Wawancara

Pertahankan Khittah NU 1926 dan Aswaja di Muslimat NU

Jumat, 24 Maret 2006 | 11:38 WIB

Jelang Kongres Muslimat NU ke-25 yang akan digelar di Batam, Kepri, 28 Maret hingga 1 April mendatang, bursa kandidat ketua umum semakin ramai dibicarakan. Siapa saja dan bagaimana visi-misi yang akan diusung? Berikut wawancara Moh. Arief Hidayat dari NU Online dengan Mahfudloh Aly Ubaid, salah satu kandidat ketua umum.

Terkait dengan pencalonan Anda menjadi Ketua Umum PP Muslimat NU, apa visi dan misi yang akan diusung?

<>

Visi-misi saya jelas; mempertahankan dan melestarikan Khittah NU 1926 dari Muslimat NU. Khittah NU 1926 adalah pegangan utama bagi Muslimat. Di samping itu juga saya ingin mempertahankan nilai-nilai, bahwa Muslimat adalah wadahnya untuk ibadah dan juga pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara, tentunya dengan keikhlasan. Jadi, nilai keikhlasan dan nilai ibadah itu yang harus dipertahankan di tubuh Muslimat NU.

Muslimat juga tidak boleh dibawa-bawa oleh partai politik tertentu, tidak boleh dicampuri oleh kepentingan politik. Secara perorangan silakan. Muslimat harus menjadi wadah kader. Ketika ada kader Muslimat duduk di legislatif atau eksekutif dan sebagainya, tidak masalah, itu peluang. Tapi Muslimat-nya sendiri, tetap harus mengikuti Khittah.

Soal konsep blue print Muslimat NU hingga tahun 2025 yang di-launching beberapa waktu lalu, bagaimana pendapat Anda?

Menurut saya itu bagus sekali. Karena dengan begitu Muslimat punya pegangan. Katakan kalau memang Muslimat periode 2004-2009 stressing-nya pada kesehatan, setelah itu berlanjut pada tahapan-tahapan berikutnya, ekonomi dan sebagainya hingga tahun 2025, Muslimat akan menjadi organisasi yang mandiri. Tapi, paling tidak Muslimat punya pegangan untuk berjalan.

Beredar isu bahwa Kongres Muslimat kali ini nuansa politiknya begitu kental, ada tarik-menarik kepentingan politik tertentu. Bagaimana Anda menanggapi?

Yang jelas, secara pribadi saya tidak menginginkan Muslimat ditarik-tarik oleh partai politik mana pun. Muslimat adalah Muslimat. Muslimat adalah wadah pengabdian. Muslimat adalah wadah untuk peningkatan ibadah, peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam hal keagamaan, di samping juga sosial, ekonomi dan sebagainya. Dan menurut saya justru kekuatan Muslimat ada di situ.

Oleh karena itu, di Muslimat, nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) harus diterapkan. Kalau nilai Aswaja itu sudah luntur, maka habis. Sekarang saya amati, banyak warga Muslimat tapi anaknya tidak tahu ke mana, tidak mengikuti jejak orang tuanya. Jadi sekarang, tanggungjawab ibu-ibu Muslimat adalah pertama dalam keluarga. Mewarnai dan menanamkan Aswaja dalam keluarga. Membentuk Islam, juga Islam yang Aswaja. Itu tugas utama ibu-ibu Muslimat. Setelah itu selesai, baru berkembang ke wilayah yang lebih luas lagi.

Kembali ke soal pencalonan Anda. Apa yang mendasari Anda untuk maju menjadi Ketua Umum PP Muslimat?

Saya maju berangkat dari hati nurani. Tidak ada yang mendorong. Tidak ada partai politik tertentu yang mendorong saya. Hanya Allah yang menggerakkan saya. Saya maju berangkat dari hari nurani karena keprihatinan terhadap Muslimat, agar Muslimat tidak dibawa ke sana ke mari. Walaupun saya anggota PPP (baca; Partai Persatuan Pembangunan, red), tapi bagi saya yang paling utama adalah Muslimat. Soal partai, itu urusan lain.

Tidak ada kepentingan politik tertentu?

Tidak ada sama sekali.

Meski masih beberapa hari Kongres dimulai, tapi sudah berembus isu di luar soal adanya money politic. Pendapat Anda?

Saya tidak mau komentar banyak. Kalau pun memang ada, saya turut prihatin. Hal itu menunjukkan lunturnya akidah Islam.

Dalam pemilihan nanti, soal kalah dan menang bagaimana?

Saya akan tetap fight di Muslimat. Siapa pun nanti yang terpilih jadi ketua umum, saya siap membantu. Bagi saya, tidak jadi ketua umum, tidak masalah. Saya tetap akan berjuang mempertahankan Khittah NU 1926 dan Aswaja di Muslimat.


Terkait