Cerpen

Masjid Abah

Ahad, 11 Juni 2017 | 02:04 WIB

Masjid Abah

ilustrasi: sdmuhcc.NET

Oleh A. Zakky Zulhazmi

Peristiwa itu terjadi semudah orang buang ingus. Namun semenjak peristiwa itu, aku merasa tak punya kekuatan lagi. Semua bermula saat kemarin malam Abah mengajakku makan di angkringan. Tidak seperti biasanya, apalagi kami pergi cuma berdua saja. Usai menikmati sebungkus sego kucing, Abah mengambil napas panjang.

“Nak, abah pengen cerita.”

“Cerita apa, Bah?” aku menatap wajah abah dalam-dalam.

“Tapi kamu ndak boleh ketawa lho. Soalnya kamu pasti bakal mengira ini cerita konyol.” Nada bicara Abah agak kurang percaya diri.

“Iya deh, Bah. Memang cerita apa sih?”

“Begini, Nak, jadi ketika Abah ketiduran di masjid kita kemarin siang, Abah bermimpi bertemu kakek.”

Abah diam sebentar. Menyalakan rokok kreteknya. Menghisap, menghembuskan asapnya, lalu melanjutkan cerita.

“Kakek yang di mimpi itu berpakaian serba hitam, menyampaikan pesan yang membuat Abah bimbang,” wajah Abah berubah serius.

“Pesan apa, Bah?”

“Kakek bilang, di bawah tiang paling tengah masjid kita itu ada sebilah keris warisan kakek yang seharusnya Abah simpan!”

Aku tercengang, tapi berusaha tetap tenang. Masjid Syuhada, yang dibangun tepat di samping rumahku itu, memang dulu Kakek yang membangun. Konstruksinya semua dari kayu Jati. Disangga sembilan tiang yang kokoh, Masjid Syuhada jadi kebanggaan keluarga kami. Mimpi aneh Abah mulai mengusikku.

“Abah percaya mimpi itu?”

“Itu masalahnya, Nak. Abah bingung, katanya mimpi itu bisa dari setan atau dari Allah ya?”

“Masak iya Allah nyuruh kita nyari keris di bawah tiang masjid, Bah? Mimpi dari setan kali itu, Bah.”

“Tapi, Abah merasa pesan Kakek itu sepertinya harus dituruti.”

“Lantas abah mau mencari keris itu? Mau merobohkan masjid?”

Tidak habis pikir aku, bagaimana bisa Abah termakan mimpi seperti itu. Kulihat wajah renta itu kian kuyu.

“Entahlah, Nak. Abah jadi tambah bingung. Sudah, ayo kita pulang aja.”

Di perjalanan pulang, kami saling diam. Sampai rumah aku tak kunjung memejamkan mata. Kenapa ya Abah bermimpi seperti itu? Jika mimpi itu benar, mengapa pula Kakek menanam keris di bawah tiang tengah masjid? Aku ketiduran gara-gara capai menduga-duga.

***

Kuperhatikan, akhir-akhir ini Abah jadi semakin sering tidur siang di masjid. Setelah salat zuhur, tanpa berganti pakaian Abah merebahkan badan di samping tiang tengah masjid. Ditiup angin yang berkesiur dari kebun singkong di utara masjid, Abah bak di-ninabobokan. Mungkin Abah berharap mimpinya tentang keris itu berlanjut. Aku belum berani bertanya lebih lanjut mengenai kebiasaan barunya.

Masjid Syuhada dibangun empat puluh tahun yang lalu. Saat itu aku belum lahir. Abah juga masih berusia belasan. Katanya, pohon jati yang ditanam Mbah Buyut di sehektar tanah belakang rumah jadi bahan baku utama pembangunan masjid. Diam-diam, sebenarnya aku menyimpan rasa bangga melihat masjid keluargaku ini. Masjid yang menyejukkan lagi kokoh.

Pertanyaan yang menggelanyutiku sekarang, bagaimana bisa hadir mimpi dalam tidur Abah untuk mengambil keris yang tertanam di bawah tiang masjid? Bukankah itu berarti akan merobohkan masjid atau minimal mencederai masjid. Abah juga pasti dianggap orang yang konyol dan jadi bahan tertawaan orang sekampung jika menuruti mimpi itu. Tiba-tiba aku jadi ingat Nabi Ibrahim yang diperintah Tuhan lewat mimpi untuk menyembelih Ismail. Namun pikiran itu kubuang jauh-jauh, Abah bukan nabi.

Sesaat lamunanku buyar oleh suara ketukan di pintu depan. Ada tamu sepertinya. Bergegas aku menyambangi pintu. Muncul sosok laki-laki berkemeja lengan panjang motif garis-garis, bercelana drill khaki. Rapi dan wangi. Aku belum pernah melihat dia sebelumnya di kampung ini.

“Benar ini rumah Abah Dahlan?” tanyanya sembari melempar seulas senyum.

“Iya benar.”

“Boleh saya bertemu beliau?”

