 
“Mau menemuimu Ya Rasulallah.” 
Onta bersedeku dan Rasulullah berkata: “Sini saya bonceng Sampeyan.” 

Maukah Engkau kuceritakan sesuatu yang apabila Engkau ingat maka Engkau akan beruntung. Namun bila kamu lupakan kamu akan rugi. Dulu setelah Allah menciptakan malaikat dan urusan mereka. Ada tujuh malaikat yang masih jobless. Waktu Allah menciptakan tujuh langit, langit itu belum punya pekerjaan. Maka malaikat itu diberi tugas mencatat kebaikan manusia dan langit untuk menilainya. 

Ketika melewati langit yang pertama, langit pertama berkata: lemparkan perbuatan itu. Bukan mencari ridhonya Gusti. Langit kedua: Lemparkan ke wajahnya, perbuatan itu cuma cari alemane wong (pujian orang). Langit ke tiga: lemparkan: itu Wong misuan, orang yang suka misuan. Langit empat: Lemparkan itu wong undat-undat. Langit lima: lemparkan itu wong golek persen. Langit ke enam: lemparkan iki wong medit ra lumprah. 

Muadz mulai menangis. Bagaimana saya ya Rasulallah? Makanya Engkau ikutlah aku. “Kalau Engkau melihat orang yang tidak benar, pumujilah pada Allah. Ya Allah, untung bukan saya yang seperti itu, tolonglah orang itu ya Allah. Kalau cangkemmu akan bicara yang tidak baik, telanlah!” Jadi pertanyaan njenegan jawabannya ya ini. Jangan sampai hati kelalen.

Hati harus punya hawa untuk menakke wong. Ojo duroko, odo suloyo. ojo khianat. Semua ini diperhitungkan oleh Allah. Kejahatan dan kedurhakaan, niki melebur-nya. 

Hayo Njenengan mengadakan kebaikan. At the last time, Until your last time, try to be good people. Try your effort, Try to be good servant. Kalau njenengan angsal pangapuro Ramadhan ini, maka njenengan bakal bejo. Jadi namanya Dr. Darsono Bejo. Angsal pangapuro, angsal kawalijungan. Apalagi kalau Sangune di hati wegah nglarakne hatinya orang. Gah khianat kepada orang. 

Saya membaca dari buku-buku dan dapat pengertian seperti ini. bahwa Islam itu intinya  adalah berbuat baik dan berserah diri? Kalau saya panjang-panjang saya nggak kuat. Makanya yang saya baca adalah “la ila haillah . Saya 100 kali. yang kedua adalah “astaghfirullah”. Yang intinya adalah minta maaf kepada Allah. 

Rasulullah tidak mengajarkan semua orang dengan kodian. Beliau selalu memberi nasehat sesuai kemampuan orang. Ini saja yang Anda syukuri. Ini bukan dari dirimu, tapi ini dari Allah. 

Insya Allah nanti dilipat gandakan. Sebetulnya niat baik Pak Dar mendapat respon dari anak Pak Dar sehingga minta saya untuk bertemu Pak Dar. Ini bukan kersane Pak Dar, bukan mau saya bukan mau Cicik. Ini adalah kehendak Allah. Tidak ada kawulo yang dilepas Gusti. Selalu ada streamline dari Allah kepada ciptaannya dan streamline dari Rasulullah kepada umatnya.

Hal ini tidak akan terbayangkan kalau hanya menggunakan kepala. Yang membuat Cicik mengingatkan saya ke Jogja. Saya hanya menggunakan waktu 10 sampai 20 menit, dalam perjalanan saya ke Jogja. Kebecikane ditata, ojo sampe gelakne wong, nglarakne wong.  Kalau saya baca, ada ruah syakban dan puasa. Apa hubungan puasa dengan takhalli, takholli dan tajalli? 

Takholli adalah pengosongan. Segala macam isi hati yang bukan panggonannya dikosongkan. Setelah kosong, baru diisi (takhalli). Kalau gelas ini isinya peceran, terus mau saya pakai untuk minyak wangi. Akankah saya buang dulu air cerennya. Kalau tidak dibuang jadi peceren atau jadi minyak wangi? Tidak bersih hatinya adalah tempatnya syaitan.   Harus dibersihkan kemudian diisi dengan kebaikan. Baru kemudian ada emanasi, tajalli. Orang yang mendapat pengampunan maka . Rejeb Allah, syakban Kanjeng Nabi, Ramadan umat. Bulan untuk mengamati . Idul Fitri bulan kemenangan original orang, yaitu orang yang mengalami takholli dan tajalli. Kalau tidak maka minyak wanginya jadi peceren. 

