Pada Jurnal Dialog Vol. 41, No.1, Juni 2018, dimuat tulisan Novitasiswayanti berjudul Penjaroan Rajab di Masjid Sakatunggal. Tulisan hasil penelitian peneliti Balitbang Diklat Kemenag ini menyebutkan Penjaroan Rajab berarti penggantian pagar pada kompleks pemakaman di Masjid Saka Tunggal, sebagai rangkaian dari upacara keagamaan yang terdiri dari ziarah kubur, haul Kiai Mustolih, selametan, pengajian dan gelar budaya.
Penjaroan Rajab sebagai ritual oleh masyarakat Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, setiap tahun tanggal 26 Rajab bertepatan dengan haul Kiai Mustholih. Kiai Mustolih dipercaya sebagai tokoh penyebar Islam di Desa Cikakak pada abad 17 Masehi. Ia adalah keturunan Sunan Panggung, salah seorang murid Syeh Siti Jenar.Ia mendirikan masjid yang memiliki keunikan tersendiri dengan tiang utama tunggal sehingga masjid tersebut dinamai Masjid Saka Tunggal.
Selain masyarakat setempat, Penjaroan Rajab diikuti keturunan dan murid Kiai Mustholih serta utusan dari keturunan kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat pada khususnya. Pihak Keraton Surakarta Hadiningrat mengaitkan hubungan kekerabatan Kiai Mustholih masuk silsilah Kraton Surakarta. Hal ini dikarenakan Kali Pakis yang mengalir di depan makam kramat Kiai Mustholih merupakan jejak Kraton Suarakarta. Padahal menurut KRH Palilo Diningrat (Kasepuhan Adat Paguyuban Keluarga Mataram) Kiai Mustholih berasal dari Mataram Kuno yang bernama Cakra Buana. Ritual ini juga dihadiri oleh tokoh masyarakat, aparat pemerintah desa dan kecamatan setempat, serta dinas kabupaten yang terkait. (Subagyo, 2013).
Ritual Penjaroan Rajab dilaksanakan secara bergotong royong dan bekerja sama baik itu kaum laki-laki maupun perempuan. Kaum perempuan tidak ikut serta dalam penggantian dan pemasangan pagar, tetapi mempersiapkan bahan makanan dan aneka konsumsi hidangan untuk kenduri slametan yang lokasinya berada di halaman Masjid Saka Tunggal dan rumah juru kunci.
Tahapan Ritual
Pada ritual tersebut, dilaksanakan sejumlah kegiatan atau tahapan. Pertama adalah pada jam enam pagi setelah Subuh. Kaum laki-laki berduyun-duyun datang ke Masjid Saka Tunggal dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak di tengah ladang, hutan, dan semak-semak. Mereka dengan suka rela membawa batang bambu yang akan digunakan untuk membuat pagar. Bambu itu diambil di sekitar pekarangan rumah mereka.
Kemudian jam sembilan pagi pekerjaan penggantian pagar dimulai dan dipimpin langsung oleh keturunan Kiai Mustholih yaitu Bambang Jauhari yang menjadi juru kunci makam Kiai Mustholih dan Sopani juru kunci Masjid Saka Tunggal.
Secara bergotong royong warga berbagi tugas terhadap bambu-bambu yang dibawanya untuk mengerjakan penggantian dan pemasangan pagar yang mengelilingi pemakaman. Ada yang memotong dan membelahnya dengan ukuran satu meter, ada yang mencucinya di sungai pintu masuk makam agar bersih dan terbebas dari kotoran, dan ada yang mengganti bambu lama dan memasangnya dengan bambu yang baru.
Selama melakukan penjarohan, warga dilarang berbicara dengan suara keras, serta tidak boleh mengenakan alas kaki. Sehingga, saat penggantian dan pemasangan pagar bambu di pemakaman, tidak terdengar suara warga. Yang muncul hanya suara dari pagar bambu yang dipukul oleh warga. Dengan bekerjasama saling tolong-menolong dan bahumembahu dalam suasana hening tanpa suara, penggantian dan pemasangan pagar di komplek pemakaman selesai dikerjakan dalam jangka waktu dua jam.
Ziarah Kubur
Setelah pelaksanaan penggantian dan pemasangan pagar bambu di kompleks pemakaman selesai, kaum laki-laki membersihkan dan menyucikan badan mereka di kali yang berada di halaman pemakaman untuk kemudian melakukan ziarah makam. Sebelum memasuki areal makam para warga melepaskan alas kaki dan melakukan persembahan dan sungkem kepada leluhur. Mereka menabur bunga dan membaca doa di makam para leluhur sebagai bentuk pengormatan kepada leluhur.