“Mari, silakan masuk.”

Setelah kupanggil, Abah menemui laki-laki perlente itu. Sedang aku kembali masuk kamar. Dari kamarku yang terletak di samping ruang tamu, sayup-sayup aku mendengar percakapan Abah dengan tamu asing itu. Sekilas aku seperti mendengar kata-kata masjid, real estate, kompensasi dan harga pantas. Selebihnya aku tak bisa mendengar dengan jelas. Ada apa lagi ini? Aku jadi curiga.

***

Selepas salat maghrib, Abah tak langsung membaca Alquran seperti biasanya. Beliau memanggilku, duduk di serambi masjid. Tatapan mata Abah mengitari sekeliling masjid. Seolah tak satu pun sudut di masjid ini terlewatkan dari sapuan matanya. Bisa kutangkap gelagat resah yang sangat dari wajahnya.

“Ada apa, Bah? Apa masih memikirkan mimpi kemarin?”

“Bukan masalah itu saja, Nak,” Abah memandang lekat mataku, “tapi soal tamu Abah tadi siang?”

“Lalu?”

“Dia itu pengusaha kaya yang mau membangun real estate di daerah kita. Katanya daerah sini masih asri, masih terasa nuansa alaminya, pokoknya dia bilang tempat ini cocoklah kalau dibangun real estate.”

“Lalu apa masalahnya?”

“Orang itu mau membeli masjid kita, Nak. Dia bilang lahan-lahan penduduk di sekitar masjid sudah dibebaskan, tinggal masjid kita yang belum. Dia berani bayar dua ratus juta untuk masjid kita beserta tanahnya!” jelas Abah kepadaku.

Benar dugaanku. Ada yang tidak beres dari tamu itu.

“Jangan dijual, Bah. Semiskin apapun kita,” aku coba meyakinkan Abah.

“Memang benar, Nak. Tapi, dua ratus juta itu tidak sedikit lho, banyak banget itu. Dan pasti berguna sekali bagi keluarga kita. Apalagi keenam adikmu sudah masuk sekolah semua.”

“Abah, meskipun jamaah masjid ini tak pernah lebih dari dua saf, tapi masjid ini adalah warisan kakek. Walaupun anak-anak sekarang malas pergi TPA, tapi dulu orang-orang kampung belajar baca Alquran juga di sini.” Aku berusaha meyakinkan Abah. Kutatap wajahnyal lekat-lekat. Ia mendengus dan menarik nafas dalam-dalam.

“Apa artinya masjid jika tak punya jamaah, Nak. Jangan-jangan perintah kakek untuk mengambil keris itu adalah isyarat. Mungkin itu keris bertuah dan pembawa keberuntungan,” tatapan mata abah menerawang.

“Istighfar, Bah, istighfar.” Aku tak mampu menutupi kekhawatiranku.

Gubrak!

Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari dalam masjid. Serempak aku dan abah menengok ke dalam.

Innalillahi…

Mbah Giyo, satu-satunya jamaah yang masih tinggal di masjid untuk nderes Alquran, tertimpa kipas angin. Kepalanya bersimbah darah. Mushaf tua warna cokelat lusuh terpangku di tangannya. Dan,  beliau duduk bersandar di tiang paling tengah. Tiang yang menurut mimpi Abah tersimpan keris pusaka di bawahnya.


***

Kampung kami gempar. Aku melihat dengan jelas warga mulai berdatangan ke masjid. Abah tampak merasa bersalah sekali. Kalau dicermati, memang di masjid itu tiap tiang terpasang kipas angin. Tapi entah bagaimana bisa kipas angin yang di tiang paling tengah yang jatuh. Tepat ketika ada orang di bawahnya lagi. Setelah dimandikan dan disalatkan, jenazah Mbah Giyo dimakamkan malam itu juga.

Keluarga Mbah Giyo pun tampak sedih, tapi raut wajah mereka menunjukkan kepasrahan. Mbah Giyo memang dikenal sebagai warga yang baik. Beliau tipikal pendiam, tapi cekatan ketika membantu warga yang sedang butuh bantuan. Untunglah dua orang anaknya sudah berkeluarga. Sehingga kepergian Mbah Giyo tak begitu jadi beban keluarga. Tapi, yang terjadi selanjutnya begitu menyedihkan.

Pada awalnya warga menganggap kematian Mbah Giyo ini sebagai musibah, bukan salah Abah. Akan tetapi, suara-suara sumbang mulai terdengar, menyalahkan, menghujat dan menuding Abah yang bukan-bukan. Abah pasrah saja mendengarnya. Untuk sedikit menebus rasa bersalahnya, Abah mengambil sebagian tabungannya sebagai santunan buat keluarga Mbah Giyo.

”Maut bisa datang kapan saja, Nak, di mana saja,” ujarnya.