Dalam yang saya baca ternyata dalam agama Yunani kuno ada pengertian semacam itu. Istilahnya adalah Inferno, furgatolio dan paradiso. Apa hubungannya?

Saya pernah ditanya Jenderal Suparman. “Pak Mus selalu bilang yang baik-baik datang dari Rasulullah.” Lihatlah Tutut menerbitkan buku tentang ungkapan-ungkapan mulia dari Jawa. Coba gimana jawabnya”. Gini Nabi itu 124.000. Salah satunya adalah orang Bausasran, seperti Pak Parman. Beliau orang Bausasran. Apa yang tertinggal di sana adalah dari Allah. Inferno hanya bahasa Itali yang mengungkapkan kembali apa yang mereka dapat dari utusan tertentu. 

Sekarang yang penting adalah apa yang Bapak rasakan, getarkan di hati anda sebagai platform untuk dhikir kepada Allah. Jangan terlalu banyak mengacu pada referensi. Kalau ambil referensi adalah referensi yang dekat sentuhannya dengan getar di hati. 

Saya pernah di Jepang, ada majelis, pesertanya kebanyakan orang Indonesia, tapi juga ada juga dari Bangladesh, Sudan, India, orang asia Timur. Ada seorang perempuan yang datang terakhir.

Apakah boleh saya mengikuti pengajian ini?
“Have a seat. Try to come to close with me. Mendekatlah. Siapakah namamu?"
“My name is Namie Iwaka."
"What does that mean?"
“The big wave is tsunami. The small wave is Iwaka.”
"So you have very romantic name."
"Thank you," jawab Namie. 

Kami orang jepang selalu berhasrat untuk maju dan maju. Very nice gift  jawab Syaikh Mus. Begitu Amerika mengebom Nagasaki dan Hirosima, kami baru menyadari bahwa mereka lebih superior dari kami. Saya merasakan kekosongan dalam kemajuan ini. Oleh karena itu saya datang kemari. “We are going to perform ashar. Are you sinto? Are you Christian?” Namie, “I am atheist.” 

Namie tertarik untuk mencoba. Maka Syaikh Mus menasehatkan: jangan bingung apa yang dibaca, hanya pujilah penciptamu. Try to adapt, whatever, just appreciate your creature. Setelah ashar, Syaikh Mus bertanya: Could you explain, what you get? Namie, apa yang kamu dapat. 

I don’t know how to explain. But I feel it. Saya tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Tapi saya merasakan sesuatu. “That is your original being. It is as it was created”: jawab Syaikh Mus. Namie tahu yang apa dia rasakan dan apa yang dia pikirkan. Apa yang berasal dari otak dan apa yang dari hati. Makanya memasuki bulan Ramadhan ini, marilah kita menghidupkan rasa.

Saya pernah baca dalam buku bahwa Islam. Intinya adalah orang yang berhati mulia (berbuat baik) dan berserah diri pada Allah. 

Very proper answer. Niku leres Pak Dar. Alhamdulillah. Insya Allah puasa kita nanti menjadikan kita pada orisinalitas.

The moral story dialog Pak Dar dan Syaikh Mus di atas adalah pentingnya menghidupkan rasa kepada Allah, kepada rasulullah, kepada semesta, apalagi saat memasuki Ramadhan. Hendaknya kita menghidupkan rasa sebagai platform ibadah kita. 

Platform kita adalah rasa itu. Bukan apa yang dibaca dari buku, atau ceramah yang kita dengar dari televisi. Sehingga kita bisa mendapatkan rasa yang dirasakan Muadz bin Jabal. Apa yang ada di dada para sahabat, apa yang terdapat di dada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan welas asih mereka kepada sesama, itulah yang harus kita teladani. 

Keimanan bukan sekedar apa yang kita baca dari kitab. Jangan berhenti, sampai kitab itu bergetar dalam hati kita. Itulah thareqat.


Terkait