Rangkaian upacara penjaroan selanjutnya adalah kenduren atau slametan dalam bentuk upacara makan bersama. Slametan merupakan unsur terpenting dari ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa. Slametan diadakan untuk memelihara rasa solidaritas di antara peserta ritual keagamaan sekaligus dalam rangka menjaga hubungan baik dengan arwah leluhur.
Upacara slametan pada Penjaroan Rajab ini dimaksudkan agar dapat menciptakan suasana damai, rukun dan tenteram di antara peserta ritual penjaroan dan bebas dari rasa permusuhan dan prasangka terhadap orang lain. Selain itu ritual ini juga diyakini dapat menghilangkan berbagai sifat jahat dan tidak baik yang terdapat pada diri pribadi tiap orang. Upacara slametan bersifat keramat di mana orang-orang yang hadir dalam acara tersebut merasakan getaran emosi keramat penuh kekhusyukan dalam suasana penuh khidmat mengharapkan keselamatan dan kebahagiaan terlepas dari insiden-insiden ataupun malapetaka yang tidak dikehendaki.
Pada ritual slametan disajikan gunungan tumpeng dan hasil bumi yang diusung dengan tandu mengelilingi kompleks Masjid Saka Tunggal. Gunungan terdiri dari dua tumpeng setinggi setengah meter, jajanan pasar, buah-buahan dan sayur-sayuran. Setelah dibacakan doa gunungan tersebut diarak-arak seperti kirab mengelilingi kompleks Masjid Saka Tunggal. Di titik akhir halaman masjid, warga memperebutkan isi gunungan. Warga meyakini apabila memperoleh salah satu isi dari gunungan tersebut dan dikonsumsi oleh mereka, maka akan memperoleh berkah berupa rezeki yang banyak. Sedangkan jika isi gunungan itu disebarkan di sawah pertanian, perkebunan atau pekarangan rumah, maka akan dapat memberikan kesuburan dan kesejahteraan, (Rohimah: 2013).
Beragam jenis makanan yang terdapat pada gunungan memiliki simbol dan makna tersendiri dalam tradisi Jawa. Tumpeng melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan agar permohonan terkabul. Ingkung (ayam yang dimasak utuh) melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan. Pisang raja lambang pengharapan supaya kelak hidup bahagia. Jajan pasar simbol harapan berkah dari Tuhan; ketan, kolak, dan apem merupakan satu kesatuan yang bermakna permohonan ampun jika melakukan kesalahan. Kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu berdoa; dan bunga melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati tulus.
Beraneka 'bawaan' ini merupakan unsur sesaji sebagai dasar landasan doa. Setelah berdoa, makanan-makanan tersebut menjadi rebutan para peziarah yang hadir. Inilah arti kebersamaan dalam penjarohan. Di dalam penjarohan juga terdapat inti budaya Jawa, yaitu harmoni atau keselarasan, (w. Suegito: 2013).
Pengajian
Setelah Magrib, ritual penjarohan ditutup dengan serangkaian prosesi pengajian dan sarasehan budaya yang menghadirkan penceramah yang didatangkan dari luar Desa Cikakak. Dalam tradisi keagamaan Jawa kekinian prosesi pengajian disebut juga mujahadah yang mengacu pada ‘disiplin asketis dan perjuangan di jalan sufi.’ Inti mujahadah adalah pembacaan tahlil dan surat-surat pendek Al-Qur ’an, barjanjen, yasinan, ceramah agama dan pembacaan doa, (Pranowo, 2011:141).
Pengajian dilaksanakan di Masjid Saka Tunggal dan dipimpin oleh seorang modin yang berperan sebagai pemimpin acara pengajian. Modin adalah pejabat agama tingkat desa bisa saja seorang ulama atau keturuan Mbah Tolih. Sebagai tuan rumah juru kunci Makam Mbah Mustholih memberikan sambutan mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan bambu, makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya.
Setelah itu, modin maju untuk memimpin zikir tahlilan dan yasinan. Kemudian menutupnya dengan doa yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Juga doa keselamatan, agar Tuhan senantiasa memberkahi hidup mereka dengan kesehatan, kedamaian, dan kesejahteraan. Acara inti pengajian adalah ceramah agama dan pertunjukan seni tradisional yang menampilkan genjring Banyumasan yaitu pembacaan shalawatan barzanji yang diirimgi dengan tabuhan rebana, (w. Puwoko: 2013).
