Cerpen CERPEN A ZAKKY ZULHAMI

Khutbah Terakhir

Ahad, 10 Februari 2013 | 10:52 WIB

Warga desa Mangkujayan tidak pernah menduga jika Mbah Arya ada di balik semua kasus kehilangan beras yang terjadi akhir-akhir ini. Sama tidak menduganya jika khutbah tadi siang adalah khutbah terkhir Mbah Arya.
<>
Bagaimanapun  Mbah Arya adalah tumpuan hidup warga Mangkujayan. Terutama untuk bertanya ini itu soal agama atau perihal kearifan hidup. Mbah Arya hanya satu dan satu-satunya. Di Mangkujayan, sekolah tersedia sampai tingkat sekolah dasar belaka. Hampir seluruh warga desa kecil ini enggan bersekolah. Maka keberadaan SMP dan SMA tak ada gunanya. Warga berpikir, untuk apa sekolah jika ujungnya hanya akan turun ke sawah atau ladang. Maka, SMP dan SMA yang pernah berdiri di Mangkujayan pelan tapi pasti ditutup lantaran  kehabisan murid.

Adapun Mbah Arya adalah kekecualian. Sejak kecil ia sudah dikirim ayahnya merantau ke timur Jawa untuk mencari ilmu. Saat itu hanya ayah Mbah Arya yang sanggup dan sadar untuk menyekolahkan anaknya. Ayah Mbah Arya adalah juragan tembakau. Jadi wajar jika ia bisa kirim anaknya untuk mengais ilmu di tanah rantau. Barulah saat menginjak usia 25 tahun Mbak Arya kembali ke Mangkujayan. Kala itu, tak satupun remaja putri di Mangkujayan yang tidak tenggelam dalam pesona saat melihat lelaki matang itu melintas. Ia terlalu gagah dan kharismatik untuk anak seusianya. Namun akhirnya Mbah Arya muda menjatuhkan pilihan hanya kepada satu perempuan: Rohani, si kembang desa yang pandai mengaji.

**

Desa Mangkujayan dilanda paceklik beberapa minggu terakhir. Paceklik kali ini amat parahnya. Padi di sawah tak ada yang tumbuh, begitupun buah-buah di kebun dan tanaman di ladang. Sumber air mengering. Dan hujan seperti sangat enggan menyentuh bumi. Celakanya, tak hanya desa ini saja yang dikepung paceklik, desa-desa tetangga pun bernasib sama. Tak ayal, kelaparan mengepung. Seorang bayi berumur tiga hari meregang nyawa lantaran ibunya tidak bisa mengeluarkan air susu untuknya. Si ibu menangis tiga hari berturut-turut. Itu adalah anak pertamanya setelah sembilan tahun menanti.

Masa-masa sulit tampaknya juga turut mengacaukan pikiran beberapa warga. Karena tak kuat menahan lapar, tiga orang warga gantung diri. Lik Parno ditemukan Jumat pagi di pohon mangga tua tak berdaun di balakang rumahnya. Mas Mardi melotot menyeramkan dan tergantung pada lilitan sprei kumal di dalam kamarnya yang terkunci ketika hari beranjak senja hari Selasa. Dua hari berikutnya, seorang warga menemukan Yu Minul kendat di hutan jati tepi desa.

Kekalutan menyebar. Secarah apapun matahari terbit tiap pagi, warga Mangkujayan hanya tahu jika sejak pagi hingga malam langit suram. Gono, seorang lelaki paruh baya yang tak lagi punya beras, memutuskan untuk datang ke rumah Mbah Arya. Berharap menemukan jawaban atas keadaan buruk ini.

“Mbah, sebenarnya di mana Tuhan berada? Adakah ia melihat kita yang berhari-hari kelaparan?”

Mbah Arya terhenyak. Tak mengira jika ada seorang yang bertanya seperti itu padanya. Mbah Arya menghirup nafas panjang lalu berujar.

“Tuhan ada di mana-mana. Tinggal kau ingin menhadirkan dalam dirimu atau tidak. Kau mau meletakkan Tuhan di dalam hatimu apa tidak?”

“Apakah dengan menghadirkan Tuhan kita bisa kenyang? Apakah dengan meletakkan Tuhan dalam hati, paceklik ini akan usai?”

Lagi-lagi Mbah Arya seperti ditohok. Warga satu ini cerdas juga, kata hatinya. Padahal SD saja Gono tidak lulus.

“Kelaparan dan kekeringan ini adalah ujian bagi kita. Jika tidak ujian kita tidak akan naik kelas.”

