Oleh Pamanah Rasa
“Aku ingin naik kereta...,” katamu suatu ketika.
“Kapan?” tanyaku
“Sekarang!”
“Sekarang?
“Ya. Sekarang!”
“Belum pernah naik kereta ya?”
“Belum pernah! Makanya aku ingin mencobanya sekarang. Dan tentunya bersamamu.”
“Kamu tidak takut kereta tabrakan? Sekarang kan musim kereta tabrakan....”
“Asal bersamamu, tak apa-apa...”
Saat itulah aku mencuri pandang, menebak wajahmu. Entah kenapa aku ingin mencari persesuaian antara kata yanga diucapkan dengan raut wajahmu; mata itu, alis itu, hidung itu, bedak yang bercampur keringat dan tahi lalat di pipimu. Tapi aku tak bisa membacanya.
Aku dan kamu pergi ke stasiun kereta.
Ternyata kereta yang ditumpangi itu sudah rongsokan. Tubuhnya sudah berkarat dan mengelupas. Pintu dan jendelanya sudah tidak berfungsi. Lantainya kotor tak terurus. Dindingnya penuh coret-moret. Maklum kereta ekonomi. Penghuninya adalah orang-orang kere. Muka mereka kemerahan karena dilumuri sisa keringat siang yang mengendap.
Aku dan kamu berdiri dekat ambang jendela karena tak tersisa satu kursi pun. Penumpang lain pun banyak yang berdiri.
Suara mesin lokomotif terengah-engah berpadu dengan suara pedagang asongan yang lalu-lalang menawarkan makanan ringan, ratap pengemis, suara pengamen dengan suara berat, dan suara orang yang bicara dengan temannya. Kamu kelihatan senang dengan suasana kereta seperti itu. Mungkin kamulah satu-satunya penghuni kereta yang menikmati suasana.
Laju kereta berguncang-guncang. Penumpang oleng ke kiri dan ke kanan. Kadang-kadang pundak mereka bersinggungan. Tubuhku dan tubuhmu pun beradu seirama dengan guncang kereta. Aku menggenggam tanganmu. Kamu menggenggam tanganku. Erat-erat.
"Kemana tujuan kita?" tanyaku.
"Sudah kubilang kemana saja kereta ini pergi. Aku naik kereta bukan untuk pergi kemana, tapi ingin naik kereta saja, dan tentunya bersamamu. Itu tujuanku!” katamu tegas.
Aku tesenyum.
“Ah, betina!” bisikku dalam hati.
Kemudian aku tak banyak bicara. Sementara kamu terus membaca suasana kereta. Tanganku dan tanganmu tetap saling menggenggam. Mungkin jemariku dan jemarimu yang bercakap...
Stasiun-stasiun terlampaui. Sawah-sawah, rumah-rumah, tiang-tiang listrik, telepon dan pohon-pohon melambai-lambai.
Waktu menjelang senja. Matahari jingga di barat. Kereta ini seperti ingin menuju matahari jingga itu sebagai stasiun terakhir.
“Kereta tahun berapa ini?” tanyamu
“Ah, buat apa bertanya itu.” Jawabku.
“Kalau begitu, aku harus bertanya apa dong?”
Aku terdiam. Kamu terdiam.
“Hei, lihat coret-moret itu!” katamu sambil menunjuk dinding kereta yang penuh coret-moret warna-warni. Ada nama-nama sekolah, tulisan konyol, kalimat sindiran, karikatur, nama-nama group musik yang ditulis penggemar fanatiknya, nama-nama lain yang tak dikenal, dan tulisan-tulisan yang entah apa namanya.
“Iya, memang kenapa? “
“Tuliskan sesuatu untukku, untukmu, dan kereta...!”
“Apa yang harus kutuliskan?”
“Terserah. Pokoknya tentang aku, kamu dan kereta!”
Aku berpikir sebentar. Aku ingat di tasku ada spidol besar. Kemudian aku menulis di dinding kereta itu seperti ini, “aku, kamu, dan kereta”.
“Tanggal berapa sekarang?” tanyaku.
“Tanggal 10 Maret,” jawabmu.
Kemudian aku menorehkan tanggal, bulan, dan tahun di bawah kata-kata itu.
Kamu memperhatikan tulisan yang baru saja kucipta. Aku tak bisa menebak pikiranmu. Beberapa orang penumpang juga ikut memperhatikan kata-kata itu. Mungkin mereka membacanya dalam hati. Tak lama kemudian mereka mengalihkan pandangan. Barangkali menyesal membaca tulisan itu karena bukan firman Tuhan, bukan sabda Nabi.
