Cerpen MUYASSAROH HAFIDZOH

Dia

Ahad, 6 Oktober 2013 | 08:00 WIB

Pertama kali aku melihatnya disebuah acara. Saat itu aku menjadi fasilitator dan dia menjadi peserta. Entah kenapa hati ini selalu mengajak mata untuk kembali menatapnya. Lagi dan lagi. 
<>
Apalagi saat dia aktif dalam diskusi. Suaranya terdengar merdu bagiku. Baru kali ini aku merasakan sesuatu pada seorang gadis. Entah apa namanya, namun aku begitu tertarik ingin mengenalinya.

Mungkin karena aku termasuk laki-laki yang tidak memiliki pengalaman dalam hal pacaran atau persoalan cinta, niat untuk mendekatinya menjadi selalu terhalang oleh perasaanku sendiri. Bingung mau mendekatinya bagaimana.

Berhari-hari bahkan sampai berbulan-bulan aku tak jua bertemu gadis itu kembali. Perasaan kangen mulai merasuki mimpi-mimpiku. Beberapa malam aku memimpikannya. Dia tersenyum manis, lesung pipitnya terlihat seperti danau indah. Ah... kenapa aku jadi puitis seperti ini. Benar kata para penyair bahwa cinta itu memang indah. Lho, apakah aku sudah jatuh cinta padanya.
----
“seperti melati kulitnya yang keperakan--

Sebuah patung suci

Tetapi diamlah dia sebagaimana hanya bentuk lukisan

Dia menentang semua dengan sindiran

Dia tidak punya mulut--apa lagi yang dapat dia lakukan?

Dia tak dapat bercakap-cakap,

Orang yang tak beriman itu

Satu kedipan mata telah menjadi penerjemahanya

Ringkasnya, matahari yang menghiasi dunia

Dengan cantik yang warna-warni di dalam kesamaan adalah satu

Kecuali cantik berbicara--itu sangat berbeda

Sementara bisu adalah mawar ini dengan bau harum bunga melati.”

Puisi ini adalah kalimat pertama yang aku kirimkan kepadanya lewat emailnya, yang kebetulan aku menyimpannya ketika kami bertemu pertama kali.

Aku tak menyangka dia membalas emailku:

“Siapa ini? Kenapa mengirim puisi Rumi?”

Begitu terkejut, dia mengenal puisi ini. Aku semakin mengaguminya.

“Aku Zainal, kamu suka puisi ini? Boleh tahu bagaimana pemaknaanmu terhadap puisi tersebut?”

Dia kembali membalas:

“Maksudku, apa kita pernah ketemu, kenalan atau kamu teman lamaku? Seingatku aku punya teman Zainal tapi lupa nama panjangnya siapa. Buat apa aku harus memaknai puisi itu?”

“Iihhh... ni gadis sedikit menyebalkan juga, kenapa selalu melempar pertanyaan yang sulit ku jawab. Aku sedikit berpikir panjang untuk menjawabnya.”
---
Siang ini aku berencana untuk ke toko buku, karena bagaimanpun aku butuh informasi buku-buku terbaru untuk melengkapi refrensiku. Tak kusangka aku kembali menemukannya, mata ini kembali menatap dengan penuh harap. Dia berdiri dengan memegang buku berjudul “Kimya”, aku pelan-pelan mendekatinya.

“Mbak, maaf aku yang beberapa bulan mengirim email sama mbak,” kataku dengan penuh kegrogian. Dia terkejut dan menatapku, rasanya baru kali ini dia menatapku setelah sekian lama aku selalu menatapnya.

“Email? Yang puisi itu? Lho kamu kan mas Zainal yang di pelatihan waktu itu kan?” tanyanya. 

Aku mengangguk.

----
Setelah pertemuan itu hubungan kami semakin dekat. Komunikasi kami sangat lancar, walaupun melalui email namun perasaan ini semakin dekat dan semakin jatuh cinta padanya. Kami selalu berdebat panjang tentang segala hal, dari mulai hal terkecil sampai pada hal serius. Pernah saat itu kami mendiskusikan tentang sebuah buku berjudul “Musyawarah Buku” yang ditulis oleh Khalid Abou El Fadl. Dia terlihat penasaran dengan buku itu, karena aku menceritakan keunikan dari isi buku tersebut. Dia sudah mencari-cari di toko buku dan tidak mendapatkan buku tersebut akhirnya dia memintaku untuk meminjamkan buku itu. Berarti aku kembali bertemu dengannya. Wah senang sekali rasanya.

Siang itu, aku menemuinya kembali di toko buku. Ya pertemuan kami selalu di toko buku. Setelah beberapa saat kami berbincang aku mengajaknya untuk minum es teh di angkringan depan, di sanalah aku mengatakan sesuatu yang belum pernah sama sekali aku mengatakan kepada perempuan manapun.

“Aku menyukaimu Hanna, sejak pertama kita bertemu. Maukah kamu menjadi pendamping hidupku.” 