Gono tertunduk. Ia seperti tidak puas dengan jawaban Mbah Arya.

“Mbah, sepertinya kita tidak butuh naik kelas atau tidak. Melihat tiga warga yang gantung diri karena putus asa saja sudah menampar kita.”

Lalu hening. Keduanya diam. Udara memadat. Suntuk dengan pikiran masing-masing.

“Mbah saya pamit pulang,” Gono berjalan lunglai.

“Tunggu dulu, Gon. Menurutmu apa yang harus saya lakukan? Apakah saya harus mengumpulkan warga di lapangan dan mengajak mereka berdoa bersama di lapangan meminta hujan? Atau apa?”

“Mbah, saya memang jarang bersembahyang, tapi bukan berarti saya tidak percaya doa. Jika keadaan sudah begini buruk, kita sudah seharusnya melakukan gerakan nyata.”

“Gerakan apa itu?”

“Hari ini yang tidak punya beras seperti saya ini banyak, Mbah. Yang sumurnya kering juga tidak sedikit. Saya membayangkan, jika semua beras yang masih dimiliki warga dikumpulkan di satu tempat. Lalu dibagi rata ke semua warga. Begitu juga dengan air. Yang sumurnya masih keluar, harus mau sumurnya jadi sumur bersama. Pak Kades dulu pernah beli slang panjang. Itu bisa dipakai untuk menyalurkan air ke tempat-tempat jauh. Istilah gampangnya, kalau lapar, kita lapar bareng. Kalau kenyang, kita kenyang bareng.”

“Itu ide bagus sekali, Gon. Saya sepakat.”

“Tapi suara saya ini tidak akan didengar, Mbah. Saya cuma kawula alit.”

“Begini saja, biar saya yang ngomong ke Pak Kades dan di depan warga. Semoga idemu itu bisa terwujud.”

“Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Mbah.”

**

Bersama angin musim kering, kabar Mbah Arya ingin mengumpulkan warga di lapangan di desa cepat tersebar. Dalam hati warga, kabar ini menerbitkan harapan. Apa yang akan disampaikan Mbah Arya jadi bahan tebak-tebakan. Yang pasti Mbah Arya tidak akan membagikan uang atau sembako di acara nanti. Warga tahu itu.

Hari masih pagi. Embun-embun tertinggal di badan daun. Satu dua burung berseliweran di udara. Wajah-wajah kuyu itu satu persatu berjalan menuju lapangan. Mereka duduk meleseh. Tak lama kemudian Mbah Arya berjalan pelan memasuki lapangan bersama Pak Kades.

“Warga Mangkujayan yang saya cintai,” kata Mbah Arya lirih, suasanan senyap, “kita sama-sama sadar jika desa ini sedang diberi cobaan berupa kekeringan dan kelaparan. Yang bisa lakukan selain berserah diri kepada Tuhan, adalah melakukan tindakan nyata untuk bertahan di masa-masa sulit ini. Saya memiliki pemikiran untuk mengumpulkan semua beras yang tersisa di rumah kalian dan dibagi rata kepada masing-masing warga. Kita kenyang bersama, lapar pun bersama. Air pun harus kita bagi. Sumur-sumur pribadi yang masih mengeluarkan air harus jadi sumur bersama. Jika ini kalian setujui, maka tugas Pak Kades untuk memimpin dan menjamin upaya kita bersama ini berjalan lancar. Terima kasih.”

Mbah Arya mengakhiri kata-katanya dan warga menyambutnya dengan tepuk tangan gemuruh. Matahari telah terbit kembali, pikir warga. Saking semangatnya, sampai ada yang berteriak: hidup Mbah Arya! Di tengah hiruk pikuk itu, ada seseorang yang terbakar hatinya: Gono. Tak disebut sekalipun namanya oleh Mbah Arya. Seolah ide itu lahir dari tempurung kepala Mbah Arya sendiri. Amarahnya reda demi melihat wajah-wajah sumringah warga. Tak mengapa bukan ia yang muncul, setidaknya ia sudah memberi masukan. Ia telah berarti bagi orang banyak. Dan hanya ia yang tahu.

Hari-hari berikutnya menjadi hari yang sibuk bagi desa Mangkujayan. Beras-beras dikumpulkan lalu dibagi rata kepada warga. Mulanya mereka yang dari kalangan kaya tampak kurang rela persedian berasnya berkurang. Tapi semua rasa tak ikhlas luruh oleh kharisma Mbah Arya.

