Wawancara

Pmtoh Aceh untuk Gus Dur

Selasa, 16 Oktober 2012 | 13:07 WIB

Satu tangan tergenggam kartun SBY, tangan lainnya kartun Gus Dur. Agus Nuramal Pmtoh, si pemilik tangan itu, sedang membandingkan situasi kepemimpinan dua presiden yang dikartunkan tersebut. Terutama soal utang dan keberanian.<>

Agus, pegiat seni tutur Aceh, Pmtoh, tampil saat peringatan seribu hari wafat Gus Dur bertajuk Ziarah Budaya, di Taman Ismail Marzuki (TIM), akhir September lalu.  

Untuk mengetahui bagaimana Gus Dur di mata seniman kelahiran Sabang, 17 Agustus 1969, dan bagaimana ia memilih jalan pmtoh, Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarainya, beberapa saat selepas  tampil.  

Bang Agus, yang tadi itu pertunjukan apa namanya? 

Pmtoh.

Pmtoh itu apa, bisa dijelaskan? 

Pmtoh ini nama salah satu tradisi bercerita yang ada di Aceh. Jadi banyak tradisi bercerita di Aceh. Salah satunya Pmtoh.

Kalau secara bahasa, apa artinya? 

Pmtoh itu sebetulnya perjalanan. Jadi, semacam tukang cerita berkeliling dari kampung ke kampung. Dari satu kampung ke kampung lainnya.

Biasanya menceritakan apa? 

Biasanya bercerita soal sejarah, sejarah Aceh, sejarah kerajaan, sejarah Nabi, sejarah kampung.

Bisa disebutkan contohnya?

Sejarah Nabi, misalnya ada Hikayat Nabi Bercukur. Ada hikayat raja-raja Pasai, dan hikayat-hikayat rakyat Aceh-lah. 

Biasanya kisahnya itu serius atau humor?

Serius. Menceritakan sejarah kerajaan. Misalnya cerita Sidang Deria, bagaimana sebuah daerah dibentuk oleh satu orang yang nama tokohnya Sidang Deria. Ceritanya serius, tapi ada bagian-bagian tertentu yang ada humornya.

Kesenian Pmtoh itu muncul sejak kapan?

Sejak zaman dahulu. Saya tidak tahu kalau dibilang abad, abad ke berapa. Tapi ini satu cerita lama, begitu ya. Satu tradisi, satu cara bercerita yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. 

Kondisinya Pmtoh sekarang bagaimana? 

Sebetulnya di Banda Aceh sudah ada generasi Pmtoh-pmtoh ini. Tidak banyak; ada dua, tiga, atau lima orang. Tradisi Pmtoh ini yang modernnya diperkenalkan oleh Tengku Haji Adnan. Dia dengan gayannya bercerita, dijuluki Pmtoh. Jadi gaya ceritanya Pmtoh, begitu. Nah saat in ada generasinya di Banda Aceh. 

Sudah berapa lama jadi seniman Pmtoh?

Aku begini ini, sudah 25 tahun.

Kenapa memilih Pmtoh? 

Aku kuliah di jurusan teater di IKJ. Lulus, jadi alumni kan. Tapi kemudian aku pikir ada satu seni monolog atau solo performance yang belum banyak berkembang di tanah air pada waktu 25 tahun yang lalu. Nah, aku coba memberikan satu yang baru buat seni pertunjukan di Jakarta pada waktu itu, yaitu tradisi Pmtoh ini yang dibawakan dengan cara modern.

Kenapa jatuh hati kepada Pmtoh? 

Aku memulai Pmtoh sejak 25 tahun itu. Jadi sudah cukup lama. Tapi waktu kuliah sudah terpikir. Tapi baru dilaksanakan selesai kuliah. 

Penampilan di Peringatan Seribu Hari Wafat Gus Dur yang tadi itu apa judulnya? 

Kalau Gus Dur Ada Sekarang ini.

Berapa lama menggarap cerita itu? 

Sebenarnya, aku baru siap-siap jam-jam habis duhur di rumah. Jam duaan barulah aku cari-cari di internet mau membawa cerita apa tentang Gus Dur. Kemudian aku karang-kakrang-lah sedikit. Terus berangkatllah kemari.

Memangnya dikasih tahu sejak kapan oleh panitia? 

Dikasih tahu kira-kira tiga hari kemarin. 

Kenal Gus Dur, bagaimana ceritanya?

Kenal Gus Dur zaman-zamannya membaca Tempo tahun 80-an. Masih aku di kampung, membaca catatan-catatan Gus Dur di majalah Tempo. Kemudian ketika di Jakarta, ada Taman Ismail Marzuki; tahun 88, 89, kan banyak para reformis-reformis yang berkumpul di Taman Ismail Marzuki, ya orang-orang seperti mendiang Gus Dur, Amin Rais, Dawam Rahardjo dulu, kan. Kemudian tahun-tahun 90-an ada petisi 50. Pada umumnya kan intelektual-intelektual ini berkumpul di Taman Ismail Marzuki. Dan saya sebagai seniman, sering mendengarkan dialog dia orang. Di situ kenalnya. 

Pandangan pribadi terhadap Gus Dur bagaimana? 

