Jakarta, NU Online
Peneliti pada Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kementerian Agama, Abdul Jamil Wahab, mengungkapkan baik WNI yang mencatatkan perkawinan di KBRI yaitu pasangan WNI sesama Muslim, maupun yang mencatatkan perkawinan di Gemeente (kotamadya), yaitu perkawinan campur, tidak mendapatkan kendala serius.
“Namun bagi perkawinan campur persyaratannya lebih banyak, serta harus mendatangi beberapa kantor kementerian,” kata Jamil pada Seminar Hasil Penelitian Pencatatan Perkawinan WNI di Luar Negeri, Jumat (3/11) di Hotel Aryaduta, Jakarta.
Persyaratan itu juga ditambah dengan keharusan menerjemahkan salinannya dalam bahasa Belanda yang juga harus disahkan Kemenkumham dan Kemenlu, sehingga prosesnya relatif tidak mudah dan memerlukan waktu.
Selain peryaratan administratif, bagi WNI yang melakukan perkawinan campuran, terlebih dahulu harus mengikuti kursus bahasa Belanda hingga dinyatakan lulus. Hal ini logis, karena WNI yang melakukan perkawinan campuran akan tinggal di Belanda.
“Untuk mengikuti kursus harus mengeluarkan biaya 150 euro (Rp2.300.000),” tambahnya.
Ada pun WNI yang akan tinggal di Belanda harus membayar izin tinggal yang saat ini besarnya 150 euro. Di samping itu, jika laki-laki yang melakukan perkawinan campur berkebangsaan Belanda, selain haru melengkapi persyaratan administratif, juga harus memiliki gaji cukup untuk hidup berkeluarga di Belanda yaitu sekitar 1.400 euro (22.400.000 rupiah).
Jamil menyebut terdapat 1 pencatatan perkawinan WNI di KBRI dan 18 pencatatan perkawinan di Gemeente. Data tersebut bersumber dari KBRI Den Haag pada April 2017.
Dampak dari persyaratan tersebut, beberapa pasangan mencatatakan perkawinan mereka di Indonesia. Namun, beberapa WNI di Belanda ada yang memilih hanya menikah sirri atau nikah secara agama saja dan tidak mencatatakannya di KBRI atau di Gemeente.
Pernikahan tersebut tentu saja tidak dibenarkan, baik oleh hukum Indonesia maupun Belanda. Perkawinan sirri ini biasanya dilakukan di depan tokoh agama di rumah, bukan di rumah ibadah, sebab biasanya pihak masjid umumnya tidak menerima perkawinan sirri.
“Bagi pasangan yang menikah secara sirri di Belanda, mereka tidak merasakan secara langsung dampak negatifnya. Hanya saja anak yang lahir dari perkawinan sirri, meski tetap bisa mendapatkan akta lahir, namun dalam akta tersebut hanya dicantumkan sebagai anak ibu, tidak disebutkan ayah biologisnya,” urai Jamil lagi.
Jamil melakukan penelitian tersebut bersama rekan peneliti lainnya yaitu Fachrudin. Penelitian dilakukan akhir 24 April hingga 3 Mei 2017.
Pada seminar tersebut juga diungkap hasil penelitian WNI di luar negeri lainnya seperti di Hong Kong, Arab Saudi, Malaysia. (Kendi Setiawan)
Baca Kajian Keagamaan lainnya
DI SINI