Cerpen

Mata Pencaharian

Ahad, 15 Juli 2012 | 04:11 WIB

Oleh Ikhwanul Mukminin

Setiap kali aku melintasi jalan depan mal itu, mataku menatap pengemis-pengemis yang duduk termangu. Suaranya yang sendu dan penampilannya yang mengiris hati tak banyak membuat  orang-orang yang melintas  mengulurkan recehan kepada mereka. Mata pengemis-pengemis itu terus menatap penuh harap kepada orang-orang yang lewat. Kepada orang-orang di dalam mobil juga orang-orang berhelm yang mengendara motor. Seolah mata itu hendak mengatakan, wahai orang-orang yang lebih beruntung, jangan asap knalpotmu saja yang kalian sebar, tapi ulurkan juga uang kecilmu.    

<>Sekali waktu aku melemparkan recehan ke arah mereka dan mereka menyambutnya dengan kegirangan seorang pengangguran yang menang lotre. Namun ketika tidak ada recehan, atau ketika aku lagi buru-buru maka aku melewati  mereka seperti melewati pot-pot bunga yang terpacak di pinggir-pinggir jalan. Dan aku tak perlu merasa bersalah dengan sikap demikian. Pasalnya, mereka sungguh tidak tahu aturan. Mereka menempati  trotoar yang tentu mengganggu para pejalan kaki. 

Namun siang itu ketika panas menjadi-jadi, hatiku terasa ada yang mengoyak. Persisnya ketika mataku menatap seorang pengemis muda yang entah bagaimana ada di antara para pengemis itu. Apakah dia sudah lama di antara mereka atau baru aku melihatnya. Tidak ada yang mencolok dari dirinya. Setiap pengemis memiliki kekuarangan fisik, dan pengemis muda itu tak lebih sama. Tapi menatap wajah pengemis muda hatiku berdegup.  Memandangnya lebih lama aku seperti ditarik ke masa lalu.  

Dia duduk berselonjor yang membuat kaki sebelahnya yang kecil benar-benar terlihat.  Kulitnya hitam.  Matanya tak membuka. Selama duduk dia lebih banyak diam. Tidak ada suara dari mulutnya. Umurnya kutaksir dia sama denganku. 

Siapa pemuda pengemis itu? Apakah dia kukenal? 

Dari jauh kupandangi pemuda pengemis itu, berharap pertanyaan-pertanyaan itu menemukan jawabannya. Kupandangi lekat-lekat. Tapi jawaban itu belum juga datang. Akhirnya aku memejamkan mata, lalu bayangan-bayangan masa lalu itu terangkai satu per satu, membentuk sebuah rangkaian cerita. 

**


Lima tahun berlalu tapi aku masih mengingat Sabirin sebagai anak pintar dengan  psimisme yang kelewatan. Dia teman kuliahku yang  cuma mentok di semester empat. Tubuhnya kurus, rambut tak beraturan seperti orang frustrasi, dan kepalanya selalu ditutupi topi warna biru. Banyak orang bilang penampilan itu  cermin kesuraman hidupnya.

Semangat hidupnya redup setelah orang tuanya yang dia sebut manusia egois memutuskan bercerai. Benar-benar hilang semangat dia waktu itu. Dan  pesimistis itu pada akhirnya ia lampiaskan dengan mengutuk kehidupan di sekitarnya yang dia rasa tidak adil. Tentang Tuhan tak lagi memihak orang kecil, tentang orang kaya yang tak memiliki kepedulian, tentang kampus yang hanya mencetak manusia-manusia robot. Pada puncak kutukannya, dia memberiku kejutan dengan mengatakan tak betah lagi dibelenggu kampus. Dia berniat keluar dari studinya. 

Mendengar keputusan yang berani itu, saya pun buru-buru menasihatinya. 

”Sebaiknya pikir dulu, jangan gampang memutuskan keluar kampus.”

”Saya tidak punya uang untuk bayar kuliah. Apa para dosen itu mau aku bayar pakai daun kering?” ia menjawab dengan pertanyaan, dengan nada tinggi.

”Bukan begitu. Kamu bisa bekerja sambil kuliah. Banyak yang menjalaninya  dan berhasil.”

Lalu kujelaskan berbagai jenis manusia yang meraih sukses dari nol. Kutambah-tambahi sebisaku dengan logika-logika yang masuk otaknya. Akhirnya dia mulai ragu dengan keputusannya. Dan sewaktu ujuan semester dilaksanakan, aku melihatnya muncul di kelas dengan pakaian lusuh, rambut tak tertata itu, dan topi birunya.  Aku juga masih melihatnya berada di perpustakaan utama, membaca-baca buku. Melihat semua itu, hatiku gembira. Berarti seorang calon generasi berpendidikan terselematkan. 

