Pada tahun 2016, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang Diklat Kemenag menerbitkan buku Relasi Antar Umat Beragama di Berbagai Daerah. Dalam buku yang merupakan hasil penelitian ini, Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan H Muharam Marzuki, menyampaikan bahwa telah banyak buku ditulis mengenai masalah kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Ada buku yang mengkaji secara teoritis masalah kerukunan umat beragama dengan berbingkai teori sosial atau teori konflik. Tidak sedikit pula buku kajian empiris berbasis penelitian yang mengambil fokus masalah kerukunan umat beragama di berbagai daerah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tema ‘relasi antarumat beragama’ merupakan tema yang sensitif di tengah pluralitas di negara ini. Berbagai isu ikut menambah panas tema ini, mulai dari isu konversi agama, hate speech, perda syariah, sampai isu penolakan pendirian rumah ibadah. Namun secara umum berbagai penelitian (beberapa tahun terakhir) menunjukkan kondisi kerukunan nasional dalam kondisi cukup harmonis.
Buku tersebut ikut melengkapi khazanah referensi buku acuan yang berusaha memotret relasi antarumat beragama di berbagai daerah penelitian. Dengan segala kelebihannya, buku ini menyajikan realitas perdamaian dalam relasi antarumat beragama antara umat Islam dengan kalangan umat lain, baik dengan Kristen, Katolik, Budha maupun Khonghucu. Hal menarik yang diungkap berbagai tulisan ini adalah acuan yang digunakan dalam berinteraksi dalam lokus penelitian, yaitu semacam local wisdom yang menjadi dasar bagi bangunan ideal modal sosial setempat.
Buku ini terdiri atas enam tulisan. Tulisan pertama berbicara tentang relasi damai antara masyarakat Muslim dengan enclave Kristen di sebuah Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang. Relasi yang terbentuk di sana mewujud bukan saja tataran kehidupan sosial, namun juga diaplikasikan dalam tataran politik desa—yaitu dengan memberi atau membagi hak pengelolaan sawah bengkok kepada tokoh agama yang berbeda—Kiai di kalangan Muslim dan Modin Kristen di kalangan Kristen. Isu yang sering mencuat adalah mengenai konversi agama. Adanya fenomena konversi agama di Kecamatan Mojowarno tidak disikapi dengan reaktif namun adaptif, yaitu dengan memegangi prinsif dalam bahasa Islam “masuk Islam adalah hidayah” dan dalam bahasa Kristen “konversi agama adalah karya Allah”.
Tulisan kedua mengambil lokasi kajian di Kota Pematang Siantar. Pada kota ini, belum pernah mengalami gejolak konflik yang menguncang dasar-dasar kehidupan antarumat beragama, meskipun potensi konflik cukup tinggi berkat jumlah populasi Kristen dan Muslim yang relative hampir sama atau seimbang. Kontribusi terbesar terletak pada kearifan lokal dalihan na tolu yang juga berarti harus menjaga keadaan harmonis dalam kekerabatan. Selain itu, hal menarik justru terlihat dari bounding kelompok agama dan etnis yang berbeda dengan daerah lainnya.
Di sini, organisasi agama maupun suku tidak berhenti menjalin relasi di internal kelompoknya, melainkan meluas sampai ke eksternal kelompok masing-masing. Beberapa kegiatan menunjukkan keistimewaan relasi antarumat beragama di Siantar ini, yaitu dengan aktifnya Forkala, adanya coffe morning bagi para pemuka agama dan etnis, serta keaktifan membantu organisasi kelompok agama juga etnis yang lain. Hal inilah yang menjadikan relasi antarumat Kristen dengan Muslim di Siantar tidak mengalami konflik yang berarti.
Pada tulisan ketiga, menyuguhkan kajian relasi antarumat beragama yaitu Muslim dengan Buddhis di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul yang sarat dengan ikatan sabuk budaya leluhur Jawa, yang melebihi ikatan keagamaan. Dalam kajian inilah kita akan mendapatkan informasi bahwa tingkat keberagamaan yang mengedepankan budaya dapat melahirkan cara beragama pluralistik-sinkretik.
Tulisan keempat dan kelima membahas tentang kerukunan umat beragama antara Muslim dengan Katolik, masing-masing di Kelurahan Muntilan, Kabupaten Magelang dan Kabupaten Ende. Relasi antarumat beragama di kedua daerah penelitian sama-sama dijaga dengan kearifan lokal setempat. Bila di Kelurahan Muntilan sangat menonjol peran lembaga formal yang melakukan pertemuan rutin bulanan, sebaliknya di Kabupaten Ende unggul dengan peran lembaga non formal, khususnya tokoh setempat (tokoh agama dan tokoh adat) yang ditengahi oleh pemerintah yang dikenal juga dengan sebutan 'Tiga Batu Tungku'.
