Oleh Hesti Wahyu Damayanti
Angin laut menerpa mukaku lewat daun jendela yang terbuka. Aku bukan burung kakaktua memang, tapi setiap sore sering berdiam diri di depan jendela kamarku. Menatap hamparan sawah luas yang terbentang di bawah sana, gumpalan awan-awan bergelayutan di langit senja, semburat cahaya merah menuntun burung-burung belibis pulang ke sarangnya.
<>Sementara anak-anak kecil belum puas juga menyepak bola di tegalan bekas panen padi. Ah, pemandangan ini terlalu indah.
Sering orang-orang yang lewat menanyakan sedang apa aku di depan jendela. Tapi mereka selalu tertawa setelah mendengar jawabanku.
“Aku sedang menatap hamparan sawah menguning,” atau “Aku sedang memperhatikan anak-anak bermain di tegalan.”
Apa yang lucu dari jawabanku?
Lain halnya dengan ayah. Saat aku menunjukkan keindahan alam di luar jendela. Ia selalu tersenyum tulus tanda setuju pendapatku. Kemudian ia pasti membelai rambut panjangku. Lalu mencium keningku. Entah kenapa kadang kudengar pula isak ayah setelah mendengar pendapatku tentang alam. Mungkin terharu karena alam yang sesungguhnya tak seindah khayalanku. Atau mungkin sebaliknya, ia menyayangkan aku tak dapat melihat alam yang lebih indah.
Entahlah, hal paling misterius di dunia ini adalah senyuman ayah.
Setiap pagi ayah mengantarku ke sekolah luar biasa yang murid-muridnya juga luar biasa. Termasuk diriku. Sudah hampir 12 tahun menetap di sekolahan ini. Tantu saja sejak SD, SMP, hingga SMA. Aku bingung kenapa ayah rela mengeluarkan banyak uang untuk menyekolahkanku. Dan aku yakin ayah pasti akan memasukkan aku ke perguruan tinggi setelah tamat nanti.
Tapi, mana mungkin ada universitas yang menerima anak cacat? Sekalipun ada, mau jadi apa aku? Sarjana-sarjana yang normal saja banyak yang pengangguran, apalagi cacat? Aku benar-benar pesimis masa depanku. Iri dengan anak normal pastilah ada, tapi inilah yang Allah berikan. Bagaimanapun, aku harus tetap syukur atas pemberian-Nya. Aku sadar, bersyukur adalah tersulit dilakukan.
Kadang, merasa tak ada gunanya Tuhan menciptakan aku. Meskipun aku tahu, tak hanya aku yang terlahir tunanetra. Tapi tunanetra mereka dengan kelebihan tertentu. Ada yang pandai bermusik, menyanyi, menari, atau melukis. Sedang aku tak memiliki kelebihan apa pun. Malah di tambah kekurangan: gagap. Lidahku kelu.
“Siapa bilang kamu tak memiliki kelebihan, Sayang? Kamu mampu melihat sesuatu yang tak orang lain lihat. Kamu bisa melihat segala sesuatu dengan nuranimu. Kamu juga pandai dalam pelajaran-pelajaran di sekolah. Dengan bersyukur atas pemberian-Nya, maka kamu dapat merasakan kelebihan dari kekurangan,” kata ayah menguatkan, setiap kali mengeluh keadaanku.
Suatu ketika, aku bertanya kepada ayah.
“Ayah, apakah aku cantik seperti ibu?”
Padahal aku sama sekali belum pernah berjumpa ibu. Jangankan ibu yang langsung dipanggil ilahi setelah melahirkanku, wajah ayah yang selalu disampingku pun tak tahu. Bahkan dengan wajahku sendiri.
“Sangat cantik. Bahkan lebih cantik dari ibumu,” jawab ayah.
“Ayah, mungkinkah suatu hari nanti ada laki-laki yang jatuh hati kepadaku?”
“Setiap makhluk diciptakan berpasang-pasangan, Nak. Jadi pastilah kamu bertemu jodohmu.”
“Meskipun aku cacat?”
“Setiap manusia dicipta dengan kekurangan dan kelebihan, Nak. Kalaupun Allah tidak berkenan mempertemukan jodohmu di dunia, pasti mempertemukannya di surga.”
“Terus, apa yang ayah harapkan dariku?”
“Ayah berharap engkau selalu tersenyum untuk ayah.”
“Hanya itu?”
“Ya, karena senyumanmu itu bisa membuat ayah bangga memilikimu.”