Nilai-nilai yang Terkandung
Pada ritual Penjaroan Rajab, terkandung nilai-nilai. Pertama, nilai keikhlasan. Ikhlas dalam bekerja berarti tidak melihat pada besar-kecilnya hasil yang harus dicapai, tetapi lebih mementingkan apa yang harus dikerjakan (sepi ing pamrih, rame ing gawe). Mereka selalu bersikap menerima apa pun yang telah diberikan Tuhan (nrimo ing pangdum). Sebuah keyakinan bahwa segala yang ada dalam kehidupan ini telah digariskan oleh Tuhan, manusia hanya bisa menerima dan terus berusaha dan berdoa, (Herusatoto, 2000:72).
Keikhlasan warga dalam penjaroan tampak terlihat dari kesediaan dan kesukarelaan mereka untuk ikut serta dalam ritual itu dengan tanpa mengharap pamrih atau balas. Mereka rela mengumpulkan bambu-bambu dari hutan dan dibawanya ke Masjid Saka Tunggal dengan berjalan kaki. Kemudian bambu-bambu tersebut dipasang dijadikan pagar yang mengelilingi pemakaman. Selain itu kaum perempuannya ikhlas memasak dan menyediakan makanan untuk kenduren atau slametan yang nantinya akan dinikmati bersama-sama sebagai perwujudan solidaritas dan kebersamaan, (w. Tohari: 2013).
Kedua, nilai kerukunan. Etika Jawa berpegang teguh pada filsafat budaya damai rukun agawe santosa (kerukunan akan menyebabkan seseorang kuat dan sentosa). Kerukunan hidup terjadi karena masing-masing saling menghormati, saling mengasihi, sopan santun, dan saling menghargai satu sama lain. (Endraswara, 2003: 38-39) Hubungan antarsesama seluruh ingin menjaga ketentraman, hayuning bawana) (Suseno, 1984: 39). Nilaikerukunan identik dengan kaidah dasar etika Jawa yang berada dalam keadaan selaras, tenang, dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan. (w. Bambang 2013).
Dalam ritual penjaroan nilai kerukunan tampak terlihat adanya sikap dan perilaku warga yang saling lung tinulung; tolong-menolong untuk melakukan pekerjaan penggantian pagar bambu secara bergotong-royong dan bersama-sama. Mereka ber-tepo seliro saling mengontrol diri dan menjaga hubungan baik antarsatu dengan lainnya, saling menghormati dan menghindari terjadinya persinggungan maupun pertengkaran antarteman.
Berikutnya, nilai keberagamaan (religiusitas). Enkulturasi budaya Jawa yang animistis magis dengan unsur budaya Islam yang monotheistis telah melahirkan Jawa Sinkretis. Nilai budaya yang religius magis ikut memberikan arah pembentukan sistem budaya, sistem sosial dan hasil kebudayaan fisik ynag bercorak Islam Jawa. (Amin, 2002: 279-281). Dalam ritual penjaroan religiusitas yang telah tertanam dan menjadi adat-istiadat sebagai warisan leluhur budaya Jawa berakulturasi dengan nilai-nilai keislaman yang berperan dalam pengemasan isi dari ritual keagamaan Jawa.
Ritual penjarohan sebagai refleksi ziarah kubur persembahan kepada arwah leluhur menjadi sarana untuk mendoakan agar arwah leluhur tentram dan diampuni Allah. Slametan merefleksikan solidaritas kerukunan antarsesama diberi warna keislaman dengan adanya kajian keislaman, pembacaan tahlilan dan yasinan serta doa. Sesajen yang semula berupa daging mentah diganti dengan makanan hasil bumi atau pertanian dan peternakan yang sudah dimasak kemudian dimakan bersama sebagai perwujudan syukur kepada Allah. Dalam ritual Penjaroan Rajab tampak identitas kepribadian bangsa sekaligus elemen perekat lintas warga serta lintas agama dan kepercayaan yang dapat memberikan warna kebersamaan dan kearifan lokal masyarakat Cikakak.
Keempat, nilai kebangsaan dan nasionalisme. Dalam konteks sosial dan budaya, ritual penjarohan dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. (Priyadi, 2011: 23). Dalam prosesi ritual atau tradisi penjarohan warga berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai. Penjaroan menjadi ajang untuk bersilaturahmi berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain. Nuansa kedamaian, humanitas dan familiar sangat kental terasa. (w. Sugeng Priyadi: 2013).
Apabila penjarohan ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya, rasanya Indonesia ini menjadi benar-benar rukun dan tenteram. (Kendi Setiawan)