Wawancara

NU Kaltim, Membangun Pendidikan dan Menjaga Kerukunan

Kamis, 4 Oktober 2012 | 03:00 WIB

Sejak didirikan tahun 1926, Nahdlatul Ulama langsung menyebar ke banyak wilayah di Nusantara. Para ulama tidak mengalami kesulitan berarti mengajak orang-orang untuk menjunjung tinggi Islam dan berjuang di Nusantara melalui NU. Sebab, para ulama sudah menjalin hubungan melalui para guru atau pesantren.  

<>

Setelah tujuh tahun berdiri, pada tahun 1933 NU sudah berkembang di Kalimantan Timur. Setidaknya bisa dilacak di Kabupaten Brau, 12 jam perjalanan darat ke sebelah utara dari Samarinda, ibukota Provinsi Kalimantan Timur.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Menurut Choirul Anam dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU, faktor utama penerimaan Nusantara terhadap NU adalah karena jauh sebelum NU lahir dalam bentuk jam’iyyah, ia terlebih dahulu ada dan berwujud jama’ah yang terikat kuat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakter sama.   

Untuk mengetahui perkembangan NU Kaltim terkini, Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancari Ketua PWNU Kalimantan Timur KH Muhammad Rasyid (53 tahun) di sela-sela Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012 di pesantren Kempek Cirebon paruh September lalu.  

Bapak bisa cerita sejarah NU di Kaltim?

Kita, generasi belakangan tidak terwarisi satu dokumen yang pasti, kapan NU, secara organisasi, berdiri di Kalimantan Timur. Cuma ada data yang saya temukan di Brau itu, salah satu kabupaten, NU sudah ada sejak tahun 1933. Apakah Brau itu lebih duluan dari Samarinda, wallahu ‘alam. Yang di Brau itu dibawa dari Banjarmasin oleh dzuriyah keempat Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ia membawa NU ke Brau, kemudian menjadi mufti kerajaan Gunung Tabur di Brau. Itu di utara.

Berapa jauh dari Samarinda?

Perjalanan pesawat terbang satu jam. Kalau darat mungkin 12 jam. Di Samarinda, yang pertama kali secara resmi adalah KH Abdullah Marisi. Beliau Rais pertama wilayah Kalimantan Timur. Kalau ini ada dokumennya. Tapi saya lupa, nanti bisa kita akurkan.  Apakah bersamaan dengan Samarinda? Wallahu ‘alam. Tapi yang kita lihat KH Abdullah Marisi itu. Tetapi tidak berarti semua kabupaten dan kota bisa berdiri secara periodik, walaupun amaliyahnya iya, NU, Aswaja. 

Tapi struktur secara periodik, tidak berarti itu berjalan dengan baik. Keculi pada10 tahun terakhir atau 15 tahun terakhir, cabang-cabang sudah terbentuk semua secara periodik. Artinya, sudah sesuai dengan ketentuan. 15 tahun terakhir. Itu artinya setalah Reformasi.

Penyebabnya apa?

Karena kepengurusan sudah bisa dipilah antara kepengurusan NU dan kepengurusan partai. Dulu kan selalu sejalan antara kepengurusan NU dan partai politik. Maka praktis, 15 tahun yang lalu, struktur kita sudah terbenahi dengan bagus sampai pada tingkat cabang. Sampai pada tingkat kecamatan mungkin 10 tahun terakhir. Sekarang kita sudah masuk ke ranting-ranting. Oke, itu strukturnya.

Bagaimana dengan programnya?

Program NU Kalimantan Timur, tampaknya kita lebih banyak pada konsolidasi supaya terbentuk secara periodik, tidak berarti langsung mulus, karena kelemahan kita adalah pada tingkat SDM. Ada juga problem trauma politik. Selama Orde Baru kan tidak ada pegawai yang berani menamapakkan NU-nya, dan tidak ada pengusaha, aghniya, yang berani terang-terangan mengaku NU karena itu kan berarti mengalami satu kesulitan. 

Ini yang menjadi kendala kita dalam pembentukan kepengurusan NU. Orang yang status sosialnya tinggi akan merasa kesulitan kalau jadi pengurus NU. Ini baru bisa menjadi longgar setelah kembali ke khittah. Baru terasa bahwa sudah ada yang berani mengaku saya NU. Kalau sebelumnya, diam-diam.

Pengaruh Khittah NU?

Iya, pengaruhnya dari situ. Lima tahun setelah khittah, sudah berani pegawai mengatakan “saya NU”. Jadi, memang sangat kuat Pak Harto itu mengeliminir potensi NU. 

Program PWNU yang lain?

