Lebaran
Oleh Ahmad Bakri
Makin sore makin banyak anak-anak yang berkerumun di halaman masjid, menuggu beduk magrib. Ada yang membawa pisang, getuk untuk berbuka puasa saat beduk berbunyi.
“Kenapa belum berbunyi juga beduk itu? Bukankah ini sudah sore?” tanya Oji sembari memegang jambu matang. Dicium lagi dicium lagi, seperti ingin memangsanya saat itu juga, “ aduh, begitu wangi jambu ini...!”
“Terus saja dicium?” batal loh puasanya,” kata Oyib
“Hih... batal kalau dimakan, kan ini cuma dicium.”
“Kan wanginya masuk ke dalam hidung. Terasa enak. Batal kalau begitu.”
“Tidak, tidak batal. Tidak batal!”
“Batal...batal...batal! kata Oyib keukeuh, coba saja tanyakan kepada Pak Lebe!”
“Kalau ada yang menggoreng ikan peda, berarti puasa orang sekampung batal juga? Kan baunya tercium kemana-mana!”
“Berisik...berisik, berisik! Apa-apaan merebutkan goreng peda?” kata orang tua di emper masjid.
Suara beduk kemudian berbunyi. Blem...blem...blem, anak-anak itu saling mendahului. Anak-anak yang adu mulut tadi pun terhenti karena mulutnya penuh dengan makanan.
“Tomot euy! Kata di Ekom suaranya tak jelas karena mulutnya penuh dngen makanan
“Besok mau puasa, Teng?” kata toto.
“Puasa lah, masa tidak puasa...”
“Cup, besok tidak ikut makan tumpeng!”
“Kenapa? Oh iya, Lebaran ya! Bit-bit-bit, tidak ingat tadi mah, Lebaran, Lebaran, Lebaran, hore, lebaran!”
Mereka berlarian ke rumahnya masing-masing, makan.
“Cepetan makannya ya, Jang, nanti aku jemput!” kata Oji.
“Emang mau ke mana?” tanya Udin.
“Kan mau ngadulag di masjid. Aku udah punya pemukulnya hasil bikinanku tadi siang.”
“Buat apa membikin pemukul beduk? Kan di masjid juga sudah ada?”
“Ah, karena biasanya juga berebut... mending punya sendiri supaya kenyang,” jelas Oji sembari belok ke halaman rumahnya.
Jang Udian juga cepat-cepat pulang. Di rumah sudah tersedia di tengah rumah.
“Mana bapakmu” tanya ibunya.
“Masih di masjid, Bu, sepertinya sedang sembahyang,” jawab Jang Udin sembari sila menghadapi hidangan.
“Kenapa Ujang sudah lebih dulu pulang?
“Kan Ujang...,” hanya itu jawabannya karena ingat tidak Sembahyang Maghrib.
“Tidak Shalat Maghrib, ya” tanya ibunya.
Tidak menjawab.
“Ah, begitu, sering menyepelekan pepatah orang tua. Bagaimana kata ibu dulu?”
“Soalnya tadi Oji mengajak buru-buru pulang, Bu. Jadi, Ujang lari.”
“Jangan menyalahkan orang lain! Kenapa kamu mengikutinya? Segera makan. Nanti kalau sudah buka, segera Shalat Maghrib nanti keburu habis waktunya.”
Ujang Udin kemudian makan. Kelihatan nikmat. Disamping lapar karena puasa, ditambah lagi dengan banyak makanan yang enak, Lebaran.
Dag dulugdugdag dulugdugdag… Dag dulugdugdag dulugdugdag!
Ada apa terburu-buru?” tanya ibunya.
Ia minum terlebih dahulu
“Aduh, ketinggalan teman-teman,” katanya.
“Apanya yang ketinggalan?”
“Ngadulag.”
“Makan dulu saja yang tenang. Ngadulag nanti saja tidak appa-apa. Sampai pagi juga tidak kenapa-napa, ini kan malam Lebaran”
“Pan tara kabagéan panakolna Ema… Oji mah gaduheun, da ngadamel. Ujang mah henteu.”