Aku pernah bertanya sama Gus Dur, waktu zaman krisis ekonomi 1997, kalau aku nggak salah ya. Waktu itu aku baru  pulang dari salah satu kampung di daerah Jawa Barat. Aku menemukan ada seorang anak yang, maaf cakap, busung lapar begitu. Tinggalnya di sebuah kandang ayam, atau kandang kambing, kalau aku bilang. Sementara tetangga rumahnya naik haji, dipestakan; pesta satu kampung, pakai rebana. Aku datang ke sana, kemudian balik kembali ke Jakarta, ketemu dengan Gus Dur yang sedang dialog di Taman Ismail Marzuki, di warung makan. Kemudian aku tanya, ‘Gus, apakah orang-orang yang naik haji zaman krismon ini masuk surga atau nggak’, aku tanya begitu. Lalu jawaban Gus Dur. ‘Bagaimana mereka mau masuk sorga, orang tetangga mereka kelaparan, kok mereka naik haji, selesaikan dulu yang kelaparan. Barulah naik haji,’ itu kata Gus Dur. Itu teringat olehku.

Dari situ kesimpulan tentang Gus Dur? 

Gus Dur ini orang yang mencerdaskan indra-indra kita; indra pendengaran karena dia pandai berkata-kata, kata-kata yang cerdas, kata-kata yang membikin kayak apa namanya, perbendaharaan makna diisi kepala kita. Dia juga orang yang membuka mata dan hati seluruh bangsa ini tentang apa itu kejujuran, apa sih politik itu. Politik itu nggak ada sesuatu yang apa, begitu; sesuatu yang sederhana saja. Suatu yang bisa dipahami dan bisa diselesaikan. Itu menurut aku tentang Gus Dur. Dan dia membuka pancaindra bangsa ini.

Terkait sebagai seniman Pmtoh, apakah Pmtoh sebagai mata pencaharian atau sambilan? 

Sampai sekarang aku menjadikan Pmtoh sebagai matapencaharian. Utama malahan. Itu yang masih bisa dilakukan.

Sebagai mata pencaharian, mencukupi tidak?

Kalau dibilang cukup atau tidak. Dalam ukuran ekonomi sekarang, ya nggak cukup, begitu ya. 

Sebulan sering tampil berapa kali? 

Sebenarnya ini adalah tahun-tahun aku yang agak mundur panggilan seihingga bisa dikatakan tiap bulan tidak ada panggilan. Tapi kalau dalam dua tahun kemarin, bisa sampai sebulan tiga kali. 

Tampil sebulan tiga kali cukup ya? 

Alhamdulillah cukup kalau panggilan 3 atau 5 kali.

Sekarang, sudah jarang panggilan, untuk menutupi kebutuhan itu bagaimana? 

Kebetulan kemampuan saya cuma bermain ini. Jadi bagaimana bersiasat saja dengan keadaan.

Panggilan-panggilan itu di wilayah Jakarta atau Aceh? 

Saya main di wilayah Nusantara.

Berarti nggak hanya di Aceh?

Nggak. Karena sudah 25 tahun berprofesi sebagai pencerita monolog ini. Jadi, saya sudah keliling Nusantara, berbagai negara dunia juga sudah saya kunjungi.

Yang paling menyenangkan membawakan tema apa? 

Tergantung kepada panggilan. Tergantung kepada orang yang membuat acara, temanya apa. Tema lingkungan hidup misalnya. Seperti hari ini misalnya tema Gus Dur. Juga ada undangan ulang tahun perusahaan. Banyak perusahaan yang pernah saya main, di hajatan, perkawinan, panti asuhan, macam-macam-lah.

Sekali panggilan dibayar berapa?

Saya tidak menentukan harga. Bisa dua juta. Jika orang berkelebihan, bisa sampai 4 juta. Tapi kadang-kadang ada yang 1 juta juga. Tergantung kondisi ekonomi yang memanggil. 

Terkait pemerintah. Selama ini, menurut Bang Agus, perhatian pemerintah terhadap kesenian-kesenian daerah seperti Pmtoh bagaimana? 

Pemerintah kita dari dulu nggak ada perhatiannya sama sekali terhadap kebudayaan, begitu, ya. Kalaupun ada, sifatnya sangat karikatif ya. Kalau ada pesanan dari luar negeri, baru diperhatikan. Setelah itu ditinggal. Ada heritage, kebudayaan, wayang sebagai warisan peninggalan dunia. Baru sibuk wayang. Tari Saman peninggalan dunia, baru sibuk Saman. Habis itu setelah dilantik, tak ada program apa-apa.

Seharusnya bagaimana pemerintah itu? 

Soal pemerintah saya ngomong satu hal yang penting menurut saya. Orang pemerintah itu kan orang birokrasi. Sudahlah, kalian tak usah buat program-lah. Berpuluh tahun selama Orde Baru, mereka membuat program, nggak ada hasil-hasilnya. Mendingan kalian mempersiapkan diri untuk masuknya program dari masyarakat; dari para seniman, dari para budayawan. Itulah menurut saya yang mereka harus lakukan. 




Redaktur: A. Khoirul Anam


Terkait