Pendidikan kita memang banyak berdiri, tapi tidak memakai nama NU. Saya kira sama dimana-mana, di sini berdiri pondok, di sana berdiri pondok. Itu tokoh-tokoh perorangan, rata-rata kiainya NU. Salah satu contoh misalnya, sekolah yang sangat bagus sekarang di Samarinda adalah Bunga Bangsa. Itu sudah go internasional. Ini miliknya mantan Ketua PWNU. Bukan punyanya NU. Nah, periode yang terakhir, 2008 sampai nanti berakhir tahun 2013 meminta semua cabang memfungsikan lembaga Ma’arif. 

Dan sekarang, dalam periode inilah baru berdiri lembaga-lembaga pendidikan Ma’arif di Kalimantan Timur, walaupun tidak semua kabupaten mampu. Tapi ada, misalnya di kabupaten Nunukan, di wilayah perbatasan sudah berdiri Aliyah. Sudah langsung Ma’arif NU. Di Brau itu ada 3 SMK Ma’arif NU. Dan masyarakat menyambut lulusannya karena dia pariwisata, pertanian. Begitu. 

Di Balikpapan juga sudah berdiri SMK Ma’arif NU. Cuma yang di Balikpapan ini masih numpang di pondoknya Rais Syuriyah. Di Kutai Timur sudah berdiri SMK Ma’arif. Jadi kita mengarahkan ke pendidikan-pendidikan SMK. Kenapa bukan Aliyah? Itu kurang pasarnya. Tapi kesulitannya SMK adalah SDM tenaga pendidik.

Di Samarinda justru mulai dari bawah. Mulai dari RA, TK-nya Muslimat, tapi namanya juga bukan Muslimat. Mereka memakai An-Nisa, itu banyak. Sama dengan di Brau. Itu ada 20 TK. Itu semua punya Muslimat. Kenapa tidak memakai nama Muslimat? Itu karena dari dulu didirikan seperti itu. Juga merupakan satu strategi supaya tidak terlalu kentara NU-nya.

Ya itu tadi karena kondisinya NU pada zaman Orde Baru. Jadi sebelum periode ini, (Reformasi), tidak ada yang memakai nama Ma’arif. Nah, sekarang, di Samarinda sudah ada 13 lembaga Ma’arif. Hanya baru sampai pada tingkat MTs. Dari TK, MI, MTs itu sudah berjumlah 13. Itu pendidikan.

Kemudian pada periode ini kita sudah mampu mendirikan fisiknya, operasional belum; adalah rumah sakit bersalin Muslimat. Belum diresmikan karena bangunannya dirancang tiga lantai, baru selesai dua lantai dan izinnya memang belum keluar. Itu di bidang kesehatan sudah ada itu, rumah sakit bersalin Muslimat NU di Samarinda.

Lalu kemampuan cabang-cabang dalam menampakkan eksistensinya ditandai dengan berdirinya bangunan-bangunan sekretariat yang cukup bagus. Dengan nilai bangunan yang cukup tinggi karena kita sudah bisa membuat akses NU kepada para kepala daerah. Di Kutai Kartanegara, kabupaten yang sangat kaya itu sudah berdiri gedung sekretariat berlantai 3 dan nilainya besar, sekitar 4 milyar. Dari bupati. Jadi kita sudah punya akses seperti itu. Di Bontang juga sudah berdiri yang bagus berlantai tiga. Kemudian Balikpapan sedang membangun, mungkin baru mencapai 80%.

Tapi kenapa lambat? 

Karena mereka membangun terlalu besar. Mereka membuat empat lantai. Di Pasir dua lantai. Di Samarinda akan dibangunkan oleh walikota dengan nilai yang besar dengan syarat menyediakan tanah. Kendalanya di Samarinda tanah. Kenapa? Bangunan-bangunan ini kan wakaf, Kutai itu wakaf, Pasir, wakaf, Balikpapan wakaf. Di Samarinda tidak ada wakaf karena harga mahal.

Nah, itu perkembangannya. Jadi, saya merasa, insya Allah lima tahun lagi, periode ke depan, akan makin banyak kelihatan semakin baik. Jadi, kalau sekarang membenahi struktur, membenahi sarana, kemudian pendidikan. Mungkin lima tahun ke depan sudah lebih mengarah kepada operasional. Maka akan lebih semarak kegiatannya. Januari nanti kita akan konferensi wilayah. Mudah-mudahan kepengurusan yang akan datang,lebih bagus dari yang sekarang. Itu yang kita harapkan.

Apa Kendala-kendala dalam melaksanakan program?

Ada kendala yang sangat dominan yang saya rasa sekarng ini adalah kita tidak lagi memiliki satu semangat yang tingkat ikhlasnya tinggi. Kita sudah terbawa arus "kota" termasuk di kalangan pengurus. Itu kendala yang sangat kita rasakan karena tarik-menarik kepentingan dengan para politisi. Dan semua mengaku NU. Dan kita terbiasa kalau ada kegiatan. Itu yang menjadi masalah.

