Balitbang Kemenag

Banyak WNI Nikah Sirri di Arab Saudi

Ahad, 19 November 2017 | 12:00 WIB

Jakarta, NU Online
Peneliti pada Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, Kustini mengungkapkan banyaknya perkawinan yang dilakukan Warga Negara Indonesia (WNI) di Jeddah, Arab Saudi yang tidak dicatatkan. Data di lapangan, di Jeddah dapat dengan mudah ditemukan kasus perkawinan WNI yang tidak dicatat.

Demikian antara lain disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian Pencatatan Perkawinan WNI di Luar Negeri, awal November di Jakarta.

Menurut Kustini, di antara hambatan tidak terlaksananya pencatatan nikah karena persyaratan administrasi yang tidak terpenuhi, khususnya terkait surat identitas status perkawinan.

“Banyak di antara WNI yang mengaku berstatus janda atau duda tetapi tidak memiliki surat (cerai) secara resmi,” katanya. 

Hal ini, kata Kustini, menjadi salah satu kendala karena tidak terpenuhinya persyaratan administrasi dan dalam kondisi seperti itu, maka menikah tidak tercatat atau nikah sirri menjadi pilihan yang sangat rasional.

Meski tidak ada data pasti tetapi menurutnya, bisa diperkirakan bahwa pernikahan tidak tercatat jauh lebih banyak dibanding pernikahan yang dicatat.

Ia pun sempat menyebut beberapa contoh nama WNI yang melakukan perkawinan sirri di Jeddah, seperti Mirna dan Nunu yang sama-sama berasal dari Nusa Tenggara Barat. 

Dari beberapa kasus tersebut, Kustini menuturkan, dirinya mendapatkan informasi dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah tentang banyak kasus WNI (perempaun) membawa pulang anak tapi bukan anak sendiri. Sebagian titipan dari teman-temannya yang tidak memiliki surat nikah sekaligus akte kelahiran anak.

“Jika tidak jelas asal-usul anak, dikhawatirkan nasab anak tidak jelas dan bisa jadi suatu saat di kampong nikah dengan saudaranya sendiri,” kata Kustini menirukan pejabat KJRI Jeddah.

Pentingnya seorang anak memiliki surat keterangan membuat KJRI Jeddah membuat kebijakan dengan menerbitkan Surat Keterangan Anak (SKA).

“Surat keterangan tersebut meskipun tidak memiliki kekuatan yang sama dengan Akta Kelahiran, setidaknya menjadi dokumen pendukung tentang kedudukan seorang anak,” katanya masih menirukan pejabat KJRI Jeddah.

Selain Kustini, pada penelitian yang dilakukan dari 24 April hingga 3 Mei 2017 ini juga melibatkan rekan peneliti lain, yaitu Haris Burhani. (Husni Sahal/Kendi Setiawan)

Baca Kajian Keagamaan lainnya DI SINI