Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) menggagas kegiatan pra seminar hasil penelitian. Seminar mengupas paparan hasil penelitian implementasi PMA Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama dihadiri stakeholder dari Bimas-Bimas, UIN, dan Kanwil DKI Jakarta yang turut berkontribusi menyempurnakan temuan-temuan penelitian. Acara diselenggarakan di Hotel Ibis Tamrin Jakarta, Rabu 31 Oktober 2018.
Kepala Biro Organisasi dan Tata Laksana Sekretariat Jenderal Kementerian Agama H Afrizal sebagai salah satu narasumber seminar mengatakan evaluasi terhadap sebuah peraturan perundang-undangan memang satu keharusan dalam rangka menyempurnakan berbagai aspek yang masih banyak kelemahan, apalagi terkait dengan nomenklatur dan pembidangan dalam organisasi seiring dengan tuntutan perubahan yang dinamis.
Kementerian Agama, kata Aftizal, sangat kompleks dan cakupannya cukup luas, memiliki satuan kerja terbanyak dan strukturnya sampai pada tingkat kecamatan. Kondisi ini menuntut Biro Ortala bekerja ekstra untuk melakukan pembenahan berbagai sisi. Persoalan sering muncul, belum selesai dilakukan perubahan namun muncul tuntutan perubahan lainnya yang segera harus ditindaklanjuti.
Merespons paparan hasil penelitian, Kapuslitbang LKKMO Muhammad Zain mengungkapkan bahwa organisasi di era disrupsi dihadapkan pada berbagai masalah. Hal ini harus direspons dan dievaluasi secara periodik. Mengutip teori Peter Drucker, Zain mengurai beberapa unsur yang menjadi pembuang waktu dalam birokrasi.
Pertama adalah terlalu banyak staf. Kondisi ini sering membuat pegawai kebingungan mengerjakan apa karena jumlah staf berlebihan. Ini berbeda dengan di Kanada dan Hongkong, di mana seorang manajer melakukan pekerjaan sendiri dan hanya beberapa orang staf mengelola berbagai informasi dari 60 negara. Hasilnya setiap hari dilaporkan dan terus bergulir tanpa henti.
Persoalan kedua, mengandalkan tim ahli. Kita sering bekerja melibatkan tim ahli, sehingga ketika berhasil yang dipuji adalah tim ahlinya bukan pegawai yang bersangkutan, namun bila menemukan persoalan tentu pegawai yang harus mempertanggungjawabkannya. Ketiga, terlalu banyak rapat. Kita sering sulit mengatur waktu untuk rapat yang secara fisik harus hadir, padahal tuntutan kerja sangat tinggi dan volumenya banyak.
"Rapat-rapat di era sekarang seharusnya dapat dilakukan secara virtual (virtual meeting) karena sesungguhnya esensi rapat adalah menuangkan ide-ide dan membuat kesepakatan. Jadi, idealnya rapat dapat dilakukan menggunakan media yang sudah canggih, namun rupanya masih terkendala karena secara aturan belum memiliki payung hokum," papar Zain.
Dengan penelitian ini seyogianya Kementerian Agama menjadi lebih baik (good to great). Riset-riset evaluasi seperti ini diperlukan guna membangun lembaga terus berkembang menjadi lebih baik. Menutup paparannya, Zain mengutip teori Tanri Abeng, bahwa dalam birokrasi jika kita tidak sanggup memikul beban di punggung, maka harus dilempar ke atas.
Artinya, bahwa kita harus melakukan beban tugas kita dengan sebaik-baiknya namun bila hal itu tidak mampu dilakukan maka mesti kita laporkan ke pimpinan untuk mendapatkan solusi. Teori ini menurut Zain dilakukan Tanri Abeng ketika menjadi Menteri BUMN yang pertama. (Kendi Setiawan)