Namun selepas semesteran, aku tak menjumpainya kembali. Dua minggu lamanya dia tak beredar di kampus dengan pakaian lusuhya serta topi warna biru itu. Aku khawatir keadaan buruk sedang menimpanya. Maka selepas kuliah siang itu aku buru-buru ke kosannya. Namun sesampai di sana aku menemukan kosnya telah dihuni orang lain. Aku kebingungan.

Untung seseorang mendatangiku dan menyampaikan pesan yang rupanya sudah dipersiapkan Sabirin untuk. Kata orang yang dititipin pesan itu, Sabirin  sudah pindah. Dan isi pesan itu juga mengatakan agar aku tidak mencarinya. Nanti Sabirin sendiri yang akan menemuiku. ”Dasar manusia aneh!” kataku dalam hati.

Dan benar, tak perlu menunggu lama, dia terlihat kembali di kampus setelah keluar dari tempat persembunyiannya. Namun kali ini dia tidak memilih ruang kelas untuk menampakkan dirinya, melainkan di kantin. Sewaktu aku makan siang di kantin itu, dia tiba-tiba mengagetkanku dari belakang. Aku kaget, dan kekagetanku berlipat saat melihat perubahan pada penampilannya. Dia tidak lagi berpakaian lusuh, topi biru yang jelek itu. Semua serba baru, dan baik.  Aku hendak berkomentar, tapi dia sudah nyerocos.

”Tom, aku telah menemukan jawabannya?”

”Jawaban apa?”

”Selama ini aku berusaha mencari cara biar cepat dapat duit.”

”Lantas, apa jawaban itu?”

”Sekarang aku menjadi bagian dari pendemo bayaran.”

Aku terperanjak dan hampir-hampir tersedak. Tapi wajah Sabirin tidak menampakkan ekspresi apa-apa. Tapaknya dia sudah siap dengan kekagetanku. Dan aku masih diliputi rasa kaget. Tukang demo bayaran? Agaknya kalau disejajarkan akan sebiduk dengan tukang tagih bayaran, atau malah tukang bunuh bayaran. 

”Mengapa pilih pekerjaan tersebut. Pekerjaan lain yang pantas masih banyak.”

”Memilih itu bagi mereka yang hidupnya tidak darurat. Sementara, kamu tahu sendiri, hidupku serba darurat, Tom. ”

”Kita ini anak kuliahan, Bir. Tahu kamu tugas anak kuliah; menjadi agen of social change. Pekerjaanmu itu bisa menodai harkatmu.”

”Aku muak dengan slogan-slogan itu. Slogan tidak membuat perutku kenyang. Kamu mau aku mati kelaparan dengan menelan slogan-slogan indah tapi tidak realistis itu.” katanya sambil menenggak minuman softdrink. 

Aku tak menjawab. Kupikir dia benar-benar berubah, tidak hanya pakainnya yang membungkus tubuhnya yang berubah, tapi juga pikiran dan konsep yang tersimpan di kedalaman jiwanya.

”Kuliahmu bagaimana. Kamu tidak berhenti di tengah jalan?”

Sabirin bungkam dan lebih banyak menghela napas. Aku menduga konsep kampus sudah lenyap dari benaknya. Dan jawabannya kemudian adalah justru pengalihan pembicaraan. Dia malah menceritakan pekerjaan yang kini  ia lakoni.

”Minggu depan bakal ada demo besar-besaran, aku menjadi di antara mereka dengan tugas khusus. Tugas khusus. Aku memperoleh bayaran besar untuk itu. Kalau selesai demo, aku traktir kamu makan sepuasnya di restoran Padang.”

Kini giliranku tidak menjawab. Ada keangkuhan yang kutangkap dari nada pembicaraannya. Dan entah mengapa tiba-tiba aku merasa ada tembok yang terbangung di antara aku dan dia. Hingga dia pamit dan melenggang dari hadapanku, aku merasa tembok itu bertambah tebal dan tinggi saja.    

Sejak pertemuan itu, aku tidak melihatnya kembali dalam rentang waktu lama. Suara pak dosen tidak yang mengabsen namanya selalu berbalas kata absen. 

Dia raib entah kemana.

