Balitbang Kemenag

Perlunya Pendidikan Moderasi di Majelis Taklim

Jumat, 22 Maret 2019 | 13:15 WIB

Perlunya Pendidikan Moderasi di Majelis Taklim

Ilustrasi: jamaah majelis taklim mengikuti pengajian.

Jakarta, NU Online
Perbedaan menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan di bumi Indonesia. Warna-warni identitas itu menjadi pemandangan indah. Namun, terkadang hal ini menjadi jurang pemisah jika tidak saling mengerti satu sama lain. Hal ini terjadi dalam beberapa kasus yang mengakibatkan beberapa pihak terugikan.

Melihat hal tersebut, pada tahun 2018, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan penelitian yang fokus pada pendidikan moderasi di majelis taklim. Penelitian dilakukan guna mengetahui tiga hal, yakni pengetahuan nilai tawasut (moderasi), tasamuh (toleransi), dan wathaniyah (kebangsaan); penghayatan atau sikap tentang tiga hal tersebut; dan pengamalannya.

Penelitian dilakukan di 15 kabupaten dan kota yakni Medan, Bangka, Lampung Selatan, Kuningan, Bandung, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Landak, Manado, Ambon, dan Denpasar. Penelitian melibatkan 150 lembaga majelis taklim, serta 1500 jamaah. Temuan penelitian mengungkapkan bahwa aspek pengetahuan pendidikan moderasi di majelis taklim tergolong kategori rendah. Angkanya hanya sebesar 45,14 persen.

Aspek pengetahuan pendidikan moderasi ini meliputi nilai-nilai tawasut sebesar 40,75 persen; tasamuh sebesar 50 persen, dan wathaniyah sebesar 44,67 persen. Pengetahuan tentang nilai-nilai tasamuh lebih dominan dibanding dengan tawasut dan wathaniyah.

Sementara itu, aspek sikap pendidikan moderasi di majelis taklim juga tergolong masih rendah, yaitu sebesar 55,84 persen saja. Hal ini meliputi nilai-nilai tawasut sebesar 54,92 persen; tasamuh sebesar 76,10 persen; dan wathaniyah sebesar 36,50 persen. Dari sini, terlihat sikap tentang tasamuh lebih dominan dibanding dengan tawasut dan wathaniyah.

Adapun aspek perilaku pendidikan moderasi di majelis taklim juga tergolong masih rendah, yakni sebesar 51,41 persen. Hal ini mencakup nilai-nilai tawasut sebesar 58,81 persen; tasamuh sebesar 54,29 persen; dan wathaniyah sebesar 41,13 persen. Perilaku tentang tawasut lebih dominan dibanding dengan tasamuh dan wathaniyah.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa nilai sikap moderasi lebih besar dibandingkan dengan nilai perilaku dan pengetahuan. Pada aspek pengetahuan dan sikap, nilai tasamuh lebih diperhatikan, sedangkan pada aspek perilaku, nilai-nilai tawasut telah diamalkan oleh responden, ketimbang nilai-nilai wathaniyah dan tasamuh. Nilai wathaniyah, baik pada aspek pengetahuan, sikap, dan perilaku berada di posisi terendah daripada nilai tawasut dan tasamuh.

Oleh karena itu, merekomendasikan enam hal. Pertama, Kementerian Agama perlu menyusun grand design pengembangan dan penguatan pendidikan moderasi di kalangan majelis taklim. Kedua, Kementerian Agama perlu meningkatkan pengetahuan pendidikan moderasi melalui penerbitan buku atau panduan tentang pendidikan moderasi bagi para penyuluh atau ustadz dan ustadzah dan pengelola majelis taklim, penyusunan  kurikulum atau modul bahan ajar pendidikan moderasi di majelis taklim.

Berikutnya, Kementerian Agama melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) perlu melakukan pendidikan dan pelatihan (Diklat) bagi penyuluh agama, ustadz atau ustadzah dan pengelola majelis tentang pendidikan moderasi di majelis taklim.

Di samping itu, Kemenag juga perlu mendorong gerakan pengarusutamaan pendidikan moderasi agama melalui instutisi pendidikan formal maupun nonformal dan media sosial; menyusun konsep moderasi beragama versi pemerintah sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terakhir, Kemenag perlu membuat proyek percontohan majelis taklim berbasis moderasi. (Syakir NF/Kendi Setiawan)

Ikuti tulisan hasil riset keagamaan lainnya DI SINI.