Air pun dibagi rata. Untuk memasak, minum, mandi dan yang lainnya kini tercukupi. Pak Kades bisa tersenyum. Beberapa kali ia menemui Mbah Arya untuk mengucap terima kasih dan melaporkan perkembangan. Masa-masa buruk menguatkan kebersamaan. Hati yang dipenuhi semangat kebersamaan mendorong warga untuk berbuat lebih. Belakangan tak hanya beras dan air yang dibagi rata. Sayur dan buah yang dimiliki warga pun dibagikan. Juga makanan lain, kebutuhan lain. Semua dinikmati bersama. Boleh jadi persedian mereka sangat tipis, tapi karena sama-sama senasib mereka bisa terima.

Sampai suatu pagi yang dingin, Mbak Wati berteriak di depan rumahnya. Beras persediaannya raib! Pintu dapurnya menganga. Warga datang berkerumun dan terhenyak. Sebagaian di antara mereka bertanya dalam hati, begitu tegakah Tuhan memberi cobaan di tengah masa sulit begini? Disambung lagi pertanyaan: siapa pula yang sekejam ini: mencuri persedian beras terakhir musim kering?

Pak Kades datang ke rumah Mbak Wati, menenangkan tangisnya. Mbah Arya juga datang. Memberi bantuan sedikit beras. Ada sesungging senyum di bibir Mbak Wati, meski getir adanya. Sayangnya, Mbak Wati bukan yang terakhir. Kasus kehilangan beras juga menimpa Mbah Giyo, Lik Diman dan beberapa warga lagi. Ada Mbak Arya di setiap kehilangan, memberi bantuan. Cinta warga terhadap Mbah Arya kian membesar.

Suatu siang yang terik Mbah Arya pingsan di depan rumahnya. Masa paceklik belum berakhir. Mbah Arya belum makan seharian. Warga berbondong-bondong mendatanginya. Membawa apa saja yang bisa diberikan untuk Mbah Arya.

“Terima kasih, terima kasih, saudaraku,” kata Mbah Arya lirih.

**

Semua baik-baik saja, hingga pada suatu malam sunyi dan berangin Gono gelisah tak bisa tidur. Gerah. Saat itu mungkin sudah pukul satu malam. Ia mendengar suara jejak kaki di belakang rumahnya. Beberapa hari ini beberapa warga mengaku melihat seorang nenek menangis duduk di batang pohon. Demit. Siapa pula yang berani keluar malam-malam begini. Dengan mengendap-endap, Gono berjingkat menuju jalan belakang rumahnya. Ia bersembunyi di balik pohon asem Jawa yang rimbun. Tampak olehnya seorang menggotong karung beras. Langkahnya tidak tenang. Berkali-kali menengok belakang-kiri-kanan. Ini pasti pencuri beras itu, pikir Gono. Ia geram betul.

“Hei siapa kamu? Berhenti!”

Orang itu menengok sesaat. Mukanya pias. Ia coba berlari. Bodohnya, karung beras masih dipanggulnya, jadi pemberat. Gono yang dasarnya gemar bermain silat, sigap mengejar dan menendang pembawa karung itu dari belakang. Ambruklah ia. Dan Gono terkejut tak terkira. Pembawa karung itu adalah Kasan, anak asuh Mbah Arya! Gono mencekal kedua tangan Kasan lalu membangunkan sejumlah warga.

Di hadapan warga, Kasan menangis. Ia mengaku disuruh Mbah Arya. Beras-beras yang hilang memang ia yang mencuri. Dikumpulkan lalu dijual. Namun untuk mengesankan Mbah Arya orang baik, Mbah Arya berpura memberikan beras untuk mereka yang kehilangan.

Tak mau lama menunggu, warga berbondong-bondong menuju rumah Mbah Arya dan menggelandang Kasan. Di tangan mereka obor. Di wajah mereka amarah yang siap meledak. Ada pekik teriak. Ada caci maki yang serak. Seolah tak percaya tukang khutbah itu berbuat sedemikian nista. Seperti tidak yakin jika khutbah di masjid tadi siang bakal jadi khutbah terakhirnya.

Mbah Arya keluar rumah dan terpaku di depan pintu. Warga yang terbakar merangsek maju.

 

Ciputat, 1 Februari 2013

 

A Zakky Zulhazmi, lahir di Ponorogo, 20 Maret 1990. Menempuh studi di UIN Jakarta. Cerpennya banyak dimuat di media massa lokal dan nasional. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit: Kabar dari Kesunyian (Penerbit Buku Senjakala, 2012).