Aku mencoba menghubunginya lewat teman-teman. Namun tidak ada kabar yang menyebutkan keberadaanya. Dia sudah tidak masuk ke dalam radar anak-anak kampus. 

Sekali waktu aku melihat wajahnya nampang di liputan berita. Dia telentang di depan pengadilan seraya  mulut terjahit. Aksi gilanya itu untuk menuntut kebebasan seorang bupati yang dimejahijaukan.  Melihat dia, hatiku teriris, ”Kamu dibayar berapa, Bir, sehingga bibirmu yang hitam itu tega kamu jahit.”

Satu semester Sabirin menghilang dari kampus. Saya berharap usai melakoni pekerjaanya dia bakal balik lagi ke kampus meneruskan studinya. Atau menyambangiku, mentraktirku makan di restoran Padang. Seminggu menjelang batas akhir pendaftaran ulang, tubuh kerempengnya, rambut acak-acakannya tak juga nampak.

Keberadaan dia baru kuketahui saat kami mengadakan demonstrasi besar-besaran menolak kenaikan harga BBM di depan gedung DPR. Ketika itu aku bersama lautan mahasiswa meneriakkan tolak kenaikan harga BBM, dan kami pun tak lupa meneriakkan peringantan ”hati hati hati provokasi..” 

Di tengah hiruk pikuk itu, tiba-tiba  massa dikejutkan oleh seorang laki-laki yang tiba-tiba maju ke depan membawa lembaran kain merah putih yang sudah dilumuri bensin. Tanpa sepengatahuan massa, dia menyulut bendera kebanggaan dan simbol negara itu. Api cepat berkobar, dan kobaran itu menyulut kepanikan semua orang.  

”Ada provokator.”  

”Tangkap!”

”Ringkus!”

”Bakar-bakar bendera tidak ada dalam skenario kita, dia pasti provokator!” 

Namun lautan massa yang sudah kepanasan dan terpanggang emosi itu kehilangan daya nalar kritisnya. Tanpa berpikir panjang, mereka menghujani pemuda itu dengan pukulan-pukulan. Juga tendangan. Melihat pemuda itu yang sudah dikeroyok massa, rasa penasaranku muncul. Siapa gerangan dia?  Dan ketika rasa ingin tahu itu pada akhirnya terobati, aku kaget bercampur sedih sebab ternyata pemuda malang itu tak lain adalah Sabirin. Aku berusaha menyelamatkan temanku itu dengan menghela orang-orang yang menghajarnya. Tapi mahasiswa lain malah menahanku.

”Dia provokator!” kata salah seorang.

”Dia Sabirin, teman kita.  Anak FISIP,” jeritku. Tapi suaraku yang tak seberapa itu tertelan keriuhan massa yang memilih menggebukinya. Tindakan main hakim itu baru berhenti saat polisi yang tadinya berjaga-jaga membuat barikade menyeruak masuk kemudian membawa Sabirin. Polisi-polisi itu membawanya dalam kondisi bonyok.

Setelah peristiwa itu, dia kembali hilang seperti tertelan bumi. Banyak selentingan mengenai dirinya muncul. Ada yang bilang, dia sudah dicuci otaknya, dibuat lupa, ada lagi yang mengatakan dia dibuang ke daerah perbatasan.

** 

Kuparkir mobilku di mal dekat jalan padat itu. Dengan langkah berat aku keluar parkiran lantas menuju ke trotoar tempat pengemis itu mangkal. Kehadiranku untuk membuktikan bila wajah itu benar milik Sabirin, temanku lima tahun lalu.  

Setibanya di trotoar, aku langsung  jongkok berhadap-hadapan dengan pengemis muda itu. Lalu menatapnya dengan mata menyelidik. Seolah tidak menghiraukan kedatanganku, dia tetap membatu dengan tangan direntangkan ke depan memegang cangkir. Beberapa recehan terlihat di cangkir itu. Mataku kemudian menyeleidik sekujur tubunya. Tubuhnya kurus. Kurus sekali. Perutnya dibiarkan terbuka sehingga tulang iganya terlihat. Mengingatkanku pada korban kelaparan di Afrika. Bulir-bulir keringat tampak menetes dari keningnya.

”Kamu Sabirin?” tanyaku. Kuharap dia masih mengenalku.

Dia masih bungkam. Aku memegang pahanya. Menepuk-nepuknya sembari mengulang-ulang kalimat yang sama. 

“Kamu Birin. Kamu Birin. Temanku.” 