Kemudian kamu meminjam spidolku. Kuperhatikan jemarimu mencipta huruf-huruf per huruf. Ternyata kamu menorehkan namaku dan namamu di bawah tulisan itu. Kamu tersenyum. Aku tersenyum. Kamu menatapku. Aku menatapmu. Dua bola mata saling pandang. Adu kekuatan. Tiba-tiba tanganmu mencubit perutku. Aku kegelian. Orang-orang memperhatikan. Tapi aku dan kamu tak mempedulikan mereka. Kereta ini serasa milik berdua. Bukan milik departemen perhubungan...
Kamu menyerahkan spidol itu. Kemudian aku langsung menyimpan kembali ke dalam tas.
Kereta berjalan merayap di jalan besi menyeret gerbong-gerbong. Seperti ular. Jika mendekati stasiun, kereta menjerit, melambat, kemudian berhenti. Beberapa penumpang turun. Tergesa-gesa. Takut terbawa ke stasiun lain. Beberap calon penumpang masuk. Tergesa-gesa. Takut ketinggalan. Ambang pintu jadi lahan berdesak-desakkan. Kadang ada yang kakinya terinjak. Orang tidak saling mengenal saling memaki.
Stasiun-stasiun terlampaui. Sawah-sawah, rumah-rumah, tiang-tiang listrik, telepon dan pohon-pohon melambai-lambai.
Di luar, orang-orang yang kebetulan melihat kereta melintas, sejenak memperhatikan. Padahal mereka tiap hari melihatnya. Tetapi selalu ada kekuatan yang memaksa mereka untuk melihat. Seperti ada sesuatu yang entah apa namanya yang membuat mereka untuk menoleh. Kereta hari ini seperti bukan kereta kemarin. Selalu terasa baru. Anak-anak berteriak. Meloncat-loncat. Mereka melambai-lambaikan tangannya. Padahal kereta tak mungkin berhenti dan tak akan memberi apa-apa. Penghuni kereta ada yang membalas sambil tersenyum. Anak-anak begitu senangnya. Setelah anak-anak jauh, orang yang membalas lambaian terdiam lagi seperti semula.
****
Aku tak pernah menyangka jika kemudian kamu keranjingan naik kereta. Bukan untuk pergi ke suatu tempat, tetapi kereta itulah tujuanmu. Setelah sampai di stasiun terakhir, kembali lagi ke stasiun pertama. Kemudian kembali lagi.
Begitulah, kamu selalu ingin naik kereta. Dan, selalu ingin bersamaku. inilah yang membuatku bingung. Sebenarnya aku selalu ingin bersamamu, tapi bukan di kereta...
“Aku ingin naik kereta lagi,” katamu suatu ketika, “dan tentunya bersamu!”
Aku menemanimu dengan senang hati.
“Aku ingin naik kereta lagi. Kereta itu asyik,” katamu di lain waktu,“ dan tentunya bersamamu!”
Aku menemanimu masih dengan senang hati.
“Luar biasa! Kereta itu benar-benar luar biasa. Aku ingin naik kereta.”
Aku masih bisa menamani.
“Ada waktu nggak untuk menemaniku naik kereta?”
Aku tak bisa menolak permintaanmu
“Temani aku naik kereta, ya!”
Aku menolak dengan halus. Karena aku sudah bosan untuk menemanimu naik kereta.
“Nggak apa-apa, sekarang aku sendirian saja. Aku tahu, suatu saat pasti kamu menolakku. Dan inilah waktunya.”
Kamu sekarang pergi sendirian.
Tapi kemudian kamu punya keinginan lain yang membuatku tak kalah bingung juga. Aku harus mendengarkan ceritamu tentang kereta. Selalu saja ada yang kauceritakan tentang kereta. Tentang penumpang-penumpangnya, pengamen-pengamen, pengemis, pencopet, petugas pemeriksa karcis. Dan aku adalah pendengar setia.
“Kereta adalah tempat belajar hidup,” katamu suatu waktu setelah bercerita tentang suasana kereta.
“Aku adalah kereta,” katamu di lain waktu, “Seandainya ada tempat bermukim, aku ingin tinggal di kereta. Dan bahkan kalau aku mati, ingin dikuburkan di kereta.”
Begitulah kamu: kereta, kereta, kereta!
Penulis adalah Nahdliyin, tinggal di Bandung