Harus hadir angin segar masuk ke dalam rumah. Ada sebuah gradasi panjang yang kemudian menjadi mushaf penggunaan elemen sebagai otoritas kekuasaan. Ini bukan drama, bukan hikayat, bukan ludruk, bukan pula wayang. Wujud itu benar-benar muncul dengan huruf dan kata-kata yang tak butuh asumsi. Hanya dia yang bisa memikul, bahkan raja pun tak akan sanggup dan kuat.
Ucapannya bukan bahasa sekedar bahasa, tapi bahasa yang memungkinkan ia dapat dari pengelanaan berjuta atau bermiliaran tahun. Bukan umur, tapi jangka daya pikirnya. Jangan berburuk sangka dahulu.
Bayangkan jika ia pun mampu menaklukkan isi otak manusia. Karena dari mulutnya, aku pernah mendengar ultimatum bernada ancaman. "Bisakah anda bayangkan apa yang akan saya lakukan jika saya bisa melakukan semua yang saya bisa?"
Seketika nyaliku ciut dan menarik kembali sebilah bambu yang sedari tadi kuacung-acungkan dengan tangan kiri, begitu juga dengan tangan kanan dan mulut moncong yang tak kalah panjangnya dengan galah. Ini mungkin yang sering disebutkan oleh banyak orang. Bahwa jangan pernah menganggap kecil si muka datar, jangan pernah menganggap rendah dia yang nyaris tak pernah muncul di permukaan.
Aku duduk dihadapkan tepat di depannya. Bajunya lusuh sama seperti sarung yang dililit di pinggangnya. Tak beraturan, asal pakai, yang penting paha rampingnya tertutupi barangkali. Di sela-sela jari telunjuk dan tengahnya terselip sebatang rokok tembakau. Suara hisapannya berbeda dari perokok amatir biasanya. Seolah ia ingin menunjukkan bahwa rokok adalah bagian dari dirinya. Perlahan, berbunyi "srlupppppp". Kalian pernah mendengar orang menyeruput kopi? Nah persis seperti itulah kira-kira.
"Tadi asalnya dari mana?" Kepalanya agak sedikit mendongak ke atas, lalu keluar kepulan asap yang membuat kepalaku pening menciumnya.
"Aslinya Jakarta, bang."
Aku tak mau bercerita banyak tentang bagaimana Maghrib itu. Kutimbang dengan mata yang tak kunjung segar, badan yang tak kunjung bugar, kaki pegal, kepala buyar, malas meladeni beliau bercerita panjang lebar. Tapi namanya tamu, mana ada yang mempersilakan diri rebahan di balai-balai ataupun di tikar pohon. Ini saja kakiku dingin.
Hal unik yang membuatku agak sedikit planga plongo adalah, bagaimana orang Palu kuno bisa membuat lantai kayu selicin keramik. Aku nyaris bisa berkaca. Sekalinya ketika menunduk, aku bisa mencuri pandang pada sosok yang ada di depanku.
"Itu dipel pakai serutan kelapa, digosok-gosok di permukaan lantai kayu berkali-kali sampai licin betul. Ada juga yang pakai oli. Tapi resikonya agak sedikit bau." Aku mengangguk pelan.
"Dudukmu gusar begitu, ada apa?"
"Eh he ini bang, kakiku pegal."
"Kamu kalau letih, silakan rehat dulu. Nanti kita lanjut ceritanya, masih ada banyak waktu kamu di sini kan?"
"Iya bang, siap. Saya duluan ya bang." Ucapku tanpa berpikir panjang. Karena memang itulah yang aku inginkan sedari tadi.
Ia mengangguk.
"Eh tapi tunggu dulu." Tiba-tiba ia menyetop jalanku.
"Iya bagaimana bang?"
"Nanti selesai sholat maghrib, kamu siap-siap ya. Kita langsung menemui bu Fifi. Kebetulan kamu kebagian di yayasan Darul Fatah. Nanti kamu ngobrol banyak dengan beliau."
Aku hanya tersenyum sambil mengacungkan jempol dan langsung balik arah menuju kamar yang akan aku tinggali selama 2 minggu kedepan di Palu.
***
Sore itu aku berangkat ke yayasan Darul Fatah. Perjalanan itu memakan waktu kisaran 15 menit dari Guest House Legian, tempat menginapku sekarang. Mataku tak lepas dari laut yang kemarin ganas dan tak terkendali. Ia menyapu bersih permukaan. Masjid Apung sudah tak lagi berdiri cantik, jembatan kuning hanya tinggal ruas ujung barat dan timur, bangkai ayam, sampah, kayu, ranting, ikan mati, dan masih banyak lagi onggokan yang menutupi jalanan aspal sepanjang pinggiran pantai.
Kiranya, terkutuklah mereka yang berfoto dan swafoto gembira sambil tertawa memperlihatkan gusi dan geraham mereka dengan latar rumah roboh, puing tiang listrik dan sandal balita. Bagaimana bisa mereka bangga berdiri di tanah yang baru saja tertimbun duka? Terkutuklah mereka yang berani demikian.
"Abang, tidak takut lagi melihat air? Bukankah punggung abang kemarin sempat tersapu juga?"
"Peristiwanya sudah lama. Tak usah lagi diingat-ingat, tugasmu ke sini adalah menghilangkan duka? Bukan kembali membawa ingatan bukan?"
