Balitbang Kemenag

Pendidikan Penyetaraan di Pesantren

Kamis, 9 November 2017 | 13:30 WIB

Pendidikan Penyetaraan di Pesantren

Pesantren Amanatul Umah, Pacet, Mojokerto

Jakarta, NU Online
Pemerintah melalui Surat Keputusan Dirjen Bimbingan Kelembagaan Agama Islam (Bagais) Departemen Agama RI tahun 1999, mengeluarkan keputusan tentang Pendidikan Muadalah (Pengakuan Penyetaraan). Pendidikan muadalah sebagai bentuk recognition negara terhadap lembaga tersebut, yang lulusannya setara dan sederajat dengan lulusan SMA/MA. 

Namun, seiring perjalanan, regulasi ini belum dianggap cukup dan belum kuat, sehingga masih banyak lulusannya tidak bisa diterima di PTN—karena tidak setara dan sederajat dengan lulusan SMA/MA. 

Keluarnya PMA baru nomor 18 tahun 2014 yang secara khusus mengatur penyelenggaraan satuan pendidikan muadalah membuatnya disetarakan dengan pendidikan formal. Dasar hukumnya meningkat, yang dulunya berupa SK Dirjen, menjadi PMA. Implikasi dari regulai ini, satuan pendidikan muadalah semestinya mendapatkan pengakuan yang jelas, dan memperoleh fasilitas yang sama seperti institusi-institusi pendidikan lainnya.

Dilihat dari penyelenggaraan satuan pendidikan muadalah memiliki karakteristik dan problem yang berbeda. Keberagaman dan problem itu terkait pada aspek kurikulum, pembelajaran, keluaran lulusan, tenaga pendidik dan kependidikan, pembiayaan, dan pengelolaan. Keberagaman ini diduga karena belum adanya standar baku dalam penyelenggaraan pendidikan muadalah.


Pada 2016, Puslitbang Penda dan Balitbang Kemenag RI pun mendapatkan temuan dalam penyelanggaraan pendidikan muadalah di pondok pesantren meliputi:

Pertama, penyelenggaraan satuan pendidikan muadalah sangat tergantung pada pengelolaan pesantren dalam hal ini kepemimpinan kiai. Kepemimpinan kiai yang banyak bersentuhan dengan dunia luar (modern) mempengaruhi sistem pendidikan yang dikembangkannya, baik menyangkut aspek manajerial kelembagaan, kurikulum, pendidik, pembiayaan. 

Kedua, realitas penyelenggaraan Satuan Pendidikan Muadalah dari sebelas lokasi dapat dikategorikan sebagai berikut: pada aspek kelembagaan, kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, santri, kelulusan, pembiayaan, dan akreditasi. 

Ketiga, aspek kelembagaan penyelenggaraan satuan pendidikan muadalah mencakup: persyaratan yayasan berbadan hukum dan terdaftar di Kemenag sudah terpenuhi, namun dari aspek jumlah santri minimal 300 santri dan mengikuti layanan pendidikan formal masih ada lembaga yang belum memenuhi persyaratan, sehingga perlu dijelaskan dalam pedoman. Sementara pada jenis tingkatan penyelenggaraan masih beragam, dari hanya satu tingkatan, dua, hingga tiga tingkatan sekaligus.

Keempat, aspek kurikulum pendidikan keagamaan Islam sesuai dengan kekhasan masing-masing, yaitu tujuh penyelenggara berjenis pendidikan muadalah salafiyah yang berbasis kitab kuning, dan empat penyelenggara berjenis muadalah muallimin yang berbasis pada dirasah islamiyah. 

Kurikulum pendidikaan umum yang diajarkan pada jenis muallimin terpenuhi dan bahkan melampaui dari apa yang dipersyaratkan, sementara jenis salafiyah sebagian terpenuhi dan lainnya belum terpenuhi dengan mengembangkan istilah tersendiri. Kurikulum pendidikan umum belum ada standar yang sama.

Kelima, pendidik pada pendidikan keagamaan Islam terpenuhi sesuai dengan kompetensi, sementara dari kualifikasi masih beragam lulusannya, dari hanya tamatan pesantren, SMA/MA hingga perguruan tinggi. 

Pendidik mata pelajaran umum masih belum terpenuhi, baik dari aspek kompetensi maupun kualifikasi, seperti guru mismatch. Aspek tenaga kependidikan, pada jenis muallimin umumnya sudah terpenuhi, sementara pada salafiyah tenaga kependidikan masih terbatas seperti kepala satuan dan TU.

Keenam, aspek santri secara keseluruhan mukim dan tidak sekolah pada pendidikan formal lainnya. Adanya seleksi atau tes masuk sebagai santri muadalah. Pada aspek sarana prasarana sudah terpenuhi walaupun masih terbatas pada jenis salafiyah, sementara jenis muallimin sudah cukup terpenuhi. 

Ketujuh, aspek sumber pembiayaan masih bertumpu pada kontribusi wali santri, donatur dan usaha pondok pesantren. Sementara pemanfaatan pembiayaan digunakan untuk proses pembelajaran, gaji guru/ustad dan pengembangan lainnya. Belum ada sertifikasi guru-guru muadalah dan dana BOS.

Kedelapan, penyelenggara muadalah telah melakukan proses-proses penilaian baik harian, mid semester, semester dan ujian muadalah. Saat lulus santri memperoleh ijazah atau syahadah dari pondok pesantren. Masih ada kendala lulusan muadalah untuk masuk ke perguruan tinggi.

Kesembilan, kebutuhan prioritas dalam penyelenggaraan satuan pendidikan muadalah yang belum terpenuhi adalah kurikulum pendidikan umum, kompetensi pendidik pendidikan umum, tenaga kependidikan pustakawan, pembiayaan, dan akreditasi. 

Dari temuan di atas, Puslitbang Penda dan Balitbang Kemenag RI merekomendasikan;

Pertama, pemerintah tidak memaksakan standarisasi pendidikan keagamaan tetapi mendorong pesantren untuk mengembangkan dan mempertahankan secara mandiri sesuai ciri kekhasan masing-masing satuan muadalah. Kedua, aspek kurikulum; Pemerintah perlu segera membuat pedoman penyusunan standar  isi mata pelajaran pendidikan umum khas bagi satuan pendidikan muadalah yang berbeda dengan standar isi satuan lainnya.

Ketiga, aspek tenaga pendidik. Tenaga pendidik perlu mendapatkan hak yang sama dalam sertifikasi guru, peningkatan pendidikan dan pelatihan, program penyetaran guru melalui program beasiswa bagi guru-guru yang tamat SMA/MA, dan perlu dibuatkan pembuatan nomor induk guru/DAPODIK pada umumnya.

Keempat, aspek ketenagaan. Pemerintah menyediakan tenaga kependidikan, dan memberikan pelatihan khusus serta beasiswa pendidikan. Kelima, aspek santri. Perlu dibuat  aturan khusus bagi santri yang hanya mengikuti muadalah/tafaqquh fiddin tetapi tidak untuk mencari ijazah, yaitu mengikutsertakan santri/siswa dalam pendataan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN). (Husni Sahal/Kendi Setiawan)

Baca Kajian Keagamaan lainnya DI SINI