Suaraku kukeraskan untuk mengimbangi suara  bising kendaraan, serta suara-suara para penjual asongan di sekitar situ. Ketika bibirnya mulai bergerak-gerak, aku senang. Namun yang keluar dari mulutnya tidak sesuai harapanku. 

“Selamat siang, semoga bapak ibu diberikan kebahagiaan hari ini!”

“Kamu pasti Birin. Kamu ingat aku, kan. Aku Tomo, temanmu kuliah dulu. Ngapain kamu jadi pengemis?”

Dia tetap bergeming. Aku menarik napas lalu menunduk.  Akhirnya kuputuskan duduk bersebelahan dengannya. Orang-orang yang lalu lalu sepintas lalu melihatku. Tapi tak kuhiraukan. 

”Kamu ingat, aku dan kamu pernah mendapat tugas membuat makalah politik. kamu dan aku mencari bahannya di perpustakaan. Dan kamu ingat kan, di sana kita bertemu Dina. Kita saling bersaing untuk memperebutkannya. Sekarang kamu tidak perlu bersaing lagi denganku, karena dia sudah menjadi istriku.”

Dan banyak sekali cerita-cerita lain yang kuperdengarkan kepadanya. 

Tapi dia tetap tak bersuara. 

”Dia buta dan tuli, percuma kamu bicara padanya!”  Sebuah suara besar terdengar dari belakang tengkukku. 

Setelah kutoleh seorang laki-laki agak tegap telah berdiri di belakangku. Dia berjaket hitam. Kumisnya tebal dan bibirnya agak hitam.  

”Siapa Bapak?” Kutatap matanya, dan dari sana aku tahu dia tidak suka dengan keberadaanku.

”Aku yang mengurus mereka-mereka ini,” jawabnya datar, namun terkesan sewot.

”Berarti Bapak tahu siapa pengemis muda ini. Apa dia Sabirin?”

”Dia bukan Sabirin.” Jawabnya singkat. Cepat. 

”Lalu siapa, Dia?”

”Dia seorang  pengemis. Hanya pengemis.”

”Tapi pengemis punya nama. Apa namanya Sabirin.”

”Dia bukan sahabat Anda. Sebaiknya Anda tidak perlu banyak tahu tentang mereka. Kumohon, mereka lebih senang diberi daripada dikorek-korek identitas mereka!” Laki-laki itu memelankan suaranya. 

Dan nyata dari tatapan matanya dia amat berharap aku tak mengorek lagi identitas pengemis muda itu.

Akhirnya aku mengalah seraya berusaha mengeyahkan pikiran-pikiran aneh di kepalaku. Kakiku melangkah meninggalkan mereka. Namun ingatanku terhadap Sabirin pada detik itu menjelma perasaan penyesalan. Tiba-tiba aku menjadi orang yang patut dipersalahkan. Dan pada detik itu aku seolah sadar bila selama ini aku tak melakukan apa-apa terhadap Sabirin. Aku cuma menasihati dan menasihati. Padahal sejak dulu, yang dibutuhkan Sabirin adalah bantuan nyata. 

Lalu aku merasa ada utang moril yang harus aku bayar. Aku berhenti sejenak, lantas meraih dompet di saku celana, mengambil beberapa lembaran ratusan ribu. Kepada laki-laki yang masih berdiri itu, kukatakan, ”Maukah Bapak membantu saya?”

Dia diam. 

"Sejak dulu aku hanya bisa menasehati Sabirin, tanpa memberi apa-apa yang dia butuhkan. Maukah Bapak memberikan ini kepada anak asuh Bapak sebagai rasa penyesalan saya kepada teman saya itu?”

Laki-laki itu menatapku seolah-olah aku ini malaikat. Tangannya menjulur meraih uang itu, dan sangat jelas tangan itu bergetar ketika ia meraiah uang itu. 

”Anda tenyata orang baik, saya akan sampaikan amanah Anda.”

”Terima kasih.”

Aku melangkah meninggalkan mereka. Debu-debu yang ditiup angin mengantam wajahku. Dan sejak itu aku terus berpikir untuk tidak perlu mengkhawatirkan Sabirin. Bahkan Sabirin yang kutanamkan sekarang adalah Sabirin yang sudah kaya, entah dimana, dan dengan siapa.


Bogor, 31 Maret 2012 

Untuk para pekerja informal paling bawah yang senantiasa merasakan dampak langsung kenaikan BBM.  

Ikhwanul Mukminin adalah penikmat sastra, tinggal di Cibubur.