Aku berusaha untuk tidak menelan ludah sendiri yang dari tadi terkumpul di mulutku. Ditelan tak enak, dibuang tak sopan. Nanti dikira tidak punya tata krama. Belum lagi kejadian 3 hari yang lalu. Ketika aku dan rombongan datang untuk pertama kalinya. Tadinya, aku pikir bahwa Palu adalah keras dan tidak terbuka. Sehingga aku juga menarik diri untuk tidak terkesan "sok asik" di depan mereka. Prasangka hanyalah prasangka. Justru penerimaan mereka sangat luar biasa. Tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya.
Darul Fattah kami tempuh dalam waktu kisaran 45 menit dari posko utama. Dimulai dari ketika bagasi mobil dibuka, anak-anak dari yayasan Darul Fattah yang terdiri dari Raudhatul Anfal (setingkatan Paud), MI, MTs dan MA mulai mengerumuni kami. Dengan energi yang masih segar, aku tersenyum sumringah di hadapan mereka. Berharap dari senyuman inilah, akan lahir semangat baru pula bagi mereka.
Jika diizinkan, seharusnya Tuhan mengundur bencana agar mereka tidak tumbang secara mental di usia yang masih dini. Atau setidaknya Tuhan beri tahu mereka dengan tanda-tanda agar mereka bersiap menyingsingkan celana dan baju untuk berlari menghindari ganasnya gempa dan tsunami.
Bang Tamik sudah berdiri di depan gerbang. Tidak seperti kemarin pakaian dan dirinya yang acak-acakan. Kali ini rambutnya licin oleh minyak rambut, seragam gurunya yg rapi walaupun ada bekas garis setrika, sepatunya yang bersih. Ia mempersilakan kami memasuki tenda darurat yang digunakan untuk keperluan belajar mengajar. Sembari menunggu anak-anak berkumpul untuk mendengarkan terapi psikososial tim dari Jakarta.
Acara dimulai, anak-anak diajak berteriak kencang, berdoa, bermain, dll. Sedangkan seorang anak duduk dengan rambut sebahu yang tergerai lurus. Pupil matanya tidak diam menetap, menunduk, menggigit jari. Sekali-kali ia mendekap kaki hingga menyatu dengan tubuhnya. Aku memaksakan diri untuk menghampirinya dan bertanya. Tidak berhasil. Tidak ada jawaban.
Aku mencoba lagi berkomunikasi dengan melakukan kontak mata. Tetap tidak ada respon. Malah tatapannya bergulir ke kanan dan ke kiri.
"Ini sudah ada perubahan. Pasca gempa keadaannya lebih parah dari ini. Sungguh kejam memang nasib berpihak kepadanya. Sudah yatim dan tidak ada yang mengurusi kecuali ibunya yang pincang. Tentu menambah sakit hati ibunya."
Telinga bang Tamik memerah. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia berpura-pura membenarkan posisi kacamatanya. Padahal aku tahu, ia menyeka air matanya yang setitik, "Saya sangat ingin membantunya. Tapi tidak bisa kecuali berdoa supaya ada yang bisa mengajaknya bicara."
"Saya ini lho, miskinnya nggak selesai-selesai. Capek. Kalau saja saya kaya, sudah saya bawa ia ke psikolog atau psikiater." Lanjut bang Tamik.
"Kepalanya terbentur, mba. Kebetulan waktu kejadian gempa itu, dia duduk di gerobak menunggui ibunya yang sedang sholat di masjid. Namanya ibunya pincang ya, jadi ketika gempa berlangsung, ibunya juga nggak bisa berbuat apa-apa kecuali berusaha menghampirinya. Sedangkan badannya sudah tidak bergerak dengan kepala yang bertetes darah. Saya kepengin nangis, mba. Saya ini bukan siapa-siapanya dia. Kebetulan saya lewat dan melihat keadaannya dan ibunya seperti itu. Kejam sekali." Lagi bang Tamik menyeka air matanya.
Aku mengkhususkan diri mengajak anak tersebut berkomunikasi dan bicara. Susah memang. Tapi tidak ada pilihan lain. Dengan keadaan dan peralatan seadanya untuk terapi psikososial aku terus mengajaknya berkomunikasi.
Aku memutuskan tiga hari berturut-turut selepas mendatangi sekolah-sekolah di Palu, sorenya akan menyempatkan waktu berkunjung ke Darul Fattah. Perubahan memang tidak cukup signifikan. Hanya saja aku patut bersyukur, si anak sudah mulai mau kuajak mengobrol walau dengan jawaban yang terbata-bata. Setidaknya ini adalah awal yang baik.
Di hari ke empat, aku tidak berkunjung lagi ke Darul Fattah. Melainkan berbalik ke kantor pusat konseling di kota Palu. Berbicara kelanjutan terkait dengan kasus-kasus trauma yang dialami oleh anak-anak di Palu pasca bencana.
Waktu sangat terbatas, tidak mungkin si anak akan menunggui dan bergantung padaku sampai selesai ke tahap penyembuhan. Tahap pelepasan dimulai. Di hari kelima aku dan konselor datang lagi ke Darul Fattah. Kali ini aku melakukan aktivitas seperti biasa. Bedanya sekarang aku mulai memperkenalkan konselor baru dengan si anak. Mulai ngobrol bersama-sama dan bermain.
Esok Jakarta sudah menungguku dengan sejuta aktivitas yang lain. Semoga semua baik-baik saja. Ini hari adalah terakhir. Semoga kedepan aku bisa menyambangi tempat ini kembali dengan keadaan yang sudah damai dan bersahabat.
Dwi Putri, Tim Psikososial LPBINU dan UNUSIA Jakarta