***

Hari berikutnya, Ibu masuk rumah sakit. Berita kematian Mbah Giyo di masjid jadi beban pikiran beliau juga ternyata. Dokter berkata bahwa ibu harus diopname. Istirahat di rumah sakit lebih baik, kata dokter. Abah mengelus dada. Memikirkan biaya pengobatan. Sebagian tabungan sudah digunakan untuk santunan keluarga Mbah Giyo. Tapi bukan Abah namanya jika tidak memberikan yang terbaik bagi Ibu, cintanya.

Untung Abah tak bercerita perihal mimpinya kepada Ibu. Andaikata Abah bercerita, tak bisa dibayangkan kondisi Ibu sekarang ini. Tawaran untuk menjual masjid beserta tanahnya juga tak pernah diceritakan Abah kepada Ibu. Di mataku, Abah adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab, walau terkadang hatinya sering goyah.

***

Sore ini aku dan Abah menjaga ibu di rumah sakit. Waktu menunjukkan sudah hampir maghrib. Seketika, Lik Yoto, tetangga samping rumahku, datang tergopoh-gopoh dengan wajah pias.

“Abah Dahlan, anu Bah, em…itu Dik Bayu, Bah. Dik Bayu kakinya tertimpa bedug masjid!” Gugup sekali Lik Yoto menyampaikan kabar yang membuat seisi kamar tegang.

“Di mana dia sekarang?” Abah bereaksi cepat. Mulutku masih ternganga. Sedang ibu sesenggukan menahan tangis. Beliau semakin terkulai dan kehilangan kata. Lekas-lekas aku mengusap-usap pundak beliau, coba menenangkan.

“Di UGD, Bah,” Lik Yoto mukanya semakin kusut.

Kami pun langsung menuju ke sana. Saat melihat kondisi Dik Bayu kontan abah lunglai. Telapak kaki Dik Bayu sudah hapir putus, terpisah dengan mata kaki. Tangisnya tak henti-henti. Di samping telinganya, Abah membaca Alfatihah berulang kali sambil mengusap rambut Dik Bayu yang basah oleh keringat. Dokter dan para perawat bergerak tangkas.

Ketika masuk ruang operasi Abah sedikit tenang. Dokter mempersilakannya menunggu di luar. Abah menurut, beliau duduk di bangku panjang depan ruang operasi. Sesaat kemudian dokter menghampirinya, “Anak bapak harus diamputasi kakinya.”

Mata Abah berkunang-kunang.

Lik Yoto bercerita kalau tadi ketika TPA di masjid, Dik Bayu bermain di dekat bedug bersama temannya. Belajar iqro’ sudah dimulai, Dik Bayu masih asyik bermain. Tak jelas bagaimana mulanya, tiba-tiba saja tangisnya pecah mengagetkan orang-orang di masjid. Warga sekitar berdatangan dan membawanya ke rumah sakit. Abah mendengar cerita itu geleng-geleng kepala. Aku hanya bisa terdiam di sampingya. Mimpi Abah bertemu kakek serta tawaran dari pengembang real estate berkelebat di benakku.

***

Masjid pembawa sial. Itulah julukan bagi Masjid Syuhada saat ini. Dua musibah sudah terjadi. Dalam waktu yang tak berselang lama pula. Jamaah menurun drastis. TPA malah telah gulung tikar. Kepercayaan masyarakat desa terhadap hal-hal mistis mengalahkan akal sehat. Masjid warisan kakek itu benar-benar jadi simalakama. Tak dibongkar salah, dibongkar juga salah. Aku hanya bisa menerawang lorong sepi rumah sakit. Ibu dan Dik Bayu istirahat. Tinggal aku dan Abah terpekur di atas bangku. Napas Abah terdengar berat sekali.

“Masjid Syuhada akan Abah jual, Nak. Abah benar-benar butuh uang saat ini. Pengobatan ibu dan amputasi kaki adikmu butuh biaya yang tidak sedikit. Mungkin inilah tafsir mimpi Abah kemarin hari. Kita harus menjual masjid itu.”

“Abah yakin dengan keputusan ini?”

“Tabungan Abah sudah habis, Nak. Sejak dulu Abah berprinsip kita tak boleh pinjam uang walau sedikit. Tak ada pilihan lain. Toh, dari uang dua ratus juta itu kita bisa membeli tanah dan membangun masjid lagi.”

Aku menghela napas panjang. Tak lagi bisa berkata apapun.


***

Suasana pagi itu kalah cerah jika dibandingkan dengan wajah pengusaha yang baru saja menandatangani surat jual beli. Masjid Syuhada kini bukan lagi milik kami, melainkan miliknya. Dua hari berikutnya masjid dirobohkan. Rata dengan tanah.

Malam ini, dari jendela kamar aku menatap nanar tanah bekas masjidku dulu. Tiba-Tiba aku melihat sosok lelaki tua membawa cangkul. Menuju bagian tengah masjid. Mencari letak tiang paling tengah dulu berdiri. Tak salah lagi, itu Abah!

Perlahan gerimis turun lalu menjelma hujan. Abah terus saja menggali, terus menggali. Hujan semakin deras, deras sekali.