Dia terbelalak dan terkejut, bahkan bapak angkringanpun menatap kami. Aku melihat dia menoleh ke kanan dan ke kiri, apakah dia malu atau apakah aku tidak tepat mengungkapkan perasaanku.

“Maaf mas Zen, ini mendadak sekali. Aku tidak mengerti maksud sampean,” katanya.

“Maaf mas, aku permisi mau pulang dulu, assalamualaikum,” katanya langsung meninggalkanku.

“Mas....., mas....., nembak cewek koq ning angkringan.” Tiba-tiba bapak angkringan nyelutuk semacam itu. Aku pun pura-pura tidak mendengarnya.
---
Aku berencana meminta maaf padanya. Belum sempat email aku kirim, aku sudah menerima email darinya:

“Mas Zen, maaf tadi Hanna langsung pergi. Hanna hanya kaget dan tidak percaya. Selama ini komunikasi kita hanya lewat email dan Hanna berbicara langsung dengan mas Zen juga baru tiga kali, lalu kenapa siang tadi mengutarakan perasaan mas. Maksud menyukai dan mencintai itu apa? Hanna tidak mengerti.”

Aku segera menelponnya,

“Hanna, maafkan mas juga, tidak sopan mengungkapkan perasaan ini di angkringan, namun aku benar-benar menyukai, mencintai dan menyayangimu. Layaknya Muhammad pada Khadijah, Ali pada Fathimah. Sungguh, niatku ini tulus. Maaf, aku memang tidak pandai mengukir kata, namun yang ingin aku sampaikan bahwa maukah Hanna menjadi istri mas? Menjadi ibu anak-anak kita?” aku mendengar tangisan darinya. Aku semakin takut, takut melukai hatinya.

“Mas, aku juga mencintaimu. Entah kenapa cinta ini tumbuh dari komunikasi kita selama ini, namun mas jika kamu memintaku menjadi istrimu. Coba tanyakan kepada kedua orang tuaku. Karena aku tidak akan menikahi seseorang tanpa restu dari mereka,” seketika aku memanjatkan syukur. 

“Oke, akan aku temui mereka.”
---
Sebulan kemudian.

"Kenapa secepat ini? aku mencintaimu, tapi kenapa harus menikah besok?" katanya saat aku menelponnya.

"Aku masih muda, aku masih ingin aktif di kampus di organisasi di pesantren," terdengar tangisannya.

"Ade., sayang.. ini yang terbaik yang diberikan Gusti Allah, bapak dan ibu hanya ingin menjaga hubungan

kita tetap suci. Awalnya mas juga merasakan berat, ade tau mas bukan orang kaya, mana bisa mas memiliki uang cukup untuk pernikahan kita dalam waktu satu hari," kataku. 

"Lalu kenapa mas setuju dengan permintaan bapak?" tanyanya. 

"Karena beliau orang tuamu, orang yang telah membesarkanmu, dan pasti orang yang paling tau akan kebaikan apa bagimu," kataku menenangkannya. 

"Tapi aku masih muda, aku takut, aku gak bisa menjadi istri yang baik untukumu, aku juga masih mau melanjutkan kuliah," katanya. 

"Apapun yang kamu citakan, aku akan selalu mendukungmu, yakinlah padaku, sayang.. ini terbaik untuk kita. doakan mas bisa menjadi suami yang baik untukmu ya, kita akan sama menjadi pasangan yang saling melengkapi," kataku. 

"Sudahlah jangan menangis, sekarang istirahatlah dalam mobil, supaya besok ketika kita bertemu, mata indahmu tidak sayu." 

Aku harus menenangkan dia, dia tidak boleh sedih ataupun menyesal dengan keputusan yang tiba-tiba ini. Sebenarnya besok aku ingin mengkhitbahnya secara resmi bersama orang tuaku, namun tiba-tiba pagi tadi aku ditelpon orang tuanya kalau besok langsung akad nikah.

“Dek, tahu tidak? Aku tidak punya baju bagus untuk acara esok. Oh ya cincin pernikahan kamu yang beli ya, mas kirim uang kerekeningmu. Pilih yang terbaik, kalo uangnya tidak cukup, pinjem dulu ya, hehe. Eh ya satu lagi, mas belum bisa beli mahar yang kamu inginkan. Harga al-Mishbah cukup mahal, kira-kira bisa ngutang dulu gak ya ketika ijab, nanti kalo honor tulisan turun mas segera beli, hehe,” kataku melalui sms, untuk kembali menghiburnya.

“Masalah itu gampang mas, yang penting kamu hafal kalimatnya, mungkin ada perubahan (dibayar tunai) menjadi (dibayar nunggu honor turun), hehe... love u, sayang, semoga besok aku menjadi yang paling cantik di matamu.”  

Aku pun kembali membalas, “Ah kenapa harus nunggu besok, kemaren dan sekarang pun kamu yang paling cantik untukku, love u too..”


23 Mei 2013

MUYASSAROH HAFIDZOH, lahir di Cirebon 25 Januari 1988. Pernah juga aktif di Komunitas Coret LKiS.