Jawaban ayah cukup menenangkan dan mengembalikan aku berkonsentrasi menikmati indahnya dunia di balik jendela kamarku. Jika aku bosan memandang peristiwa di balik jendela, aku menemui ibuku dalam gulita. Meski tanpa kata-kata yang tercipta di antara kita, tapi aku tahu kasih sayang ibu selalu mengalir dalam darahku. Aku pun merasakan hangatnya dekapan ibu dalam kesunyian. Aku juga mendengar ibu selalu berbisik.
“Ibu menyayangi kamu.”
Ibu, tidak hanya dalam gelap ini aku menatapmu. Tapi di surga nanti, aku janji tak akan melepaskan pelukanmu.
Satu hal membuatku kecewa.
“Ayah, beri tahu aku sejujurnya, apa yang ada di balik jendela kamarku?”
“Ayah tak ingin merusak lukisan indah yang terukir dalam jiwamu.”
“Tak apa, Ayah. Katakan saja sebenarnya!”
“Baiklah. Di balik jendela itu hanya ada jalan setapak dan sebuah tembok tinggi yang memisahkan kompleks perumahan kita dengan TPU, tempat ibumu dibaringkan.”
“Jadi, suara-suara anak kecil itu? Kicauan burung itu? Gemericik air itu?”
“Ya, semua tidak nyata, mereka hanya tumbuh dalam imajinasimu yang hebat.”
“Adakah di dunia ini pemandangan seperti itu, Yah? Jika suatu hari nanti Allah memberiku keajaiban untuk kedua mataku, aku ingin melihatnya langsung.”
“Dulu memang tak sulit menemukan keindahan seperti itu. Tapi sekarang berganti, kau pasti sakit hati jika melihat kenyataan ini. Sawah, ladang, hutan, bahkan bukit-bukit, semua rata, semua lenyap, berganti dengan bangunan-bangunan megah. Setiap pemusnahan alam selalu berdalih untuk pembangunan.”
“Untung oksigen masih berkeliaran secara bebas ya, Yah?”
“Ahaha…, kamu bisa saja. Untuk antisipasi jika nanti oksigen habis, kita berburu oksigen saja. Memenuhi kantong-kantong plastik yang kita punya.”
Ah, Ayah memang suka bergurau. Tapi suatu hari di depan jendela, air mataku mengalir, menyesali pertanyaanku tentang di balik jendelaku. Ternyata, begitu sempit pemandangan orang normal. Aku bisa memandang alam yang indah di balik, sedangakan orang normal hanya melihat tembok kokoh.
Menjelang tidur, kukumpulkan serpihan-serpihan kisah di balik jendela. Kisahku di sekolah, serta kata-kata bijak ayah yang lembut penuh makna. Antara imaji dan realita, aku jalin jadi satu kisah dalam buku diary dengan titik-titik braile yang mengikat erat kisah itu sebagai impian dan harapan hingga memupuk keyakinanku untuk mencapai semua. Aku akan selalu yakin bahwa di balik jendela kamarku adalah hamparan sawah yang terbentang luas. Kelokan sungai yang mengairi sawah, langit yang cerah, dan nyanyian alam yang selalu berdendang melantunkan lagu syukur kepada Sang Pencipta. Begitu pula keyakinanku akan masa depan. Aku harus optimis untuk jadi orang sukses. Karena aku diciptakan luar biasa.
Di Balik Jendela Kamarku adalah Juara II kategori cerpen pada sayembara penulisan kreatif yang digelar Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama (IPPNU) 2012. NU Online telah memuat cerpen Juara I pada Ahad lalu. Dan akan memuat Juara III, serta beberapa nominasi juara, tiap akhir pekan.
Hesti Wahyu Damayanti adalah siswi Sekolah Menengah Atas Negeri I Batang, Jawa Tengah.
Terpopuler
1
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
2
Kenaikan PPN 12 Persen Berpotensi Tingkatkan Pengangguran dan Kolapsnya UMKM
3
Kisah Inspiratif Endah Priyati, Guru Sejarah yang Gunakan Komik sebagai Media Belajar
4
Ketum PBNU Respons Veto AS yang Bikin Gencatan Senjata di Gaza Kembali Batal
5
Bahtsul Masail Kubra Internasional, Eratkan PCINU dengan Darul Ifta’ Mesir untuk Ijtihad Bersama
6
Menag Penuhi Undangan Arab Saudi untuk Bahas Operasional Haji 2025
Terkini
Lihat Semua