Pada tahun 2017, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Balitbang Diklat Kemenag melakukan penelitian Kehidupan dan Pelayanan Keagamaan di Wilayah Perbatasan. Beberapa wilayah perbatasan yang diteliti adalah Sebatik, Entikong, Badau, Sangihe, Atambua, Sota.
Sebatik, Suku Bugis di Tengah Kehidupan Keagamaan
Penelitian di Sebatik mengungkapkan bahwa hubungan antar dan intern umat bergama di Pulau Sebatik berlangsung baik. Keberadaan warga sebatik yang umumnya pendatang; Bugis, Jawa Timur, dan lain-lain, tampaknya menjadi salah satu penyebab. Selain itu penduduk Sebatik yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang, menjadi sebab lainnya.
Suasana kekeluargaan sangat terasa di banyak tempat, bukan hanya lintas etnis juga lintas agama. Salah satu gambaran tentang baiknya relasi antar umat beragama, dapat disaksikan di Lodres. Jika ada perayaan mereka yang beragama Katolik seperti Natal, remaja masjid ikut terlibat membantu.
Secara umum masyarakat Sebatik merupakan masyarakat yang tidak mudah terpengaruh oleh ideologi asing yang masuk, jika hal tersebut berbeda dengan kebiasaan masyarakatnya. Sebagai contoh, Jamaah Tabligh merupakan organisasi keagamaan yang tidak bisa berkembang di Sebatik karena menurut masyarakat tidak sesuai dengan kultur masyarakat Sebatik yang pekerja keras, di mana kewajiban manusia itu tidak semata-mata beribadah kepada Allah dengan pergi berhari-hari meninggalkan keluarga tidak mencari nafkah.
Atambua
Kehidupan keagamaan di Atambua Kabupaten Belu sedikit banyak dipengaruhi oleh kedatangan para pengungsi dari Timor Timur pasca referendum. Kelompok pendatang Jawa, Minang dan Bugis yang beragama Islam yang tidak kembali atau tidak mau kembali ke tanah kelahirannya, lebih memilih menetap di kota Atambua dan sekitarnya.
Sementara itu, orang Timor Timur asli, baik dari suku Tetun atau lainnya yang beragama Katolik dan Kristen yang pro-NKRI, juga memasuki dan menetap di Atambua dan wilayah sekitarnya.
Sota, Pengaruh Transmigrasi dalam Kehidupan Keagamaan
Masyarakat Sota menggunakan distinksi ‘warga lokal’ untuk menunjuk masyarakat asli Sota dari etnis Kanum yang beragama Kristen dan Katolik, serta ‘warga umum’ untuk menyebut para pendatang yang mayoritas beragama Islam.
Dalam konteks kehidupan beragama, ada beberapa hal yang terlihat jelas. Pertama, paham-paham tertentu yang terduga radikal telah terindikasi masuk ke wilayah Merauke, meskipun belum terlembagakan dalam bentuk jaringan pemikiran ataupun gerakan keagamaan yang teroganisir. Kedua, kemungkinan beroperasinya gereja fundamentalis dan evangelistik yang dikenal fanatik dan bersemangat melakukan denominasi agama lain sangat potensial menyebabkan konflik bernuasa agama.
Ketiga, isu pembakaran gereja Katholik di Kampung Kumbe Kurik. Belakangan, diperoleh informasi bahwa kebakaran gereja tersebut adalah insiden tanpa kesengajaan. Reaksi balas dendam terhadap umat Islam hampir saja terjadi jika para tokoh tidak sigap bertindak. Keempat, isu kedatangan kelompok bersenjata (ISIS) di Gereja Kristen Indonesia Muting. Kelima, isu penculikan anak oleh ISIS. Peristiwa ini melibatkan anggota Jamaah Tabligh yang sedang melakukan jaulah ke Merauke.
Selain lima kejadian di atas, fenomena tentang interaksi keagamaan lintas-batas di kawasan perbatasan Sota pun ada, walaupun tidak seintens interaksi kekerabatan ataupun interaksi mereka di bidang sosial dan ekonomi. Gereja Pantekosta adalah yang paling intens melakukan kegiatan keagamaan lintas-batas.
Keberagaman di Entikong
Entikong merupakan bagian dari Kabupaten Sanggau di Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Sarawak Malaysia. Dayak adalah suku dengan jumlah populasi paling besar di Kecamatan Entikong dan sebagi-an dari mereka memeluk Agama Katolik dan sebagian kecil memeluk Kristen. Selebihnya adalah suku Melayu. Meskipun minoritas, suku Melayu mendominasi kehidupan ekonomi dan perda-gangan di ibu kota Kecamatan Entikong, tepatnya, di Desa Entikong.
Melayu selalu Islam atau sekurang-kurangnya selalu terpengaruh dan terkait dengan agama Islam dalam segi tradisi, pandangan hidup, dan agama. Orang Dayak seperti orang Kristen, secara umum bisa dijelaskan bahwa Dayak mayoritas sedangkan Melayu minoritas, tidak ada masalah.
Secara sosiologis, memang, ibu kota Kecamatan Entikong, bernuansa Melayu di mana sebagian besar penduduk adalah orang Melayu memeluk dan menjalankan ajaran Islam dengan taat. Orang-orang Melayu dan penganut Islam ini sebagian besar adalah para pedagang. Diban-dingkan orang Dayak, orang Melayu memiliki akses pasar yang lebih besar. Di masa kini, nuansa Melayu dan corak keaga-maan Islam semakin diperkuat dengan hadirnya wakil-wakil dari pemerintah pusat. Ada banyak kantor-kantor pemerintah pusat di Entikong dibandingkan dengan kantor pemerintah daerah.
Tidak ada konflik etnis dan agama. Tahun 1997 di mana terjadi Kerusuhan Sampit, yaitu konflik etnis antara Suku Dayak dan Suku Madura. Konflik itu tidak merembet dan menular di Entikong. Dalam hal hubungan antar agama antara Islam dan Kristen, sejak dulu hingga sekarang, tidak ada persoalan agama. Orang Kristen sampai hari ini berhubungan baik dengan saudara muslim, relasi dan hubungan baik ini sedikit pun tidak ada masalah. Persoalan kehidupan keagamaan secara umum tidak menunjukkan masalah. (Kendi Setiawan)