Jakarta, NU Online
Artikel Jejak-jejak Perjuangan KH Bisri Syansuri Jombang yang dimuat dalam buku Khazanah Islam Jawa terbitan Balai Litbang Semarang, juga menampilkan bagian saat pendudukan Jepang. Subhan Ridlo, penulis artikel tersebut menceritakan interaksi Kiai Bisri Syansuri dengan tentara dan penguasa Jepang.
Penelitian Subhan mengungkapkan, masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, membuat KH Bisri Syansuri lebih berprihatin. Kemerdekaan bangsa telah tercapai, tetapi masalahnya adalah bagaimana mempertahankannya. Kiai Bisri Syansuri mengambil jalan baru yaitu turut aktif dalam pertahanan negara, dengan menjadi Wakil Ketua Markas Ulama Jawa Timur (MODT) tahun 1947-1955. (Arsip Sejarah Hidup Lengkap KH Bisri Syansuri).
Markas ini semula berkedudukan di Wiru dekat Suarabaya, namun karena terus menerus terdesak sampai ke garis belakang, akhirnya dibubarkan dan saat pembubarannya terjadi dikala TNI telah berdiri sebagai satu-satunya angakatan bersenjata yang bertanggung jawab atas pertahanan Negara. Antara 1947-1949, ia menjadi ketua markas Pertempuran Hisbullah Sabilillah (M P H S) (Arsip Sejarah Hidup Lengkap KH Bisri Syansuri).
Usia yang sudah menginjak 50 tahun di saat itu, tidak mengurangi mobilitas dan kegesitan gerak fisiknya sama sekali. Jenderal Purnawirawan AH Nasution memberikan informasi bahwa Kiai Bisri Syansuri masih tetap melakukan konsultasi dengan para komandan militer di daerah pertempuran di Surabaya-Jombang, seperti Overste Kretarto dan sebagainya, bahkan setelah clash pertama sekalipun.
Apa yang memotivasi Kiai Bisri untuk terjun ke dalam perjuangan militer secara langsung, yaitu turunnya fatwa guru tercinta Kiai Hasyim Asy’ari tentang hukum jihad akbar dan perjuangan di jalan Allah bagi perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Jelaslah, bagimana keputusan di bidang fiqih, ternyata dapat memotivasi tindakan-tindakan besar meskipun dengan pengorbanan yang cukup besar. Dalam hal ini, Kiai Bisri, mengabdikan diri pada organisasi NU dan tugas mendidik santrinya secara langsung.
Pengorbanan itu datang dari orang yang begitu taat kepada kewajibannya, yang masih memberikan pelajaran membaca Al- Qur’an di tingkat paling dasar dari pendidikan agama di pesantrennya. Periode kemerdekaan juga memberikan tahap baru dalam kehidupan Kiai Bisri, yaitu keterlibatan dia sebagai Kepala Staf Komando untuk menjadi penghubung antara gerakan massa yang dikerahkan oleh Bung Tomo dengan para kiai seluruh Jawa Timur menjelang peristiwa 10 November di Surabaya.
Pada bulan Oktober 1945 ia memberi fatwa untuk berjihad melawan Belanda. Pada tahun 1946 dia terlibat dalam lembaga pemerintahan dimulai dengan menjadi anggota dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili unsur Masumi, tempat NU tergabung secara politis. Perang gerilya yang sempat membubarkan pesantrennya untuk sementara waktu, membuat keterlibatan dia dalam lembaga pemerintahan terhenti.
Tetapi keterlibatan itu dilanjutkan dalam keanggotaan Dewan Konstituante (1955-1959) sesudah Majelis Konstituante hasil pemilihan umum pertama dibubarkan, tidak lama kemudian menyusul DPR juga dibubarkan. Krisis politik di tanah air ini kemudian memunculkan DPR Gotong Royong. Hal ini menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat, dan di kalangan NU sendiri. Sebagian pendapat menolak DRPGR, dan berjuang di luar gelanggang.
Di antara yang menolak pengangkatan sebagai anggota DPRGR adalah Kiai Bisri Syansuri, sebab ia menganggap pembentukan badan tersebut sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan rakyat dan penyimpang terhadap undang-undang yang berlaku. Segolongan lagi menerima pengangkatan sebagai anggota DPRGR dengan prinsip, wajib beramar ma’ruf nahi munkar di mana saja. Apabila berjuang diluar gelanggang, tidak mungkin dapat melakukan kontrol kepada pemerintah dan tak bisa menjalankan amar ma’ruf nahi munkar secara legal parlementer, dan bahkan mungkin akan digilas zaman. Termasuk golongan yang menerima ialah Kiai Wahab Hasbullah.
