Salah satu hasil penelitian Balitbang Diklat Kemenag yang kemudian dimuat dalam Jurnal Harmoni edisi Januari-April 2016 adalah Relasi Muslim-Buddhis di Panggang, Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Akmal Salim Ruhana, peneliti pada Balitbang Diklat Kemenag mengutarakan bahwa relasi tersebut terjadi karena adanya ‘sabuk’ relasi Muslim-Buddhis di Panggang.
Akmal menyebutkan jika upaya modal sosial berfokus pada penguatan soliditas internal untuk mempertahanan eksistensi kelompok, social bridging lebih melintas batas identitas kelompok untuk pemerkuatan kehidupan bersama. Dalam konteks relasi mayoritas Muslim dan minoritas Buddha di Panggang, jaring-jaring yang menguatkan ikatan antarwarga berbeda identitas tampak nyata. Dalam civic engagement sebagaimana dibagi dua oleh Ashutosh Varshney, asosiasional dan quotidian, temuan lapangan penelitian ini mengonfirmasi teori tersebut.
Secara asosiasional, relasi antara Muslim-Buddhis terjalin dengan adanya sejumlah forum bersama yang merekatkan relasi antarwarga (baca: antarumat). Forum-forum tersebut seperti arisan warga sepuluhan, arisan RW/dukuh, organisasi pemelihara kambing oleh kaum pria, dan tim bola voli di setiap RT yang berlomba antar-RT setiap 17-an.
Adapun secara quotidian yang terjadi adalah adanya budaya saling kunjung saat kenduren reroyo (Idul Fitri), makan bersama dalam acara kenduren ruwahan atau sedekah bumi, saling partisipasi saat hari besar keagamaan, saling mengunjungi, budaya sambatan jika ada tetangga yang membangun rumah, serta gotong royong warga membangun fasilitas publik.
Dari pengamatan dan live in di lokasi, ikatan quotidian tampak lebih kuat dibanding asosiasional. Pergaulan sehari-hari antarwarga berbeda agama tampak lebih menonjol mendekatkan, dibanding forum-forum, yang bahkan tak ada forum lintas agama di sini. Hal ini cocok atau mengonfirmasi pendapat Varshney, bahwa dalam kategori masyarakat perdesaan kerja sama sehari-hari (quotidian) lebih menonjol dibanding kerja sama asosiasional. Berbanding terbalik kondisinya dengan di perkotaan.
Last but not least, yang menguatkan kerukunan di daerah ini adalah adanya nilai-nilai budaya Jawa yang dipertahankan. Meski beragama Islam ataupun Buddha, masyarakat masih melakukan acara kenduren ruwahan, sedekah bumi, dan lainnya secara bersama-sama. Bahkan, ada mekanisme kontrol, jika ada yang tidak ikut akan ditegur oleh kawan lainnya atau bahkan dihukum
sosial, dikucilkan.
Mengapa Mau Berrelasi-Harmonis?
Dari hal itu, tampak bahwa terbangun relasi antara umat Buddha dan Islam di Girikarto, Panggang, Gunung Kidul. Merujuk pada konsep 'relasi' sebagaimana didefinisikan Koentjaraningrat, maka di antara kedua umat yang notabene mayoritas dan minoritas itu telah melakukan interaksi dan bentuk-bentuk aksi-reaksi dalam bermasyarakat. Relasi antarumat tercipta lebih karena adanya kebutuhan bersama untuk hidup bersama, guyub, rukun, saling menolong.
Selain itu, masyarakat juga telah menyejarah mengalami pluralitas agama dan toleransi. Hal ini misalnya tersirat dari pernyataan Mur, pemuka agama Buddha, "Kalau masalah kerukunan di sini itu gak ada bandingnya, Mas, dibanding kalau lain kecamatan. Lain kecamatan kan kadangkala itu ada bentrok. Kalau di sini gak ada [kenapa?] ya karena... ya meskipun lain agama kepercayaan orang sini kan satu jalan, Tuhan, sama, Tuhannya sama. Yang bedanya ya pada waktu kita ibadah, atau kalau kita berdoa di wihara, kalau Islam di masjid. Lain tempatnya tapi kan tujuannya sama, Tuhan." (Wawancara 24 Mei 2015)
Modal sosial dalam agama Islam dan Buddha tentang budaya damai cukup tersedia. Namun, modal sosial berupa budaya bersama juga sangat menonjol. Bahwa meskipun beragama berbeda, masyarakat sangat menjunjung budaya Jawa/Kejawen, dengan mengatakan “karena itu sudah kebiasaan orang tua kami.” ‘Sabuk budaya’ ini bahkan melampaui keberbedaan identitas agama dan lainnya.
Dalam membangun relasi antarumat beragama, umat Islam dan Buddha di Panggang melandaskan pada kebutuhan bersama untuk guyub, hidup rukun. Selain ada landasan perintah teologis untuk hidup bersama dalam damai, masing-masing umat agama terikat kuat dalam 'sabuk budaya' leluhur Jawa, yang bahkan di atas ikatan keagamaan.
Dengan adanya relasi bersifat social bridging, yakni dalam lingkup asosiasional dan quotidian di atas, kedua kelompok umat beragama dapat hidup bersama dalam damai. Social bonding yang dilakukan masing-masing kelompok agama tidak mendorong pada eksklusivisme kelompok, melainkan sebentuk pemerkuatan eksistensi untuk mendukung tujuan bersama yang dicita-citakan. (Kendi Setiawan)