Terakhir adalah tulisan tentang relasi antara Muslim dengan umat Khonghucu di Kota Tangerang. Relasi ini terjadi secara unik, di mana sebagai minoritas, masyarakat Tionghoa yang dominan beragama Khonghucu di Kawasan Benteng menolak keras gagasan Cina Town dan terma 'Cina'. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka menginginkan inklusifitas dalam berinteraksi sosial yang dicirikan dengan akulturasi budaya. Dengan kesadaran membangun interaksi yang lebih inklusif inilah, umat Khonghucu banyak berharap bahwa suasana kondusif dan harmonis tetap terjaga dalam relasi antarumat Muslim dengan Khonghucu di Tangerang.
Sementara itu Kepala Balitbang Diklat Kemenag H Abdurrahman Mas’ud mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, baik dilihat dari sisi etnis, bahasa, budaya dan agama. Kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia di satu sisi menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang rawan konflik (fragile nation). Fakta yang tidak bisa dipungkiri hingga sekarang masih sering ditemukan persoalan-persoalan konflik bernuansa etnik maupun agama, meski dalam skala kecil. Di sisi lain, kemajemukan itu juga menjadi pendorong lahirnya saling pengertian dan kerjasama dalam bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok keagamaan di berbagai daerah yang menjadi sasaran penelitian Puslitbang Kehidupan Kegamaan Badan Litbang dan Diklat Kementeian Agama, pada tahun 2015.
Kelompok-kelompok keagamaan dan daerah-daerah yang menjadi sasaran penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan yaitu: Muslim dan Kristen di Mojowarno Jombang Jawa Timur, Kristen dan Muslim di Siantar Sumatera Utara, Muslim dan Buddhis di Panggang Gunung Kidul DI Yogyakarta, Muslim dan Katolik di Muntilan Magelang Jawa Tengah, Katolik dan Muslim di Endeh NTT, serta Muslim dan Khonghucu di Benteng Tangerang.
Selama ini jumlah bahan bacaan dalam bentuk buku maupun informasi (berita) tentang kerukunan (good news) tidak seimbang (terlalu sedikit) jika dibandingkan dengan jumlah bacaan tentang konflik (bad news). Buku ini diharapkan menjadi buku yang informatif, menyajikan informasi tentang relasi damai antarumat yang dibangun oleh kelompok-kelompok keagamaan di beberapa daerah secara bottom up. Apa modal sosial yang dikembangkan, dasar hukum dan ajaran agama yang dipilih menjadi acuan, serta kearifan lokal yang dipertahankan sehingga mereka mampu mewujudkan relasi damai antarumat beragama.
Penerbitan buku tersebut, menurut Kaban diharapkan, pertama dapat dijadikan sebagai sarana sosialisasi hasil-hasil kelitbangan, sehingga diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi berbagai pihak yang memerlukan informasi tentang relasi damai antarumat beragama, sebagai counter terhadap tuduhan semakin berkembangnya intoleransi hubungan antarumat beragama di Indonesia.
Kedua, melalui informasi yang dimuat dalam buku ini, diharapkan berbagai pihak dapat memperoleh pelajaran (lesson learned) dan mengetahui bagaimana masyarakat di beberapa daerah dapat mengembangkan relasi damai secara bottom up, meski masyarakat tersebut terdiri dari kelompok mayoritas dan minoritas yang berbeda agama. Dengan mempelajari bagaimana masyarakat di beberpa daerah tersebut membangun relasi damai secara bottom up, kiranya dapat menginspirasi para pembaca, khususnya para pemuka agama untuk menjadikannya sebagai model bagi upaya membangun relasi damai antarumat di daerah-daerah lain, terutama di daerah konflik.
Ketiga, penyebaran hasil penelitian merupakan tanggung jawab akademis para peneliti agar ke depan hasilhasil penelitian semakin teruji, baik secara metodologis maupun substansi.
Selain itu, dengan diterbitkan dan disebarluaskan buku ini, dapat memperkaya literatur tentang relasi damai (kerukunan) antarumat beragama di Indonesia dan bermanfaat bagi para pembaca dari semua kalangan. (Kendi Setiawan)