Pola pengambilan keputusan model lama yakni Kiai Abdul Wahab menggunkan pendekatan multi sektoral, dan kiai Bisri menggunakan pendekatan yang semata-mata berada dalam lingkup fiqih, terus saja berlanjut di masa itu. Hal itu terlihat dari perbedaan sengit di antara mereka dalam masalah sikap terhadap pembubaran DPR dan pembentukan DPR Gotong Royong (DPRGR) oleh Soekarno. Kiai Wahab melihat hal itu sebagai masalah vakum kekuasaan yang berakibat munculnya anarkhi dalam pemerintahan, dengan demikian dituntut dari NU untuk mengisi lembaga di atas.
Terlepas dari benar atau tidaknya cara pengangkatan itu sendiri, Kiai Bisri berpendapat sebaliknya, karena baginya masalah cara pengangkatan anggota lembaga pemerintahan sebagai pengganti lembaga yeng telah dipilih oleh rakyat sebagai perbuatan menentang ketentuan hukum fiqih tentang pemeliharaan hak rakyat. Bertentangan, tetapi saling mematangkan pendirian masing-masing.
Itu semua tidak mempengaruhi kesetiaan Kiai Bisri terhadap NU, bahkan bermacam-macam kesetiaan dilakukannya dalam rangka pengabdiannya pada NU. Fakta inilah yang membuat Kiai Bisri sama keras sikapnya dengan Kiai Abdul Wahab yang menghendaki keluarnya NU dari keanggotaan partai Masyumi dalam tahun 1952-1953. Itulah sifat Kiai Bisri. Sekali ia mengambil keputusan berdasarkan ketentuan hukum fiqih, maka ia tidak akan mengubah pendirian, sebesar apapun korban manusia yang harus diberikan oleh mereka yang terkena akibat keputusan itu, sehingga sering muncul kesan seolaholah Kiai Bisri tidak memperhatikan faktor manusia dalam mengambil keputusan. Apa pun kekurangan yang ada pada dirinya haruslah dimengerti dari ketundukannya yang begitu mutlak kepada hukum fiqih.
Sebuah pengambilan keputusan hukum fiqih adalah segala-galanya bagi Kiai Bisri. Ia meyakini hal itu merupakan jalur tunggal bagi pengaturan kehidupan manusia secara total. Keteguhan yang begitu besar dalam ketundukannya kepada hukum fiqih ini memang sesuatu yang menarik untuk dikaji. Ketundukan seperti itu akan membuahkan sebuah kepribadian yang utuh dan bulat, serta memiliki dimensi kedalaman pandangan tentang kehidupan.
Selain itu, hal tersebut dapat memberikan arah yang utuh berakibat posistif pada jalan kehidupan manusia, kalau diterapkan secara tekun dan tuntas. Disini KH Bisri Syansuri memperlakukan penerapan hukum fiqih dalam kehidupan sebagai sesuatu yang harus dilakukan secara utuh, tekun dan tuntas. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan di sini yaitu kasus skorsing yang dijatuhkan atas diri almarhum Subhan dari jabatan ketua I pengurus besar NU.
Sejumlah ulama datang ke tempat Kiai Bisri Syansuri, menanyakan sebab-sebabnya. Pertanyaan para kiai dijawab oleh KH Bisri Syansuri, “Apakah Anda dapat menyelesaikan masalah itu kalau saya sebutkan?”Jawaban mereka adalah, Tidak. Bukankah tanpa ada jaminan Anda akan menyelsaikan, saya hanya akan mempergunjingkan orang saja, kalau saya ceritakan kepada Anda, itu jelas bertentangan dengan hukum fiqih?"
Begitu tuntas dan teguh Kiai Bisri pada hukum fiqih, sehingga sikapnya terhadap orang lain termasuk pada cucunya sendiri, sepenuhnya dilandaskan pada ketentuan-ketentuan fiqih. Dengan demikian, kelugasan adalah watak pergaulannya dengan manusia lain, siapa pun orangnya, walaupun kelugasan yang dimilikinya itu kadangkadang berbenturan dengan norma-norma dan etos kemasyarakatan.
Dari apa yang dikemukakan di atas kiranya tidak salah kalau disimpulkan, Kiai Bisri dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai pecinta, penganut, dan pelaksana hukum fiqih. Hal itu juga tercermin dari cara Kiai Bisri memimpin Majelis hukum agama yang dilakukan empat puluh hari sekali di masjid Kauman Lor di kota Jombang dan kehadirannya secara regular dalam pengajian Selasa siang di masjid sendiri di lingkungan Pesantren Denanyar.
Selain itu, juga tampak pada kesediaannya dalam proses pengambilan keputusan-keputusan yang menentukan jalannya kehidupan bangsa. Ketokohannya tercermin dalam perlakuannya yang adil kepada siapapun dalam berbagai urusan atau kemampuannya dalam melayani orang lain dengan perlakuan yang baik sesuai kedudukan sosial masing-masing, tanpa mengorbankan harga dirinya sebagai seorang ulama besar. Ketokohannya juga nampak pada kehadirannya di kala umat sedang mengahdapi cobaan-cobaan berat, tanpa menghiraukan sedikit pun resiko yang mungkin terjadi atas dirinya. (Kendi Setiawan)