Pulau Sebatik adalah pulau yang berada di wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Pulau Sebatik ini masuk ke dalam Wilayah Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Pulau Sebatik saat ini telah mendapatkan pengakuan secara formal dari pemerintah pusat sebagai pulau santri.
Pengakuan sebagai pulau santri ini dilandasi oleh beberapa alasan.Di antaranya adalah komunitas muslim di pulau ini telah melakukan pembinaan internal secara mandiri untuk menjaga tradisi keagamaan. Pengakuan Pulau Sebatik sebagai pulau santri ini jelas menambah semangat dalam menjaga tradisi keagamaan yang telah ada. Pengakuan ini juga diyakini tidak akan mengurangi kerukunan dan toleransi umat beragama yang selama ini telah terpelihara dengan baik.
Berdasarkan data yang dipublikasikan Kementerian Agama Kabupaten Nunukan Tahun 2019 sebagian besar penduduk Pulau Santri Sebatik ini adalah beragama Islam yaitu mencapai 61.400 orang (96, 43 %). Sementara itu pemeluk agama Katolik sebanyak 1.683 orang (2,64%), Kristen sebanyak 590 orang (0,93%). Tiga agama lainnya; Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu; tidak mempunyai pemeluk.
Berdasarkan pengamatan Hamdar Arraiyyah, peneliti Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama Republik Indonesia pada tahun 2019, tradisi keagamaan di Pulau Santri Sebatik ini telah muncul dari pembinaan umat Islam yang telah berlangsung sejak lama, terutama sejak pendirian masjid yang pertama kali di pulau ini.
Dengan pendirian masjid tersebut akhirnya muncul tradisi keagamaan keagamaan di kalangan warga Pulau Santri Sebatik ini, seperti tradisi pembelajaraan Al-Qur’an, tradisi yasinan dan tradisi dzikiran yang terkumpul dalam majelis taklim yang terus mengalami peningkatan.
Tradisi keagamaan berupa pembelajaran Al-Qur’an di Pulau Santri Sebatik bahkan mempunyai lima tingkatan dalam pembelajannya yaitu Yaitu: (1) Mempelajari rangkaian huruf dalam susunan kata bagi anak-anak; (2) Membaca Al-Qur’an dengan lancar hingga khatam; (3) Mempelajari Seni Baca Al-Qur’an; (4) Menghafal Al-Qur’an; (5) Kajian Kitab; Kondisi kondisi ini ditopang oleh pertumbuhan madrasah, MI, MTs, dan MA. Tradisi keagamaan berupa pembelajaran Al-Qur’an ini sangat terlihat di komplek Masjid Nurul Huda Sungai Nyamuk.
Sementara tradisi keagamaan berupa yasinan dan dzikiran ini biasanya dilakukan oleh jamaah ibu-ibu yang terkumpul dalam berbagai majelis taklim. Ibu-ibu yang terkumpul dalam jamaah majelis taklim ini, biasanya malakukan melakukan kegiatan yasinan dan dzikiran yang dilakukan secara rutin seminggu sekali secara bergiliran, baik di masjid maupun di rumah warga.
Majelis yasinan dan dzikiran yang telah berkembang di Pulau Santri Sebatik juga ternyata membuat warga semakin akrab dan hidup rukun serta mendapatkan pencerahan di bidang agama. Selain itu, majelis taklim ibu-ibu juga melakukan kegiatan yang bisa meningkatkan kreatifitas seperti pelatihan desain busana, pengembangan seni suara dan ekonomi. Namun demikian sebagian besar ibu-ibu yang semangat mengikuti majelis taklim ini sudah tergolong tua, dan sedikit ibu-ibu muda.
Sedangkan tradisi keagamaan yang baru dirintis dan dikembangkan adalah Tahfid Al-Qur’an yang dilakukan oleh guru dan pemuka agama di pesantren, masjid dan rumah tahfiz.
Perlu disadari bahwa keberadaan tradisi keagamaan seperti pembelajaran Al-Qur’an, majelis Yasinan dan majelis dzikiran yang telah ada di pulau Santri Sebatik sangat penting dalam upaya meningkatkan kesadaran beragama di kalangan umat Islam.
Namun demikian, tradisi keagamaan yang sudah ada ini harus terus dikembangkan, karena selama ini tradisi keagamaan yang berjalan hanya ramai di masjid-masjid seperti Masjid Nurul Huda Sungai Nyamuk dan madrasah-madrasah. Sementara untuk daerah-daerah yang jauh dari masjid dan daerah yang banyak dihuni masyarakat umum belum berkembang. Bahkan remaja yang duduk dibangku sekolah umum, SMP dan SMA/SMK, masih kurang mendapatkan sentuhan pendidikan keagamaan.
Pada umumnya penggerak utama tradisi keagamaan yang telah berjalan di Pulau Santri Sebatik adalah Penyuluh Agama Islam Non PNS, guru Pendidikan Agama Islam di sekolah, guru madrasah, dan pegawai Kementerian Agama. Mereka ini mengabdikan diri dengan penuh dedikasi untuk mengembangkan agama dan menjaga tradisi keagamaan.
Penulis: Ahmad Khalwani
Editor: Kendi Setiawan