“Biasanya tidak kebagian pemukulnya, Bu... Sementara Oji mah punya karena tadi membuatnya. Ujang mah tidak.
Minjem saja ke Oji kalau begitu, gantian. Ketika Oji kecapekan, ganti sama Ujang. Kan dia sobatmu?”
Jang, Jang, Udin,” kata yang memanggil dari luar.
“Iya, tunggu,” jawab Jang Udin kemudian lari menghamoiri yang memanggil, “mana pemukulnya, Ji?”
“Ini, terbuat dari dahan pohon jeruk, Jang. Coba saja pegang. Beduk kalau dipukul dengan pemukul ini akan berbunyi nyaring.”
"Nanti Ujang boleh meminjam ya, Ji!”
"Ya, boleh. Ayo cepetan kita mencoba pemukul ini”
Tiba di masjid. Di sana sudah berkerumun anak-anak di dekat masjid, berdesakan, menunggu giliran ngadulag.
“Menyingkir, aku dulu!” kata Oji menyelinap kerumunan
"Berisik, ah, aku juga dari tadi menunggu giliran,” kata anak yang terdesak oleh Oji.
“Hih, da uing mah mawa panakolna gé!” témbal Oji keukeuh.
“Hih, aku kan punya pemukulnya juga,” jawab Oji.
Dulugdug milu ngadulag, marengan nu geus nyampak.
“Allohu Akbar…! Allohu Akbar…! Walillahilham…!”
“Anak-anak terima, nih, uwak belum cuci kaki” kata orang tua yang membawa sebuah baskom di pintu.
Anak-anak saling berburu, saling mendahului menerima baskom yang berisi tumpeng itu, diletakkan di emper masjid bersama makanan lain yang sudah ada di situ.
“Wah, ternyata sudah banyak tumpengnya. Kalau tiap hari lebaran, enak ya.”
"Wah, gaya amat ternyata si Ekom merokok."
"Kenapa emang, sesekali pas Leraban,” jawab Si Ekom
"Nanti bakal pusing. Dulu juga si Andi sampai muntah-muntah sampai tidak bisa ikut sidkah,” kata Si Oji.
Si Ekom kaget, segera dia membuang rokoknya.
Sampai tengah malam anak-anak riang bergembira. Ada yang turut ngadulag, ada yang ikut takbir bersama orang tua. Kebanyakan yang bermain-main saja. setelah ikut membuka dan memakan tumpeng, mereka pada tidur.
Dur beduk Subuh berbunyi.
“Bangun, bagun, udah siang…!”
Mereka terbangun. Kemudian berhamburan pulang, mandai, dan ganti pakaian.
Selepas subuh, masjid penuh dengan orang-orang yang akan shalat sunat Idul Fitri. Anak-anak terpisah berada di emperan masjid. Mereka memakain pakaian terbaiknya. Si eman juga ada, terlihat gembira sekali.
Setelah shalat sunat, habis khotbah, semuanya bersalaman.
Mohon maaf ya, saling membebaskan dosa,” kata Oji.
"Lebaran, terhapus semua dosa,” kata teman-temannya saling menyambut tengan teman-temannya yang lain.
"Mau ke mana Jang Udin, bukankah mau ikut sidkah?"
Mau minta maaf dulu ke bu, nanti ke sini lagi.
"Oh iya, ya, harus sungkem dulu, nanti didahului orang lain. Pamali kata orang tua,” kata Toto kemudian berlari.
Teman-temannya juga saling berburu pulang ke rumah masing-masing, segera bersimpuh di pangkuan ibunya masing-masing, memohon maaf dan doanya.
(Disalin dari majalah Manglé Alit no. 265, 1 Januari 1987, diterjemahkan oleh Abdullah Alawi)
Penulis adalah pangarang Sunda yang produktif menulis hingga usia senja. Lahir di Rancah, Ciamis 11 Me1 1917. Empat naskahnya pernahmemborong hadiah IKAPI Jabar tahun 1967, yaitu Kabandang ku Kuda Lumping, Nu Sengit dipulang Asih, Payung Butut,jeung Rajapati di Pananjung.