Upaya untuk menanggulangi itu apa?

Saya kira melalui kaderisasi, pendidikan-pendidikan. Itu yang mungkin harus dilaksanakan periode yang akan datang. Kaderisasi untuk memahamkan bahwa berjuang di NU itu harus lebih ikhlas. Saya sangat merasakan itu. Sulit. Kita dulu biasa bekerja, bergerak, tetap dengan ikhlas. Sekarang kita bekerja dengan memikirkan biayanya mana? Uang jalannya mana? Itu kendala yang paling berat.

Yang kedua, perjuangan kita menjaga netralitas dari berbagai kepentingan ingin menarik NU ke dalam politik. Semua ingin mengatakan NU. Sekarang netralitas itu harus kita jaga. Jangan sampai kepengurusan nanti terpecah karena misalnya ada dua kubu dalam tubuh organisasi yang mendukung dua calon. Ini harus kita jaga betul dengan satu konsekuensi. Konsekuensinya adalah, karena semua orang yang ingin mendekati kita itu adalah ingin memanfaatkan kita. Dan kalau dia berhasil, kita diperhatikan. Kalau dia tidak berhasil, kita tidak diperhatikan. Nah, sekarang kalau kita netral, tidak ada yang menyambut seperti itu. Maka harus ada kemandirian, termasuk dalam pembiayaan.

Ada upaya ke arah itu?

Ada. Seperti yang kami lakukan adalah membentuk badan wakaf uang Nahdlatul Ulama. Sudah berjalan baru setahun lebih.

Bagaimana konsepnya?

Kita minta sumbangan, masuk kepada wakaf dan nanti akan diusahakan. Sekarang nilai wakaf itu sudah ada seratus juta. Baru satu tahun. Nanti hasilnya yang boleh dipakai karena wakaf. Sekarang 50 juta sedang proses membeli tanah untuk plasma kelapa sawit. Tapi baru proses. Sertifikat tanahnya pun belum keluar. Itu sedang kita proses. Nanti kalau dapat, akan ada 10 hektare. Baru tanahnya.

Itu satu. Yang kedua, untuk membiayai lembaga-lembaga pendidikan kita juga setiap tahun mengefektifkan Lazisnu. Itu sebenarnya potensi yang sangat besar. Tapi kita terlambat untuk memulainya. Dan setiap bulan itu sudah masuk, walaupun masih kecil. Tapi yang kita perlukan itu bukan besarnya, tapi rutinitasnya. Laporan terakhir, sampai tiga jutaan per bulan. Per bulan tiga juta itu kecil, tapi ini kan baru memulai. Saya ingin membangun Lazisnu Kalimanatan Timur.

Di Kalimantan Timur, BMH itu punyanya Hidayatullah, itu kan nasional, itu yang terkuat. Mereka sudah membangun sebelas tahun yang lalu. Tidak langsung kuat seperti sekarang. Mungkin baru tahun kelima, keenam, baru kelihatan. Nah, NU baru memulai satu tahun. Saya bilang sama teman-teman. Tiga juta satu bulan, itu awal yang bagus asal nanti bisa naik bisa menjadi empat juta satu bulan, lima juta sebulan. Mungkin pada tahun ketiga akan kelihatan.

Pandangan komunitas-komuntas lain terhadap NU di Kaltim?

Begini, saya pernah didatangi ketua PGI. Dia bilang, “Pak Rasyid, kami dapat pesan dari pusat kami supaya bisa menjalin kerjasama dengan Nahdlatul Ulama”. Itu PGI, Persatuan Gereja-Gereja Indonesia. Saya tanya, “Kenapa ada pesan yang seperti itu?”

Dia menjawab, “Karena pandangan pimpinan kami di Jakarta, yang memiliki wawasan yang memungkinkan bekerjasama hanya NU, yang lain masih sulit kita nilai.”Itu pandangan mereka terhadap NU.

Selama ini, bagaimana kerjasama NU dengan kalangan itu? 

Kerjasamanya sering mengadakan rapat bersama untuk saling menjaga kerukunan bersama. Atau misalnya dalam pendirian rumah ibadah, kami umat Islam dan umat Kristen sepakat sama-sama tunduk dengan keputusan bersama pemerintah dalam pendirian rumah ibadah. 

Kalau sesama ormas Islam, misalnya dengan Muhamadiyah?

Dalam peringatan Hari Besar Islam kita selalu bekerjasama. Yang terlibat misalnya Aisyiyah dan Fatayat atau Muslimat bersama Imam masjid. [] 






Terkait